Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU)

Daftar Isi
https://www.abusyuja.com/2020/04/sejarah-berdirinya-nahdlatul-ulama-nu.html
Abusyuja.com_Kelahiran NU merupakan salah satu upaya melambangkan wawasan tradisi keagamaan yang dianut jauh sebelumnya, yakni paham ASWAJA (Ahlussunnah Wal Jamaah). Selain itu, NU sebagaimana organisasi-organisasi pribumi lain baik yang bersifat sosial, budaya atau keagamaan yang lahir di masa penjajah, pada dasarnya merupakan sebuah perlawanan terhadap penjajah.

Hal ini didasarkan berdirinya NU dipengaruhi kondisi politik dalam dan luar negeri, sekaligus merupakan kebangkitan kesadaran politik yang ditampakkan dalam wujud gerakan organisasi dalam menjawab kepentingan nasional dan dunia Islam pada umumnya.

Latarbelakang di atas menunjukkan, bahwa faktor utama berdirinya Nahdlatul Ulama adalah mempertahankan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari kekuasaan penjajah, seperti yang akan kami jelaskan di bawah.

Mempertahankan Ahlussunnah Wal Jamaah

Sejarah dakwah Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari Kiprah Walisongo. Penyebaran Islam, khususnya di Jawa oleh pendakwah, terutama Walisongo sukses besar. Di abad ke-7 dan terutama setelah abad ke-11 dan ke-12, Islam menggantikan Hinduisme dan Buddhisme yang sebelumnya berjaya.

Pengaruh Islam masuk hingga ke pusat kerajaan dan kepemimpinan rakyat. Runtuhnya Majapahit dan berdirinya kerajaan Demak di akhir tahun Jawa 1400 (1478 M) adalah bukti berubahnya kepercayaan masyarakat Jawa dari Hinduisme dan Buddhisme kepada Islam.

Ajaran Walisongo adalah Islam Ahlussunnah Wal Jamaah, yang juga disebut dengan Sunni. Sedangkan Sunni di Indonesia dalam ajaran fiqih mayoritas mengikuti mazhab Imam Syafi'i, dalam bidang Tasawuf mengikuti Imam Junaidi dan Imam Ghazali, serta mengikuti Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi di bidang akidah.

Selain ciri-ciri di atas, muslim Ahlussunnah Wal Jamaah di Indonesia juga berpegang teguh pada pendapat ulama salaf dengan mengikuti mazhab-mazhab tertentu, serta berpegang pada kitab-kitab mu'tabarah, pecinta ahlul bait, wali, dan para shalihin (orang-orang soleh).

Muslim Sunni di Indonesia tabarrukan (mencari berkah) baik kepada orang-orang yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, menyukai ziarah kubur, mentradisikan talkin mayit, sedekah untuk mayit, berkeyakinan adanya syafaat, percaya manfaat doa, tawassul, dan lain sebagainya.

Setelah sekian lama Islam ala Ahlussunnah Wal Jamaah ditanamkan Walisongo sampai mengakar di bumi Jawa (Indonesia), pada tahun 1330 Masehi, umat Islam diguncang dengan munculnya berbagai kelompok yang mengusung paham yang saling bertentangan.

Pada kurun tersebut muncullah kelompok Islam modernis pengikut ajaran Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, yang mengikuti bid'ah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Muhammad bin Abdul Wahab merupakan pengikut setia ajaran Ibnu Taimiyyah dan kedua muridnya, yakni Ibnu Qayyim al-Juaziyyah dan Ibn Abdul Hadi.

Kelompok ini mengklaim sebagai pemurni akidah dan berslogan “Kembali pada Al-Qur’an dan Al-Hadis”. Mereka sering menuduh bid'ah, khurafat, dan tahayul pada ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah. Selain itu muncul juga aliran kebatinan yang mengajarkan terbebasnya umat Islam dari menjalankan Syariat. Ada juga kelompok yang meyakini tanasukh (rangkarnasi ruh manusia), serta muncul juga kelompok-kelompok tasawuf yang berlebihan.

Tumbuhnya aliran-aliran ini menimbulkan keprihatinan Ulama Nusantara pengikut Ahlussunnah Wal Jamaah, khususnya menyikapi gerakan pemurni syariat Islam yang dimotori kaum modernis secara masif dan sistematis, baik melalui propaganda dalam forum-forum kajian Islam, media masa, maupun melalui gerakan organisasi.

Ulama Nusantara sebagai benteng ASWAJA kebanyakan adalah kiai pengasuh pondok pesantren dan para kiai yang senantiasa istiqamah berjuang di tengah-tengah masyarakat serta menjadi panutan umat. Dengan adanya serangan kelompok modernis, mereka berupaya melakukan gerakan bersama untuk membendung penyebarannya.

