Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penjelasan Lafal Mujmal dan Mubayyan

https://www.abusyuja.com/2021/01/penjelasan-lafal-mujmal-dan-mubayyan.html
Bismillah, sesuai judul di atas, kami ingin menjelaskan tentang istilah mujmal dan mubayyan dalam ushul fiqih. Kami juga akan membahas tingkatan-tingkatan pada bayan serta penangguhan-penangguhan dalam bayan. Simak selengkapnya.

Pengertian Mujmal dan Mubayyan

Secara istilah, mujmal adalah lafaz yang sighatnya tidak jelas menunjukkan apa yang dimaksud. Sedangkan mubayyan adalah lafaz yang sighatnya jelas menunjukkan apa yang dimaksud.

Lafaz mujmal dapat terjadi pada:

Pertama, lafaz mufrad, baik dalam bentuk isim, fi’il, maupun huruf yang bentuknya isim, seperti lafaz قُرْءٌ  bisa berarti suci dan haid. Yang berbentuk fi’il, seperti lafaz  عَسْعَسْ bisa berarti datang dan pergi. Yang berbentuk huruf, seperti الوو  bisa untuk ‘ataf, awal kalimah, atau sumpah (huruf qasam).

Kedua, susunan kalimat, seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 237,

اَوْ يَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاحِ

Atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah...”

Yang dimaksud dengan الَّذِيْ بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاحِ dalam ayat tersebut belum jelas, apakah wali atau suami.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan, lafaz mujmal itu masih memerlukan penjelasan (bayan), sehingga dapa diketahui maksudnya secara jelas. Selama dalam keadaan mujmal, maka hukumnya ditangguhkan sampai ada bayan (penjelasan).

Tingkatan Bayan

Yang dimaksud dengan bayan adalah menjelaskan status yang tidak jelas sehingga menjadi jelas. Tingkatan bayan sendiri ada lima:

1. Bayan Qauli

Yaitu bayan menggunakan kata-kata, atau disebut juga sebagai bayan penguat, misalnya dalam firman Allah,

فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ فِى الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ اِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ

Maka wajib (puasa) tiga hari tiga malam dalam masa haji dan tujuh hari setelah pulang. Itulah sepuluh hari yang sempurna.” (QS. Al-Baqarah 196)

Kata-kata عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ menguatkan  kata ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ dan سَبْعَةٍ yang ditegaskan dalam sebelumnya.

2. Bayan Fi’li

Yaitu bayan menggunakan perbuatan, seperti sabda Nabi, “Shalatlah sebagaimana kamu melihat shalatku.” Hadis tersebut menguatkan pelaksanaan shalat yang dilakukan Nabi.

3. Bayan Isyarah

Yaitu bayan dengan menggunakan isyarah. Contoh, penjelasan Nabi tentang keharaman emas dan perak bagi kaum laki-laki. Beliau bersabda,

Sesungguhnya dua (barang ini haram atas umatku yang laki-laki.” (Al-Hadis)

4. Bayan Tarku

Yaitu bayan dengan meninggalkan, seperti hadis riwayat Ibnu Hibban,

Yang terakhir dari dua perkara dari Nabi Saw. adalah tidak mengambil wudu karena memakan sesuatu yang dimasak.”

5. Bayan Sukut

Yaitu bayan dengan cara diam setelah ada pertanyaan. Contohnya ketika salah seorang sahabat Uwaimir al-Jalany bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang istrinya yang kelihatannya berselingkuh, maka Rasul diam tidak memberikan jawaban.

Hal ini menunjukkan tidak ada hukum Li’an. Setelah turun ayat Li’an, Nabi bersabda, “Sesungguhnya telah diturunkan (ayat) Al-Qur’an mengenai kamu dan istrimu, dan Nabi menjalankan Li’an antara keduanya.

Penangguhan Bayan

Setiap lafaz ‘Am, Mutlaq, Mujmal, majas dan Musytak diperlukan penjelasan atau keterangan, tetapi penjelasan tidak mesti segera datang atau ditangguhkan. Penangguhan dalam bayan ada dua:

Pertama, penangguhan penjelasan dari waktu dibutuhkan. Dalam masalah ini, para ulama sepakat bahwa penjelasan tidak boleh lambat dari waktu diperlukan. Sebab dampaknya penangguhan berarti membolehkan mengamalkan sesuatu yang masih mujmal (global).

Contohnya dalam hadis riwayat Siti ‘Aisyah mengenai kedatangan Fatimah binti Abu Hubais kepada Nabi seraya bertanya, “Hai Rasulullah, saya perempuan yang berpenyakit istihadah. Sebab itu saya tidak pernah suci, apakah saya boleh meninggalkan shalat?

Lalu Nabi menjawab,

Tidak, itu hanya semacam cairan, bukan haid. Maka apabila datang haid, maka tinggalkanlah shalat dan apabila (haid) telah berlalu (berhenti), maka basuhlah darah itu dari dirimu dan laksanakan shalat.”

Hadis di atas menerangkan tentang wajibnya bersuci bagi wanita mustahadhah (wanita yang mengalami istihadhah) setiap kali ingin mengerjakan shalat, sebab bila wajib bersuci, niscaya Rasul memberikan penjelasan di waktu itu juga, karena pada waktu itulah penjelasan (bayan) diperlukan.

Kedua, penangguhan penjelasan dari waktu khitab, artinya bahwa pada saat turunnya perintah tidak ada penjelasan pelaksanaannya. Kemudian Jibril mencontohkan kepada Nabi, dan selanjutnya Nabi mencontohkan kepada umat-umatnya. Penangguhan penjelasan seperti ini menurut jumhur ulama fiqih dan ulama kalam hukumnya boleh.

Demikianlah penjelasan singkat mengenai mujmal dan mubayyan. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat. Wallahu A’lam