Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengertian Akad Hiwalah Beserta Dasar Hukumnya

https://www.abusyuja.com/2020/09/pengertian-akad-hiwalah-beserta-dasar-hukumnya.html
Hiwalah adalah akad pemindahan utang piutang satu pihak kepada pihak lain. Dalam hal ini ada tiga pihak yang terlibat, yaitu muhil atau madin, pihak yang memberi utang (muhal atau da'in) dan pihak yang menerima pemindahan (muhal 'alaih). Di pasar keuangan konvensional praktik Hiwalah dapat dilihat pada transaksi anjak piutang (factoring). Namun kebanyakan ulama tidak memperbolehkan mengambil manfaat (imbalan) atas pemindahan utang atau piutang tersebut.

Dasar Hukum Hiwalah

Hiwalah dibenarkan dalam Islam. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad Saw. dalam riwayat mayoritas jumhur ulama dengan lafadz yang berbeda, "Memperlambat pembayaran utang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih." Di samping itu terdapat kesepakatan ulama yang menyatakan, bahwa tindakan Hiwalah boleh dilakukan.

Rukun dan Syarat Hiwalah

Rukun dan syarat yang harus diperlukan terhadap utang yang akan dialihkan adalah sebagai berikut:

  • Utang harus berupa sesuatu yang sudah pasti. Jika yang dialihkan belum merupakan utang piutang yang pasti, misalnya mengalihkan utang yang timbul akibat jual beli yang masih berada dalam masa khiyar Maka Hiwalah dianggap tidak sah;
  • Apabila pengalihan utang dalam bentuk Hiwalah Muqayyadad, semua ulama Fiqih sepakat bahwa  utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak pertama, meski lah sama jumlahnya dan kualitasnya. Jika terdapat perbedaan jumlah atau kualitas, maka Hiwalah tidak sah. Namun, jika pengalihan itu dalam bentuk Hiwalah Mutlaq, maka kedua utang itu tidak mesti sama;
  • Kedua utang itu mesti sama waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika terdapat perbedaan, maka Hiwalah tidak sah.

Jika akad Hiwalah telah terjadi, maka timbullah akibat hukum, yaitu sebagai berikut:

Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban pihak pertama untuk membayar hutang kepada pihak kedua secara otomatis menjadi terlepas. Sedangkan menurut sebagian ulama, kewajiban tersebut masih tetap ada selama pihak ketiga belum melunasi hutangnya kepada pihak kedua. Hal ini karena mereka memandang bahwa akad itu didasarkan atas prinsip saling percaya, bukan prinsip pengalihan hak dan kewajiban.

Kapan akad Hiwalah dikatakan berakhir?

Para ulama Fiqih menyimpulkan bahwa akan Hiwalah akan berakhir apabila terjadi hal-hal dibawah ini:

  • Salah satu pihak yang sedang melakukan akad membatalkan akad Hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap. Dengan demikian, pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran utang kepada pihak pertama, demikian pula pihak pertama kepada pihak ketiga;
  • Pihak ketiga melunasi utang yang dialihkan itu kepada pihak kedua;
  • Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua;
  • Pihak kedua menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan utang dalam akad Hiwalah itu kepada pihak ketiga;
  • Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar hutang yang dialihkan itu;
  • Hak pihak kedua, menurut ulama Hanafi tidak dapat dipenuhi karena pihak ketika mengalami bangkrut wafatnya dalam keadaan bangkrut, wafat atau dalam keadaan tidak ada bukti autentik tentang bukti Hiwalah, sedangkan pihak ketiga mengingkari akad itu. Sedangkan menurut ulama Maliki, Syafi'i dan Hambali, selama akad Hiwalah sudah berlaku tetap karena persyaratan yang ditetapkan sudah terpenuhi, maka akan Hiwalah tidak dapat berakhir karena hal-hal di atas.