Keresahan Ulama pesantren memuncak ketika ada berita Gubernur Hijaz, Sayyid Syarif Husein dikalahkan oleh Abdul Aziz Ibn Saud yang bekerja sama dengan Muhammad bin Abdul Wahab. Penguasa baru Hijaz ini melakukan pembersihan terhadap praktek keagamaan mazhab empat, pemaksaan ajaran Wahabi kepada umat Islam Hijaz dan pengusiran ulama Ahlusunnah Wal Jamaah yang tidak setuju terhadap kebijakan pemerintah baru.

Kemenangan Ibn Saud menimbulkan polarisasi orientasi baru Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Kalangan pesantren menganggap bahwa kemenangan Ibn Saud akan berdampak pada perubahan tradisi keagamaan menurut empat mazhab, sebab Ibn Saud terkenal beraliran Wahabi. Sementara sayap Islam modernis menyambut positif atas kemenangan Ibn Saud.

Melalui kiai Wahab, kalangan pesantren mencemaskan kekhawatiran itu dalam sidang-sidang Komite Khilafah. Sementara kalangan modernis menghendaki kehendak lama diperintahkan dibawa ke Makkah. Menurut mereka, penyerbuan Ibn Saud atas Syarif Husain bertujuan baik untuk memperbaiki tata laksana ibadah haji yang sebelumnya kacau, sering terjadi perampokan dan banyak suku Arab yang melarikan diri.

Kekecewaan ulama pesantren memuncak ketika Kongres Al-Islam di Yogyakarta 1925, para delegasi pesantren sangat kecewa pada sikap kaum modernis yang menolak usulan KH. Wahab Hasbullah agar Ibn Saud menjamin kebebasan bermazhab untuk semua muslim di Makkah. 

Bahkan awal januari 1926 para pemimpin kalangan Islam modernis mengadakan konferensi di Cianjur tanpa melibatkan Ulama pesantren, kemudian mereka memutuskan memiliki perwakilan mereka sebagai delegasi ke pertemuan di Makkah.

Peristiwa ini meyakinkan para kiai akan perlunya inisiatif-inisiatif sendiri yang terpisah dari kalangan modernis untuk menjamin pandangan dan kepentingan keagamaan mereka bisa terwakili.
Pertengahan Januari 1926, KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan restu KH. Hasyim Asy’ari mengundang ulama pesantren terkemuka untuk mendukung pendirian panitia yang disebut “Komite Hijaz” yang akan mengutus delegasi ke Makkah untuk mewakili kepentingan-kepentingan kelompok Islam kalangan pesantren.

Akhirnya, 31 Januari 1926/16 Rajab 1344 H, 15 ulama berkumpul di Rumah KH. Abdul Wahab Hasbullah di Surabaya dan mengesahkan bentuk kepanitiaan. Pertemuan ini selanjutnya memutuskan dua hal penting, yakni :
  • Mengirim utusan Indonesia ke Muktamar Dunia Islam di Makkah, dengan tugas memperjuangkan hukum-hukum ibadah empat mazhab.
  • Membentuk sebuah organisasi atau jami’iyyah yang akan mengirim utusan tersebut.
Atas usulan KH. Mas Alwi Abdul Aziz organisasi itu diberi nama Jami'iyyah Nahdlatul Ulama atau yang akrab kita sebut NU. Setelah kepengurusan NU terbentuk, diputuskan mengirim KH. R.  Asnawi Kudus sebagai delegasi NU ke Muktamar Dunia Islam di Makkah. Namun karena suatu hal, KH. Raden Asnawi gagal berangkat ke Makkah.

Tetapi kegagalan ini tidak menyurutkan niat para ulama NU untuk mengutus wakilnya menghadap Raja Ibn Saud. Kemudian pada tanggal 29 Maret 1928 M/7 Syawal 1346 H, NU mewakilkan kepada KH. Abdul  Wahab Hasbullah dan Syeikh Ahmad Ghanaim al-Mishri berangkat ke Makkah untuk menghadap ke Raja Ibn Saud untuk memperjuangkan kepentingan Islam Ahlussunnah Wal Jamaah.

Hasil pertemuan dengan Raja Ibn Saud, pengajian di Masjidil Haram oleh para guru empat mazhab tidak dilarang. Pertemuan itu juga berhasil mencegah perusakan makam Nabi Muhammad Saw. dan para Imam Mazhab di sekitar area Ka’bah.

Itulah sejarah singkat berdirinya Nahdlatul Ulama dalam memperjuangkan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Semoga apa yang kami sampaikan dapat menambah wawasan sejarah anda. Wallahu A’lam.