Hukum Sedekah Bumi Menurut Syariat Islam

Daftar Isi

Hukum Sedekah Bumi Menurut Syariat Islam
Sedekah bumi merupakan salah satu upacara adat yang melambangkan ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rezeki melalui kekayaan bumi berupa segala bentuk hasil bumi. Ada juga sedekah laut, yaitu sedekah yang digelar atas ungkapan rasa syukur atas hasil laut yang pada umumnya digelar pada minggu pertama bulan Syawal.

Nah, sekarang pertanyaannya, bagaimana hukum sedekah bumi atau sedekah laut ini? Mengingat substansi yang terkandung adalah sama-sama bertujuan untuk ungkapan rasa syukur mereka atas nikmat rezeki yang diterima?

Proses acara sedekah bumi di tiap-tiap daerah tentu berbeda-beda. Ada yang murni berisikan kegiatan positif, seperti tahlil, zikir, dan pengajian umum, tetapi ada juga yang berisi kegiatan-kegiatan negatif, seperti adu ayam, mempersembahkan sesajen, dan lain sebagainya.

Sehingga, hukumnya pun diperinci:

Pertama, apabila seluruh kegiatannya positif atau yang dianjurkan, maka hukumnya diperbolehkan.

Kedua, apabila keseluruhan acaranya berbentuk kegiatan negatif atau sejenis kegiatan yang dapat menimbulkan kemungkaran, maka hukumnya mutlak haram. begitu juga dengan kegiatan yang dicampur antara kegiatan positif dan negatif, hukumnya pun tetap haram.

Ketiga, apabila terdiri dari kegiatan positif dan negatif, tetapi tidak dijadikan satu, maka yang positif diperbolehkan dan yang negatif diharamkan.

Dalil pertama adalah sebagaimana dijelaskan dalam kitab Hasyiyah al-Syarwani:

“Isi kegiatan maulid hendaknya terbatas pada apa yang menunjukkan rasa syukur, seperti sedekah, membaca Al-Qur’an, puji-pujian maulid, dan lain-lain. Sedangkan kegiatan di belakangnya, seperti musik dan lainnya, jika dikatakan hal itu termasuk hal mubah yang hanya mengekspresikan kegiatan pada hari itu, maka diperbolehkan. Sedangkan hal haram, makruh, atau khilaf al-aula wajib dihindari.” (Hasyiyah al-Syarwani, Juz 7: 490)

Dalil kedua adalah sebagaimana dijelaskan dalam kitab ‘Umdatul al-Mufti wal Mustasfi:

“Andai pelaksanaan khataman Al-Qur’an di masjid menjadikan masjid kotor, tidak menghormati masjid, dan main-main dan hal itu tidak bisa dipisahkan dari kegiatan khataman, maka hukum melaksanakan khataman di masjid menjadi haram.” (‘Umdatul al-Mufti wal Mustasfi, Juz 1: 119)

Dalil ketiga adalah sebagaimana dijelaskan dalam Syarhu Ratib al-Hadad:

“Hal yang benar tidak bisa ditinggalkan karena hal batil. Jika hal batil bisa dihilangkan, maka wajib dilakukan. Jita tidak, maka seseorang diberi pahala atas kebenciannya pada hal tersebut dalam hati.” (Syarhu Ratib al-Hadad: 106)

Meskipun di dalam redaksi di atas tidak ada kata “sedekah bumi”, namun substansinya sejalan dengan permasalahan mengekspresikan rasa syukur. Ucapan rasa syukur dapat kita ekspresikan lewat berbagai kegiatan positif yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, itu hukum mutlaknya.

Bertentangan dengan syariat Islam ini bermakna sangat luas. Tetapi acuan yang dapat dijadikan batasan di dalam konteks syariat Islam adalah seluruh unsur yang tidak menyekutukan Allah dan merugikan orang lain.

Contoh:

Sedekah bumi di kuburan dengan menyuguhkan berbagai sajen untuk para nenek moyang yang mereka percayai sebagai sosok yang ikut andil dalam menyukseskan hasil bumi yang didapatkan. Jelas hal ini diharamkan, sebab ada unsur menyekutukan Allah.

Sedekah bumi dengan menanggap hiburan yang berpotensi akan menimbulkan berbagai hal negatif, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, mabuk, berjoget, dan lain sebagainya.

Menyinggung sedikit dari Syarhu Ratib al-Hadad, ketika seseorang tidak memiliki otoritas untuk mencegah kegiatan-kegiatan negatif di daerahnya, maka cukup baginya menjauhi dan membencinya. Sebab, kebenciannya nanti akan dibalas dengan pahala karena sama-sama membenci terhadap apa yang Allah benci, Wallahu A’lam