Pilih Mana, Salat Jumat atau Dipecat Dari Pekerjaan?

Daftar Isi

Pilih Mana, Salat Jumat atau Dipecat Dari Pekerjaan?
Dilema salat Jumat akhir-akhir ini mulai meluas. Mulai dari kebijakan PPKM yang melahirkan produk hukum mengenai peniadaan salat Jumat di daerah-daerah yang terjangkit, pembatasan kegiatan ibadah di masjid-masjid, bahkan sampai pro kontra antara pemerintah dengan masyarakat tradisional yang pola pikirnya masih didasari taklid, bukan berbasiskan ilmu keislaman.

Apakah PPKM ini sudah pantas dijadikan alasan sebagai “uzur” yang dapat membolehkan seseorang untuk tidak melakukan salat Jumat? Jawaban selengkapnya: Hukum Meninggalkan Salat Jumat di Masa PPKM

Nah, sekarang yang menjadi persoalan kedua adalah, apakah suatu risiko pekerjaan juga dapat dibenarkan sebagai alasan untuk tidak melaksanakan salat Jumat?

(Contoh): Alkisah, Pak Fulan bekerja di salah satu perusahaan swasta yang diwajibkan baginya untuk terus bekerja meskipun di waktu salat Jumat berlangsung. Sebab, ia menempati peran penting dalam perusahaan tersebut.

Singkat cerita, ketika beliau memutuskan untuk salat Jumat di masa jam kerjanya, ia mendapatkan teguran dari atasan dan diancam dengan pemecatan.

Pertanyaannya adalah, apakah pak Fulan “boleh” meninggalkan salat Jumat dengan alasan ia khawatir akan dipecat dari pekerjaannya?

Di dalam kitab Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tufah al-Muhtaj dijelaskan:

“Mencari penghasilan adalah uzur meninggalkan Jumat, jika ia butuh uang saat itu juga. Jika tidak, maka bukan uzur Jumat. Apakah seandainya ia belum butuh uang, tetapi ia tahu jika dia tidak bekerja sekarang, maka tidak mungkin bisa bekerja untuk mencukupi kebutuhan di lain watu sama dengan kasus di atas? Hal tersebut bisa dikatakan lebih pantas menjadi uzur.” (Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tufah al-Muhtaj, Juz 2: 299)

Dari dalil tersebut dapat disimpulkan bahwa, yang mengetahui batasan keadaan setiap pekerjaan adalah dari setiap individunya sendiri.

Artinya, ketika seseorang dapat mengukur bahwa kehilangan pekerjaan tersebut akan memberinya dampak buruk, seperti tidak mampu mencukupi kebutuhan pokok dirinya dan keluarganya misalnya, maka hal tersebut dibenarkan sebagai bentuk dari uzur. Dan boleh baginya meninggalkan salat Jumat dan menggantinya dengan salat Zuhur.

Dan sebaliknya, jika hilangnya pekerjaan tersebut tidak berdampak apapun kepadanya, maka hal itu tidak dikatakan uzur.

Kesimpulan:

Ada dua substansi yang dapat kita petik dari kajian di atas.

Pertama, uzur adalah alasan atau halangan yang membuat kita mendapatkan rukhsah atau keringanan dalam beribadah. Saat kita dihadapkan pada pilihan antara pekerjaan atau salat Jumat, maka kita boleh meninggalkan salat Jumat dengan catatan sesuai dengan penggambaran di atas.

Kedua, PPKM atau kebijakan pemerintah dalam membatasi aktivitas masyarakat ini melahirkan satu aturan tentang peniadaan salat Jumat berskala besar. MUI sebagai produser hukum menyatakan bahwa wabah ini sudah masuk dalam kategori al-Dlarar.

Artinya, peniadaan salat Jumat ini didasarkan pada uzur “keadaan darurat” dan maqasid al-syariah (kemaslahatan) umat manusia. Hal ini sejalan dengan hasil Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU).

Di dalam Al-Minhajul Qawim karya Ibnu Hajar Al-Haitami, salah satu uzur salat Jumat adalah kekhawatiran atas keselamatan jiwa.

Maka, bagi mereka yang sudah terinfeksi, tidak wajib baginya salat Jumat. Pun demikian, bagi mereka yang takut terinfeksi (khawatir), tidak wajib pula baginya untuk salat Jumat.

Itulah pembahasan singkat mengenai dilema antara pilih salat Jumat atau dipecat dari pekerjaan. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat dan dapat menambah wawasan keilmuan Anda, Wallahu A’lam.