Pengertian dan Macam-Macam Mafhum Mukhalafah

Daftar Isi

https://www.abusyuja.com/2021/01/pengertian-dan-macam-macam-mafhum-mukhalafah.html
Secara bahasa, mafhum artinya “pengertian.” Sedangkan menurut istilah, mafhum adalah pengertian suatu lafaz, bukan arti harfiah dari yang diucapkan. Misal, dalam Al-Qur’an dijelaskan mengenai larangan berkata “ah” kepada orang tua. Atau dalam hadis dijelaskan larangan berkata “hus” kepada orang tua.

Ditinjau dari segi mantuqnya, hukum mengucapkan “ah” dan “hus” terhadap orang tua adalah haram. Tetapi ditinjau dari segi mafhumnya, menyakiti, melukai atau bahkan memukul orang tua pun juga diharamkan. Sebab, mengucapkan “ah” dan “hus” saja diharamkan, apalagi menyakiti mereka.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mantuq merupakan makna yang tersurat, sedangkan mafhum adalah makna yang tersirat. Tetapi pada artikel ini, kami hanya ingin membahas mengenai pembagian mafhum mukhalafah saja, dan untuk pengertian mantuq dan mafhum secara detail telah kami bahas pada artikel sebelumnya. Baca: Pengertian Mantuq dan Mafhum

Macam-macam mafhum mukhalafah

Mafhum mukhalafah adalah segala hukum yang tidak dilafazkan berlainan atau berlawanan hukumnya dengan yang dilafazkan. Dalam bahasa sederhana, mafhum mukhalafah dapat diartikan sebagai hukum yang berlawanan dari hukum yang dilafazkan.

Contoh, ketika Allah memerintahkan makhluknya untuk menikahi wanita-wanita muslim, maka mafhum mukhalafahnya adalah Allah melarang kita menikahi wanita-wanita non muslim.

Mafhum mukhalafah terbagi menjadi lima:

1. Mafhum Sifat

Maksudnya adalah berlakunya kebalikan, hukum sesuatu yang disertai dengan sifat apabila sifatnya itu tidak menyertainya. Sebagaimana firman Allah,

Barangsiapa di antara kamu yang tidak cukup perbelanjaannya untuk menikahi wanita merdeka, suci lagi beriman, maka dia boleh menikahi wanita yang beriman dari hamba-hamba sahaya yang kami miliki. (QS. An-Nisa: 25)

Mafhum sifat dari boleh menikahi wanita hamba sahaya yang “beriman” adalah tidak boleh menikahi wanita hamba sahaya yang tidak beriman (kafir).

2. Mafhum Syarat

Adalah berlakunya hukum sesuatu yang dihubungkan dengan syarat, apabila syarat itu tidak terdapat padanya.

Misal, dalam firman Allah,

Jika mereka dengan senang hati menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS An-Nisa: 4)

Persyaratan halalnya untuk suami menikmati sebagian dari maskawin istrinya adalah dengan menyerahkan secara suka hati, mafhum syaratnya, apabila istri itu tidak menyerahkannya dengan suka hati, maka haram atas suami memakannya.

3. Mafhum Ghayah

Adalah berlakunya hukum yang disebut sampai pada batas tertentu, dan berlaku kebalikan hukum bila hal tersebut terlampaui.

Misal, dalam firman Allah,

Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar...” (QS. Al-Baqarah: 187)

Kebolehan makan dan minum pada bulan Ramadhan adalah sampai terbitnya fajar. Mafhumnya ghayahnya adalah, larangan makan dan minum apabila fajar telah terbit.

4. Mafhum Hasr

Adalah suatu hukum yang disertai pembatasan yang tidak melampaui sesuatu di luar batasan tersebut. Yang di luar batas artinya berlaku hukum kebalikannya.

Misal dalam hadis Nabi dikatakan,

Riba itu hanya pada Nasiah.” (Al-Hadis)

Nasiah adalah pembayaran biaya di akhir dengan disertai biaya tambahan. Dengan demikian, mafhumnya adalah selain pada Nasiah, unsur riba tidak akan berlaku atau tidaklah ada.

5. Mafhum Laqab

Adalah mafhum dari nama yang menyatakan zat, baik nama diri, seperti Ahmadi, Amin Abdullah, berbentuk  nama jenis, seperti emas, padi dan lainnya. Selain yang disebutkan berlaku hukum kebalikannya.

Misal, dalam hadis Nabi yang menjelaskan tentang barang-barang yang mengandung riba,

(Menukar) emas dengan emas, perang dengan perak, bur dengan bur, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam. (Hendaklah) yang serupa (sifatnya) sama (jumlahnya) suka sama suka.” (Al-Hadis)

Dari segi mantuq, keenam barang di atas apabila penukarannya sama dan atas suka sama suka, maka tidak dianggap riba. Bila penukaran barang itu “tidak” sejenis baik sifat dan jumlahnya sebagaimana hadis terbut, maka jelas dihukumi riba. Mafhum laqabnya adalah, selain enam jenis barang tersebut, hukum tidak riba meskipun dalam penukarannya terjadi perbedaan jumlah maupun sifat.

Berhujah dengan mafhum mukhalafah

Jumhur ulama sepakat bahwa boleh hukumnya berdalil dengan mafhum mukhalafah kecuali pada mafhum laqab. Sedangkan menurut golongan Hanafiah, Ibnu Hazm dan Golongan Zahiriah berpendapat bahwa semua jenis mafhum mukhalafah tidak dapat dijadikan dasar.

Jumhur ulama memberikan syarat apabila ingin berhujah dengan mafhum mukhalafah:

Pertama: Mafhum mukhalafah tidak berseberangan dengan dalil yang kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum mukhalafah.

Kedua: Hal yang disebutkan itu tidak dalam hubungan menguatkan suatu keadaan. Misalnya, “Dan Dialah Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kami dapat memakan dari padanya daging yang segar.” (QS. An-Nahl: 14)

Mafhum mukhalafahnya adalah larangan makan ikan kering (bukan daging segar). Dan itu tidak bisa dijadikan hujah.

Ketiga: Jika yang disebutkan itu dalam rangkaian dengan sesuatu yang lain, maka mafhum mukhalafahnya tidak menjadi dasar. Misal, “(Tetapi janganlah kamu campuri mereka istri-istri, sedangkan kamu beritikaf di masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Mafhumnya boleh mencampuri istri apabila tidak beritikaf di masjid tidak boleh dijadikan dasar.

Keempat: Hal yang disebutkan itu bukan sesuatu yang biasa terjadi, seperti firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 23.

Kelima: Hal yang disebutkan itu bukan dalam rangkaian dengan sesuatu yang lain, seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 187.

Ayat di atas tidak mengandung mafhum mukhalafah bahwa bagi orang yang beritikaf bukan di masjid boleh bersetubuh dengan istrinya.

Itulah pembagian atau jenis-jenis dari mafhum mukhalafah. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat. Wallahu A’lam