Tafsir Salah kaprah Tentang "Fitnah Lebih Kejam Daripada Pembunuhan"

Daftar Isi
Tafsir Salah kaprah Tentang "Fitnah Lebih Kejam Daripada Pembunuhan"
Abusyuja.com – Banyak sekali kita temukan penafsiran seseorang terhadap Al-Qur’an yang tidak sesuai dengan substansinya. Penafsiran-penafsiran ini sudah banyak dikonsumsi dan menjadi sebuah kelaziman di telinga masyarakat.

Mungkin sebagian dari kita sudah tidak asing lagi dengan penafsiran-penafsiran, “Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya”, “Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan”, atau “Allah tidak mengubah takdir suatu kaum hingga kaum itu mengubahnya sendiri”.

Istilah-istilah tersebut sering digunakan beberapa orang untuk bahan nasihat. Ada juga yang digunakan sebagai pembelaan terhadap kekejian fitnah, serta pelipur lara bagi mereka yang sedang diberikan cobaan oleh Allah Swt.

Meskipun berasal dari ayat-ayat Al-Qur’an, banyak sekali orang-orang yang salah kaprah memahami penafsirannya. Berikut penjelasannya:

1. Penafsiran “Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya”

Tafsiran tersebut diadopsi dari ayat Al-Qur’an (لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا). Lazimnya, ayat ini dikutip untuk memberikan semangat agar orang-orang kuat menghadapi cobaan atau musibah, agar terpatri dalam hatinya bahwa musibah tersebut mampu mereka hadapi. Tentu penafsiran ini salah kaprah.

Buktinya, banyak sekali cobaan-cobaan atau musibah dari Allah yang terlampau berat, hingga orang-orang berjatuhan, ada yang stres, ada yang meninggal, bahkan ada juga yang bunuh diri.

Bagaimana dengan tsunami? Orang-orang yang selamat karena “mampu” berenang tentu dapat dimaklumi, lantas bagaimana dengan mereka yang “tidak mampu” berenang dan meninggal dunia? Bukankah Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya? Sekali lagi, penafsiran ini salah kaprah.

Arti yang benar dari (لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا) adalah “Allah tidak memberi beban aturan yang tidak bisa dilaksanakan”. Artinya, ketika Allah membebani umat Muslin dengan kewajiban melaksanakan salat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat, haji, kejujuran dalam berbisnis, menutup aurat, dan lain sebagainya, maka semua aturan ini sudah pasti realistis dan bisa dilaksanakan oleh seluruh kaum muslim.

Kalau toh nanti ada yang sakit atau ada kesulitan tertentu yang muncul, maka Allah selalu memberikan rukhsah (keringanan) di dalamnya. Maka dari itu, jangan ada yang berasalan bahwa beban aturan dari Allah terlalu berat. Karena di setiap keberatan ada rukhsah (keringanan) di dalamnya.

Dari potongan ayat tersebut kemudian dilanjutkan dengan penegasan amal perbuatan manusia, entah itu yang baik ataupun buruk, semuanya akan kembali pada dirinya sendiri. Artinya, yang melaksanakan perintah Allah akan diganjar pahala yang bermanfaat baginya, sedangkan yang berbuat dosa dengan tidak melaksanakan perintahnya akan kembali pada dirinya sendiri. 

2.Penafsiran “Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan”

Inilah salah satu penafsiran paling populer yang diadopsi dari ayat (الْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ). Lazimnya, ayat ini dikutip dalam rangka menanggulangi bahaya fitnah atau berita bohong (hoax). Padahal tafsiran ini salah kaprah.

Arti yang benar dari (الْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ) adalah “Kekafiran lebih berat dosanya daripada pembunuhan”. Kata Al-Fitnatu (الْفِتْنَةُ) memiliki arti yang cukup luas. Sedangkan (الْفِتْنَةُ) dalam konteks ayat ini artinya adalah kekafiran atau kemusyrikan.

Artinya, dosa dari kekafiran atau perbuatan musyrik akan membuat seseorang kekal di neraka. Sedangkan dosa pembunuhan meskipun amat besar, tetap saja tidak sampai menyebabkan pelakunya tinggal selamanya di neraka. Kalau hanya “memfitnah” seseorang, tentu dosanya lebih kecil daripada membunuh seseorang.

Maka dari itu, kelanjutan ayat di atas adalah diizinkannya membunuh orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Meskipun hakikatnya membunuh adalah hal yang besar, tetapi kekafiran mereka justru berkonsekuensi lebih besar. Itu maksudnya.

3. Penafsiran “Allah tidak akan mengubah nasib kam hingga kaum itu yang mengubahnya sendiri”

Tafsir tersebut berasal dari ayat (اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ). Lazimnya, tafsir ini digunakan untuk menyemangati seseorang yang sedang berikhtiar mengubah nasibnya. Padahal penafsiran ini salah kaprah.

Padahal yang benar adalah Allah memberikan rahmat kenikmatan dan kesejahteraan kepada suatu kaum, akan tetapi kondisi pemberian rahmat Allah ini akan berubah jika kaum tersebut mengubahnya dengan melakukan maksiat.

Oleh sebab itulah, pada kelanjutan ayat tersebut ada pernyataan bahwa Allah sudah memiliki kehendak memberikan keburukan kepada kaum tersebut (sebagai bentuk saksi atau hukuman), dan tidak ada yang dapat menolaknya.

Adapun terjemah dari ayat tersebut selengkapnya adalah, “Allah tidak akan mengubah kenikmatan yang diberikan pada suatu kaum hingga mereka sendiri yang mengubahnya [dengan melakukan maksiat]. Dan apabila Allah telah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”

Mungkin kita baru menyadari bahwa banyak sekali yang salah kaprah selama ini, termasuk beberapa orang yang terlanjur diberi gelar ustadz atau dai. Itu semua karena banyak dari kita yang tergesa-gesa dalam menjelaskan ayat Al-Qur’an tanpa lebih dulu mengecek tafsirnya. Bagikan kebenaran ini agar apabila bermanfaat. Wallahu A’lam