Mengenal Substansi Khittah Nahdliyah (Khittah NU)

Daftar Isi

https://www.abusyuja.com/2021/02/mengenal-substansi-khittah-nahdliyah-khittah-NU.html
Kata Khittah berasal dari kata khattha, yang artinya menulis dan merencanakan. Kata Khittah kemudian bermakna garis dan thariqah (jalan). Kata Khittah sangat dikenal kalangan masyarakat Nahdiyin, sejak tahun 1984. Pada tahun 1984, NU menyelenggarakan Muktamar ke-27 di Situbondo.

Muktamar inilah yang akhirnya berhasil memformulasikan garis-garis perjuangan NU yang sudah lama ada ke dalam formulasi yang disebut sebagai “Khittah NU”. Sekarang, kata ini telah umum dipakai, tidak sebatas komunitas NU. Penggunaan maknanya mengacu pada prinsip, dasar ataupun kelompok.

Dalam hubungannya dengan Nahdlatul Ulama, kata “Khittah” berarti garis-garis pendirian, perjuangan kepribadian Nahdlatul Ulama, baik yang berhubungan dengan urusan keagamaan, maupun urusan kemasyarakatan, baik secara perorangan maupun secara organisasi.

Garis-garis termaksud, sesungguhnya sudah dimiliki para ulama pengasuh pesantren secara membudaya, memasyarakat, dan mentradisi. Ketika dia mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama, maka garis-garis tersebut dituangkan di dalamnya, untuk dilestarikan, dipelihara, dan dikembangkan.

Fungsi-fungsi itu di rumuskan sebagai “landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga Nahdlatul Ulama yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan”. Artinya, pikiran, sikap dan tindakan warga NU harus berlandaskan atas Khittah NU, baik secara perorangan maupun secara organisatoris.

Demikian pula, setiap kali mengambil keputusan, maka proses, prosedur, dan hasil keputusan itu hanya sesuai dengan Khittah NU. Contohnya, ketika NU menghadapi masalah Negara Republik Indonesia. Sebagai organisasi keagamaan yang pertama kali dipertanyakan adalah apakah NKRI itu sah menurut hukum Islam atau tidak? Bagaimana sikap dan tindakan NU menghadapinya dibela kehadirannya, disempurnakan kekurangan-kekurangannya, diluruskan kekeliruan-kekeliruan pengelolanya, didukung program-programnya atau bagaimana? Semuanya diambil keputusan melalui jalur musyawarah, dengan mempertimbangkan segala kepentingan secara seimbang dengan menggunakan dalil-dalil dan kaidah-kaidah keagamaan. Jadi tidak hanya mengikuti emosi sesaat atau kepentingan sesaat, apalagi mengabaikan berbagai pertimbangan yang wajar dan proporsional, artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya.

Materi, landasan atau garis-garis termaksud (Khittah) adalah “Faham Islam Ahlussunnah Wal Jamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, meluputi dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan”. Faham Ahlussunnah Wal Jamaah atau Islam menurut Ahlussunnah Wal Jamaah, bagi NU tidak hanya terbatas pada bidang atau urusan Aqidah saja, tetapi juga mengenai bidang-bidang fiqih, tasawuf atau akhlak, bahkan meluas, tercermin di dalam sikap-sikap kemasyarakatan tertentu.

Khittah NU  juga digali dari intisari perjalanan sejarah kehidupannya dari masa ke masa, artinya, kita NU secara terwujud “Islam Ahlussunnah Wal Jamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia”,  juga dilengkapi dan diperkaya dengan intisari pelajaran dari pengalaman selama berjuang (berkhidmah), sepanjang sejarah. Dengan demikian, Khittah NU menjadi bersifat jelas, kenyal,  luwes dan dinamis menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia meliputi dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan

Khittah NU  juga digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke masa. Ungkapan, “Yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia”, sama sekali bukan dimaksudkan untuk mengubah Islam Ahlussunnah Waljamaah dan disesuaikan dengan kondisi kemasyarakatan di Indonesia. Ungkapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Islam adalah agama universal yang ajaran-ajarannya dapat dan harus diperjuangkan penerapannya di seluruh dunia.
  2. Di antara ajaran Islam terdapat poin-poin ajaran yang prinsipnya seragam, tetapi wujud penerapannya berbeda-beda, lantaran perbedaan tempat, situasi dan kondisi.

