Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Masak Pakai Minuman Beralkohol, Bagaimana Hukumnya?

Masak Pakai Minuman Beralkohol, Bagaimana Hukumnya?
Ada beberapa orang yang menganggap bahwa minuman beralkohol halal digunakan dalam masakan, sebab alkohol akan menguap pada suhu 80 derajat. Dengan demikian, asumsinya hasil masakan yang akan dikonsumsi nantinya sudah tidak mengandung alkohol lagi. Lantas, apakah pemikiran seperti ini dibenarkan?

Tentu tidak sesederhana itu. Dalam pendapat mayoritas ulama Syafi’iyyah dan lainnya, minuman beralkohol atau biasa disebut minuman yang memabukkan seperti rum, tuak, sake, anggur, mirin (sake manis ala jepang) atau apa pun namanya masuk dalam kriteria khamar.

Khamar sendiri dengan tegas (tanpa adanya ikhtilaf) dihukumi najis. Jadi, karena itu barang najis, maka haram hukumnya untuk dikonsumsi atau dicampurkan pada makanan maupun masakan. Apabila tetap dicampurkan pada masakan misalnya, maka masakan tersebut menjadi najis dan otomatis haram untuk dimakan meskipun kelihatannya bersih.

Jadi, masalahnya bukan pada alkohol yang menguap atau tidak, melainkan pada hukum najis masakannya yang tidak bisa hilang sebelum disiram air sampai bersih. Kenapa harus disiram dengan air bersih? Karena masakan najis tersebut bisa suci apabila disiram dengan air (sebagaimana ketentuan suci dalam bab najis).

Mari sama-sama kembali ke bab najis. Secara hukum fiqih, kasus masakan yang terkontaminasi dengan najis terbagi menjadi dua. Pertama, masakan suci yang dicampur dengan najis mutawassithah atau najis sedang (seperti Khamar misalnya), ia dapat disucikan kembali apabila disiram dengan air hingga bersih, meskipun secara kimia najisnya tetap meresap ke dalam. Itulah bedanya hukum fiqih dan hukum sains.

Kedua, masakan suci yang dicampur dengan najis mughallazah. Contoh, rempah dan sayur-sayuran yang dicampur dengan daging babi atau anjing, ia secara mutlak dihukumi najis, haram dimakan, serta tidak dapat disucikan mengingat benda tersebut hakikatnya adalah najis (tidak bisa disucikan).

Dari kedua klasifikasi di atas dapat disimpulkan, benda suci (contoh: rempah dan sayuran) yang terkena najis sedang (seperti khamar misalnya), ia tetap bisa disucikan dengan cara sebagaimana di atas. Sedangkan benda suci yang terkena najis berat (contoh: daging babi atau anjing), ia secara mutlak tidak bisa disucikan dan haram untuk dimakan.

Perlu diketahui, alkohol dan khamar merupakan dua hal yang berbeda. Alkohol adalah zat kimia yang tidak najis, tetapi apabila ia menjadi atau dijadikan khamar (minuman memabukkan), maka saat itulah ia menjadi najis.

Untuk perbedaan hukum khamar dan alkohol, kami telah membahasnya pada artikel ini:

Bila secara alami sifat memabukkannya hilang, seperti didiamkan hingga menjadi cuka dengan sendirinya, maka ia kembali suci lagi, sebab statusnya tidak menjadi khamar lagi atau sifat memabukkan telah hilang.

Kesimpulannya, memakai minuman beralkohol (khamar) untuk memasak adalah tidak dibenarkan dalam Islam. Alasan “menguap” dalam konteks tersebut tetap tidak bisa menggugurkan status najisnya. Kalau memang tetap dilakukan, solusi agar masakan tersebut suci kembali adalah menyiramnya dengan air sampai bersih. Tetapi kalau yang dimasak adalah benda yang memang benar-benar najis, seperti anjing dan babi, atau kaldu (penyedap rasa) yang berasal dari dua hewan tersebut, maka secara mutlak dihukumi haram. Wallahu A'lam