Membunuh Kemanjaan Dalam Islam

Daftar Isi

Membunuh Kemanjaan Dalam Islam
Persoalan kemanjaan sebenarnya hanyalah urusan mental. Dalam Islam, sifat kemanjaan hendaklah harus disingkirkan. Dalam upaya mencapai kesuksesan, kemanjaan menjadi bahaya besar, karena banyak orang yang gagal dibuatnya. Tidak ada sukses yang bisa dicapai tanpa perjuangan, sedangkan perjuangan bukanlah sesuatu yang manis seperti gula, tetapi pahit. Nanti, di puncak kesuksesan, barulah rasa manis bisa dikecap.

Kemanjaan bisa membuat seseorang menjadi tidak tahan menangung berat dan mengecap pahit, sehingga kemudian akhirnya menjauhinya. Orang yang tidak kokoh dalam berjuang, bagaimana mungkin bisa mencapai kesuksesan?

Apa pun cita-cita kita, tidaklah bisa dicapai kalau sifat kemanjaan masih melekat dalam tubuh kita. Mau memiliki ilmu yang dalam dan luas, syaratnya adalah perjuangan. Sebagaimana Imam Syafii yang mengajarkan dan mencontohkan bahwa merantau dan berjuang di perantauan adalah jalan untuk meraih kemantapan ilmu.

Mau sukses dalam berbisnis, syaratnya adalah perjuangan. Harus siap gagal, lalu bangkit lagi. Gagal lagi, bangkit lagi. Mau sukses dalam berdakwah, juga syaratnya adalah perjuangan. Harus siap mengorbankan harta, tenaga, bahkan jiwa.

Sampai-sampai, surga pun disyaratkan Allah dengan perjuangan. Barangsiapa yang ingin mendapatkan surga, maka ia harus tangan menghadapi banyak rintangan dan halangan. Maka tidaklah bijaksana apabila kita membiarkan diri kita berlarut-larut dalam kemanjaan, bergantung pada orang tua, dan memilih untuk diayomi dan disuapi.

Kemanjaan membuat seseorang menjadi kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri. Karena ia tidak menganggapnya perlu. Yang ia pikirkan saat ada keperluan adalah meminta bantuan kepada orang terdekatnya, bukan mencari solusi. Maka, kita pun sering melihat orang-orang yang manja, mengurus keperluannya yang sepele pun sudah tidak bisa. Apalagi kalau menghadapi kesulitan, tentulah air matanya akan terurai dan rengekan terus terdengar.

Sayangnya, banyak yang masih menganggap bahwa orang tua yang memanjakan anaknya adalah pertanda kasih sayang, sehingga masih saja banyak orang tua yang seperti itu. Mereka tidak tahan melihat anaknya kesulitan, walaupun hanya sedikit. Alhasil, tumbuhlah anak tanpa kemampuan untuk mengurus keperluannya sendiri.

Orang tua seperti itu harus sadar bahwa ia tidak selamanya bisa mengurusi keperluan anaknya. Maka hal yang mesti dilakukan, sejatinya, adalah mengembangkan kemampuan sang anak, bukan malah membuatnya tidak berdaya dengan memanjakan setiap saat. Oleh karena itu, dalam ilmu parenting pun tidak ada saran untuk memanjakan anak, justru anak harus dilatih kemampuannya di setiap tahap tumbuh-kembangnya.

Dalam menghadapi ujian hidup, sering kali kita haris melirik ke dalam diri kita sendiri. Bagaimana respon kita saat berhadapan dengan tentangan? Apakah kita memilih untuk mundur atau justru tergerak untuk mengalahkan tantangan itu? Kita akan menemukan momentum berat masing-masing. Kalau kita memilih untuk mundur, jelas saja kita tidak akan pernah naik kelas. Adapun, kalau kita memilih untuk berjuang menghadapinya, kualitas diri kita akan terus membaik. Insya Allah.

Rasulullah menjadi teladan kita dalam menumbuhkan mental pejuang. Coba kita ingat peristiwa yang dialami Rasulullah saat wahyu pertama diturunkan. Beliau ketakutan, sampai-sampai lari ke rumah dan meminta diselimuti oleh istrinya, Ummu Mu’minin Khadijah ra. Akan tetapi, beliau tidak menolak tugas berat itu. Beliau tetap mengemban di pundaknya. Karena beliau yakin, Allah Swt. tidak membiarkan hamba-Nya berjuang di jalan-Nya sendirian. Pertolongan dari Allah sudah pasti. Maka, kita tidak boleh manja.

Kesimpulannya, sifat manja tidaklah dilarang, tetapi dalam kebanyakan hal, sifat manja justru akan menjadi penghambat kita dalam mencapai tujuan, khususnya dalam pengembangan potensi diri. Sebab, sifat manja memancing kita untuk terus bergantung kepada orang lain, menyandarkan segala urusan kepada orang lain, dan menjauhkan kita dari rasa tanggungjawab.