Sebagai formulasi yang kemudian menjadi perumusan “Khittah NU”, maka tahun 1984 bukan tahun kelahirannya. Kelahiran “Khittah NU” sebagai garis, nilai-nilai dan Jalan Perjuangan, ada bersamaan dengan tradisi dan nilai-nilai di pesantren dan masyarakat NU.

Selain penggunaan kata “Khittah NU”, kadang-kadang juga digunakan kata “Khittah 26”. Kata-kata ini merujuk pada garis, nilai-nilai dan model perjuangan NU yang dipondasikan pada tahun 1926 ketika NU didirikan. Pondasi perjuangan NU tahun 1926 ini mengalami perubahan ketika NU bergerak di bidang politik praktis.

Pengalaman NU ke dalam politik praktis, terjadi ketika NU menjadi partai politik sendiri sejak 1952. Setelah itu, NU melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sejak 5 Januari 1973. Ketika NU menjadi partai politik, banyak kritik yang muncul dari kalangan NU sendiri, yang salah satunya menyebutkan bahwa elit-elit politik dianggap tidak banyak mengurus umat. Kritik-kritik ini berujung pada perjuangan dan perlunya kembali kepada Khittah.

Gagasan kembali ke Khittah NU semakin nyata setelah Munas Alim Ulama di Kaliurang tahun 1981 dan di Situbondo tahun 1983. Pada Munas di Situbondo itu bahkan dibentuk “Komisi Pemulihan Khittah NU”. Komisi ini dipimpin oleh KH. Chamid Widjaya, sekretaris H. M. Said Budairi, dan wakil skretaris H. Anwar  Nurris.

Komisi ini berhasil menyepakati “Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila,” kedudukan ulama di dalanya, hubungan NU dan politik, dan makna Khittah NU 1926. Hasil-hasil dari Munas Alim Ulama ini kemudian ditetapkan sebagai hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 setelah melalui diskusi dan perdebatan yang intens. Muktamar Situbondo inilah yang akhirnya berhasil memformulasikan rumusan Khittah NU.

Formulasi rumusan Khittah NU di Situbondo ini sangat monumental karena menegaskan kembalinya NU sebagai Jamiiah diniyah ijtima’iyah. Rumusan ini mencakup pengertian Khittah NU, dasar-dasar paham keagamaan NU, sikap kemasyarakatan NU, perilaku yang dibentuk oleh dasar-dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU, ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan NU, fungsi ulama di dalam jami'iyyah, dan hubungan NU dengan bangsa.

Fungsi ulama juga ditegaskan kembali pada Khittah NU sebagai rantai pembawa paham Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Ulama di posisi itu ditempatkan sebagai pengelola, pengawas, dan pembimbing utama jalannya organisasi. Fungsi ulama ini tidak dimaksudkan sebagai penghalang kreativitas, tetapi justru sebaliknya untuk mengawal kreativitas.

Dalam hubungannya dengan kreativitas itu, Khittah NU menyebutkan bahwa jami’iyyah NU harus siap menyesuaikan diri dengan setiap perubahan-perubahan yang membaca kemaslahatan, menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu, dan mempercepat perkembangan masyarakat, menjunjung tinggi kebersamaan masyarakat, menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan para ahlinya.

Khittah NU juga menegaskan aspek penting kaitannya dengan bangsa. Dalam soal ini, setiap warga NU diminta menjadi warga negara yang senantiasa menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945. Sebagai bagian dari umat Islam Indonesia, masyarakat NU diminta senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan, tasamuh, kebersamaan dan hidup berdampingan. Ini didasari karena Indonesia dan umat Islam Indonesia sendiri sangat majemuk.

Tampak sekali cita-cita Khittah NU yang diformulasikan tahun 1984 itu begitu baik. Juga tampak Khittah NU menegaskan posisinya sebagai gerakan sosial keagamaan yang akan mengurus masalah-masalah umat. Hanya saja, dalam praktik, tarikan politik praktis selalu menjadi dinamika yang mempengaruhi eksistensi Jami’iyyah NU. Dan titik-titik demikian, Khittah NU selalu menghadapi kenyataan krisis, pertarungan internal, dan sekaligus dinamis di tengah kebangsaan dan dunia global.