Hukum Memanfaatkan Fasilitas Masjid Untuk Tidur

Daftar Isi

Hukum Memanfaatkan Fasilitas Masjid Untuk Tidur
Seperti yang kita tahu, fasilitas-fasilitas di dalam masjid memang ditujukan untuk kenyamanan para jamaah ketika beribadah. Seperti penambahan pendingin ruangan, karpet, lampu, hiasan atau ornamen, dan lain sebagainya.

Nah, sekarang pertanyaannya, bagaimana hukum menggunakan fasilitas tersebut untuk keperluan yang bukan termasuk ibadah, seperti memanfaatkan karpet masjid untuk alas tidur misalnya?

Di dalam kitab I’lamu as-Sajid bi Ahkami al-Masajid dijelaskan:

An-Nawawi berkata, ‘Lampu masjid boleh dihidupkan jika dimanfaatkan oleh penghuni masjid, seperti orang yang salat, tidur, dan sebagainya. Jika masjid dalam keadaan kosong atau terkunci, dan tidak mungkin ada orang yang masuk, maka lampu masjid tidak boleh dihidupkan. Karena hal itu sama saja dengan membuang-buang harta’. Ibn ‘Abdi as-Salam berpendapat boleh menghidupkan sebagian kecil lampu masjid saat malam hari meski tidak ada orang. Hal ini guna menghormati masjid dan karena menghindari gelap.(I’lamu as-Sajid bi Ahkami al-Masajid: 280)


Dari dalil di atas jelas bahwa memanfaatkan karpet untuk tidur hukumnya diperbolehkan. Sebab, ia juga termasuk penghuni masjid yang boleh memanfaatkan fasilitas masjid. Menyinggung soal ibadah, ternyata tidur pun pada dasarnya juga mengandung pahala ibadah.

Pertama, orang tidur sama saja tidak melakukan maksiat, dan itu sejalan dengan apa yang diperintahkan Allah Swt. bahwa seorang muslim wajib hukumnya menjauhi maksiat.

Kedua, orang tidur yang meniatkan tidurnya agar memiliki kekuatan lagi untuk beribadah kepada Allah, maka tidurnya pun dianggap ibadah. Sebab, biat istirahatnya untuk menunjang ibadahnya kepada Allah Swt.

Bagaimana hukumnya memanfaatkan fasilitas masjid yang diperuntukkan untuk golongan tertentu?

Permasalahan kedua adalah, bagaimana hukumnya salat, istirahat atau tidur di masjid yang dikhususnya untuk golongan tertentu? Atau dikhususkan untuk ormas tertentu?

Secara garis besar hukumnya tidak boleh, dengan catatan status wakaf tanah masjidnya memang sengaja dikhususkan untuk ormas tersebut. Misal si wakif (orang yang mewakafkan) mewakafkan tanah masjid tersebut untuk golongan A saja, sedangkan untuk golongan selain A tidak boleh. Ini hukum pertama.

Sedangkan hukum kedua diperbolehkan apabila status wakaf tanahnya tidak diketahui. Dan harus disesuaikan dengan adat yang berlaku di lokasi tersebut.

Dalil pertama adalah dijelaskan dalam Hasyiyah I’anah ath-Thalibin:

Andai masjid diwakafkan untuk orang-orang tertentu, maka boleh bagi orang lain masuk setelah mendapatkan izin dari orang-orang tersebut. Apabila masjid diwakafkan untuk golongan tertentu, maka bagi golongan lain tidak boleh masuk masjid tersebut meski telah mendapatkan izin dari mereka.” (Hasyiyah I’anah ath-Thalibin, Juz 3: 129)

Dalil tersebut dapat ditemukan titik terang bahwa objek pewakafan masjid memang sangat menentukan siapa saja yang berhak memanfaatkan masjid tersebut. Kalau diwakafkan untuk umum, maka boleh digunakan untuk umum. Kalau dikhususkan untuk Umar beserta keluarganya (misalnya), maka boleh digunakan untuk orang asing asalkan mendapatkan izin dari Umar atau keluarganya.

Tetapi, apabila dikhususkan untuk suatu golongan Islam atau ormas tertentu, maka hukumnya tidak boleh meskipun sudah mendapatkan izin dari mereka.

Dalil kedua adalah dijelaskan dalam kitab Al-Fatawi al-Fiqhiyyah al-Kubra:

Gentong air yang ada di samping masjid dan tidak diketahui untuk siapa gentong tersebut diwakafkan, (maka) hukumnya disesuaikan dengan adat yang berlaku.” (Al-Fatawi al-Fiqhiyyah al-Kubra, Juz 3: 226)

Wallahu A’lam


Sumber gambar: harakatuna.com