Mengapa Islam Melarang Umatnya Berprasangka Buruk Terhadap Orang Lain?

Daftar Isi

Mengapa Islam melarang umatnya berprasangka buruk terhadap orang lain?
Abusyuja.com – Prasangka buruk merupakan perbuatan yang tercela, perbuatan yang dilarang dalam Islam. Alasannya adalah ia tidak mendatangkan sedikit pun kebaikan, melainkan sebaliknya, ia dapat mendatangkan madharat (keburukan) bagi pelakunya sendiri.

Sebagaimana firman Allah,

Prasangka itu tidak mendatangkan kebenaran apa pun.” (QS. Yunus: 36)

Prasangka buruk atau yang dikenal dengan istilah “Suudzon” selain mendatangkan madharat, orang yang gemar melakukannya akan memanen dosa besar. Hal ini dipertegas dalam firman Allah berikut, 

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah memperbanyak prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa.”

Nabi juga bersabda,

Takutlah kalian berprasangka, karena ia merupakan sedusta-dusta perkataan.” (Al-Hadis)

Dari dalil di atas dapat disimpulkan bahwa prasangka buruk merupakan perbuatan yang berbanding lurus dengan “dosa” dalam pandangan Allah dan merupakan “perbuatan dusta” dalam pandangan Rasulullah.

Oleh karenanya, prasangka buruk haruslah dihindari, dan hanya orang-orang mukmin-lah yang dapat melakukannya, sedangkan orang-orang yang hatinya kotor akan sulit melakukannya.

Menurut Imam Sufyan Ats-Tsauri, prasangka buruk itu ada dua macam. Pertama, prasangka yang mendatangkan dosa, yaitu prasangka yang dikeluarkan atau diucapkan ke luar dari mulut. Kedua, prasangka yang tidak mendatangkan dosa, yaitu prasangka yang secara sekilas dilakukan dalam hati saja.

Tetapi tidak menutup kemungkinan keduanya juga dapat membuka jalan pada perbuatan dosa. Sebab, hati yang kotor biasanya akan merespon sesuatu yang kotor pula. Jadi tidak mengherankan apabila prasangka model kedua akan membuka jalan ke prasangka ke model pertama. Artinya, prasangka yang tertumpah melalui ucapan biasanya terjadi karena bermula dari prasangka dari hati.

Secara kesimpulan, keduanya haruslah dihindari, karena memiliki keterkaitan satu sama lain. Bahkan dalam beberapa riwayat, Allah justru melihat apa yang ada di ke dalam hati hamba-Nya, yang artinya, setiap prasangka dalam hati manusia tak pernah luput dari pantauan-Nya.

Hal ini sangat penting kami sampaikan agar bisa menjadi himbauan bijak untuk kita semua, karena dalam kondisi bangsa yang semakin “serba semrawut” ini, sangat mungkin sikap saling prasangka ini akan menjadi budaya baru bagi setiap lapisan masyarakat, khususnya para pegiat media Online. Karena di zaman sekarang, banyak sekali oknum-oknum media Online yang pandai membuat stigma buruk, fitnah, dan prasangka buruk kepada calon konsumennya. Wallahu A’lam

Siti Aisyah, istri Rasulullah Saw. pernah mendapatkan fitnah, mendapatkan prasangka buruk bahwa beliau telah berselingkuh, hingga akhirnya masyarakat Madinah dibuat gempar (istilah sekarang: viral). Hingga Rasulullah pun tidak berkenan kepadanya.

Menurut hemat kami, suudzon dan fitnah diibaratkan kakak dan adik. Fitnah adalah “sengaja” membuat keburukan untuk menutupi kebenaran, sedangkan suudzon adalah prasangka “buruk” yang belum jelas benar tidaknya. Artinya, keduanya sama-sama memikirkan keburukan.

Contoh, ada seseorang yang melihat dua orang keluar dari masjid. Si A dan si B. Si A adalah orang yang keluar dari masjid dengan memakai gamis, sorban dan tasbih, sedangkan si B keluar menggunakan pakaian kumuh seperti pakaian preman gembel. Orang yang berpikir negatif tentu akan menganggap bahwa si A pasti lebih baik dari si B. Ia berprasangka bahwa ibadah si A dianggap lebih serius, lebih alim, lebih soleh, dan ibadahnya lebih diterima oleh Allah, sedangkan si B dianggap sebagai orang yang mempermainkan agama, berpakaian tidak sopan, dan dianggap tidak memiliki akhlak karena penampilannya.

Padahal kenyataannya, si B pergi ke masjid hanya untuk salat dan menggugurkan kewajibannya sebagai muslim. Sedangkan si A pura-pura memakai gamis agar uang dari kotak amal yang ia curi bisa masuk ke dalam saku-saku gamisnya.

Dari perumpamaan di atas, kita bisa mengambil hikmah bahwa penampilan seseorang biasanya menjadi salah satu bahan yang kerap kali digunakan untuk dorongan berprasangka. Yang berpenampilan “brukut”, bergamis, bersorban sembari memutar-mutar tasbih serta tidak jelas sanad keilmuannya langsung dianggap “ustadz”. Sedangkan yang gelandangan di pinggir jalan dianggap sebagai sampa rakyat, manusia tak bermoral, dll. (padahal bisa saja orang tersebut ternyata ahli zikir yang hatinya malah lebih bersih dibandingkan hati kita).

Terakhir, jawaban untuk pertanyaan, “Mengapa Islam melarang umatnya berprasangka buruk terhadap orang lain?” Adalah sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-hujarat ayat 12:

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hujarat: 12)