Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Menulis Al-Qur’an Dengan Huruf Latin Atau Braille

https://www.abusyuja.com/2020/09/hukum-menulis-al-quran-dengan-huruf-latin-braille.html
Bagaimana hukum menulis Al-Qur’an atau menerbitkan Al-Qur’an dengan tulisan huruf/Braille. Maksudnya adalah menulis arab dengan tulisan latin atau dengan huruf lain selain huruf arab? Kemudian bagaimana hukumnya, apakah disamakan dengan mushaf (Al-Qur’an dengan tulisan arab) atau tidak?

Berikut beberapa jawaban para ulama mengenai persoalan tersebut:

Pertama, penurut Imam Ramli, menulis atau menerbitkan Al-Qur’an dengan tulisan selain arab adalah diperbolehkan, asalkan tidak mengubah isi dan suaranya.

Kedua, Penulisan Al-Qur’an dengan huruf latin tentu saja ada manfaatnya, terutama bagi orang yang buta huruf arab atau bagi orang-orang yang masih benar-benar awam dalam bahasa arab. Tetapi dampak buruknya adalah dapat mengurangi perhatian seseorang dalam mempelajari tulisan arab, baik dalam penulisannya maupun bacaannya.

Ketiga, huruf latin tidak mencukupi bunyi-bunyi huruf arab. Maka dari itu diperlukan sebuah tatanan baku dalam pengejaan huruf arab ke latin. Misal, huruf (خَ) ditulis “kha”. Pengejaan baku ini harus dipermanenkan oleh pihak yang bersangkutan seperti departemen agama (DEPAG) dengan tujuan menjauhi bahaya yang berkaitan dengan perbuahan suara makharijul huruf. Sebab, mengubah Al-Qur’an merupakan perbuatan yang diharamkan.

Hukum Menulis Al-Qur’an Dengan Huruf Latin Atau Braille

Dari beberapa pertimbangan ulama di atas dapat kita simpulkan bahwa:

Menulis Al-Qur’an dengan tulisan selain arab hukumnya boleh-boleh saja (mubah). Tetapi apabila hal tersebut dapat mengubah bunyi dan tulisan Al-Qur’an, maka hukumnya haram.

Menurut pendapat Ra’is ‘Am (Ketua Umum) PBNU KH. Bisri Sansuri mengenai keterangan dalam kitab Hasyiyah al-Qulyubi 1/36 dijelaskan bahwa, 

“Apabila menulis Al-Qur’an dengan tulisan non arab adalah boleh, maka hukumnya sama dengan mushaf di dalam hal menyentuh dan membawanya, dan sebaliknya. Sedangkan penulisan Al-Qur’an dengan huruf braille bagi orang-orang yang buta (tunanetra) hukumnya boleh karena adanya hajat yang menghalangi.”

Dalam kitab Hawasyai al-Syarwani wa al-‘Ubaddi Juz 1 Hal. 154, dijelaskan bahwa Syaikh Ahmad Ramli berfatwa bahwa, “Boleh menulis Al-Qur’an dengan bahasa India. Hal ini berarti boleh juga dengan bahasa Turki.”

Dalam kitab Tuhfah al-Habib Juz 1 Hal. 304, dijelaskan bahwa, “Boleh menulis Al-Qur’an dengan selain bahasa arab. Tetapi dalam membacanya harus sama dengan bahasa arab, itu artinya tidak boleh selain menggunakan bahasa arab. Hal ini mengingat karena substansi dan penamaannya adalah Al-Qur’an itu sendiri.”

Dalam kitab Hasyihah Qulyibi Juz 1 Hal. 36, dijelaskan bahwa, “Dan boleh menulis Al-Qur’an dengan selain bahasa arab, bukan membacanya (wajib membacanya sesuai dengan bahasa arab). Hukumnya pun disamakan dengan mushaf, baik dalam memegang atau membawanya.”

Kesimpulannya, hukum menulis Al-Qur’an dengan bahasa non arab adalah boleh, asalkan tidak mengubah suara dan bacaannya. Imam Ramli pernah ditanya, apakah haram menulis Al-Qur’an dengan tulisan India atau lainnya? Kemudian beliau menjawab, tidak haram, karena tulisan itu menunjukkan pada (bunyi) lafalnya (seperti tulisan “Kha”dibaca “خَ”). Dan diharus tidak menimbulkan perubahan dalam pelafalannya, berbeda dengan terjemahannya dengan selain bahasa arab, karena di dalam terjemahan itu terdapat perubahan (pelafalan).

Imam Malik dalam kitab I’anah al-Thalibin pernah ditanya, “Apakah mushaf itu ditulis dengan model huruf-huruf sebagaimana yang dibuat oleh orang-orang?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali sesuai dengan tulisan model yang pertama, yakni seperti yang ditulis oleh al-Imam yang termuat dalam Mushaf Usmani. Abu Umar berkata, “Dalam hal ini tidak ada perbedaan ulama dari kalangan para imam ulama.” Wallahu A’lam