Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ilmu Waris Dalam Islam

Ilmu Waris Dalam Islam - Ketika kita membicarakan ilmu Faraidh atau ilmu kewarisan, tentu sangat erat kaitannya dengan ihwal peralihan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup. Dengan demikian, Fiqih Mawaris atau yang akrab kita sapa dengan ilmu Faraidh adalah sebuah ilmu yang mempelajari tentang pembagian harta dari orang yang sudah meninggal kepada ahli waris yang masih hidup sesuai dengan ketentuan dalam Al-Qur'an dan Al-Hadis.

Nama-Nama Lain Ilmu Mawaris

Faraidh juga memiliki beberapa nama, baik dalam literatur Arab maupun bahasa Indonesia, di antaranya yaitu: hukum warisan, hukum waris, hukum harta pusaka, hukum kewarisan. Sedangkan dalam bahasa Arab juga terdapat beberapa istilah, di antaranya yaitu, mawarist, tirkah, warist, faraidh, dll.

Tetapi perlu Anda ketahui juga bahwa penamaan tersebut tergantung pada sudut pandang pembahasan. Berikut penjelasannya :

  • Bila yang dipandang adalah orang-orang yang berhak menerima harta dari orang yang sudah meninggal, ia disebut Hukum Waris, atau Fiqih Mawarist.
  • Bila yang dipandang adalah harta yang akan beralih kepada ahli waris, maka ia disebut Hukum Warisan, Hukum Harta Pustaka, atau Tirkah (harta peninggalan).
  • Bila yang dipandang adalah bagian dari orang-orang yang menerima warisan, maka ia disebut Faraidh.
  • Bila yang dipandang adalah proses peralihan harta dari orang meninggal kepada ahli warisnya, maka disebut Kewarisan.

Faraidh inilah istilah yang lazim digunakan dalam literatur fiqih. Lalu bagaimana hukum mempelajari Ilmu Faraidh? Berikut penjelasannya:

Hukum Mempelajari Ilmu Faraidh/Waris

Menyelesaikan harta orang yang telah meninggal sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. hukumnya adalah wajib. Sebagaimana sabda Nabi dalam hadis Abu Hurairah menurut riwayat Ibnu Majah dan Dar al-Quthniy, “Pelajarilah Faraidh dan ajarkanlah dia, karena dia merupakan separuh dari ilmu.” (HR. Abu Hurairah).

Kewajiban ini dapat dipahami dalam dua sisi. Sisi pertama adalah Allah memuji terhadap orang-orang yang melaksanakan penyelesaian harta warisan sesuai dengan ketentuan-Nya. Di sisi kedua, Allah mencela terhadap orang-orang yang tidak melaksanakan ketentuan-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Nisa’ ayat 13-14 :

تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ ۚ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ يُدْخِلْهُ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ

Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An-Nisa’: 13)

وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُۥ يُدْخِلْهُ نَارًا خَٰلِدًا فِيهَا وَلَهُۥ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Artinya: “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nisa’: 14)

Macam-Macam Hubungan Kewarisan

Harta seseorang yang telah meninggal beralih kepada seseorang yang masih hidup apabila di antara keduanya terdapat salah satu bentuk hubungan. Hubungan tersebutlah yang biasa kita kenal dengan istilah “hubungan kewarisan”. Berikut macam-macam hubungan kewarisan menurut Islam:

a. Hubungan Kekerabatan/Nasab

Hubungan yang pertama adalah kekerabatan/nasab, atau biasa kita sebut hubungan darah. Hubungan ini bersifat alamiyah yang disebabkan oleh hasil kelahiran. Misal, seseorang anak yang lahir dari seorang ibu, maka seorang anak tersebut akan memiliki nasab kepada ibu yang melahirkannya. Hal ini juga berlaku untuk nenek anak tersebut (ibu dari ibunya), kakeknya, ayahnya, dll.

b. Hubungan Perkawinan

Hubungan yang kedua adalah hubungan yang disebabkan oleh perkawinan atau pernikahan. Bila seorang laki-laki telah melaksanakan akad nikah yang sah dengan perempuan, maka di antara keduanya telah terdapat hubungan kewarisan. Dalam arti, sang istri akan menjadi ahli waris bagi suaminya yang meninggal atau sang suami menjadi ahli waris bagi istrinya yang meninggal.

c. Hubungan Kemerdekaan Hamba (Budak)

Hubungan yang ketiga adalah hubungan sebab memerdekakan budak, yaitu hubungan seseorang terhadap hamba sahayanya yang telah dimerdekakan. Hubungan di sini adalah hubungan “sepihak” dalam arti orang yang telah memerdekakan hamba sahaya berhak menjadi ahli waris bagi hamba sahaya yang telah dimerdekakannya. Tetapi hamba sahaya tersebut tidak berhak menjadi ahli waris atas majikannya atau orang yang memerdekakannya.

d. Hubungan Sesama Islam

Hubungan yang terakhir adalah hubungan sesama Islam, dalam arti umat Islam sebagai kelompok yang berhak menjadi ahli waris dari orang Islam yang meninggal apabila tidak meninggalkan ahli waris sama sekali. Harta peninggalannya dimasukkan ke dalam baitul maal atau perbendaharaan umat Islam yang digunakan untuk kemaslahatan umat Islam.

Sebab-Sebab Gugurnya Ahli Waris

Bila seseorang Muslim telah mempunyai hubungan kewarisan dengan seseorang yang sudah meninggal, maka ia berhak mendapatkan harta warisan tersebut. Namun ada sebuah halangan syara’ yang dapat membuatnya tidak berhak lagi menerima warisan meskipun ada hubungan kewarisan sekalipun, dalam arti, hubungan yang telah ada itu tidak berlaku lagi. Halangan kewarisan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Halangan Beda Agama

Apabila orang yang meninggal beragama Islam, maka yang berhak menjadi ahli waris hanyalah orang yang beragama Islam. Sebab, non muslim tidak berhak menjadi ahli waris dari Muslim. Begitu juga sebaliknya, Muslim tidak boleh mewarisi non muslim.

Hal ini dijelaskan dalam hadis Nabi dari Usamah bin Zaid menurut muttafaq ‘alaih, “Orang Islam tidak dapat mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak dapat mewarisi orang Islam. (Muttafaq ‘Alaih)

b. Halangan Pembunuhan

Seseorang yang membunuh pewarisnya sendiri tidak berhak lagi mewarisi orang yang dibunuhnya.

Sesuai kesepakatan para ulama, pembunuhan yang menggugurkan status ahli warisnya adalah kategori pembunuhan sengaja dalam bentuk permusuhan. Sebagaimana sabda Nabi dari ‘Amru bin Syueb, “Si pembunuh (terhadap pewaris) tidak berhak sama sekali menerima warisan (dari yang dibunuhnya).” (HR. Nasa’i dan Dar al-Quthniy).

Rukun dan Syarat Kewarisan

Setelah mengetahui adanya hubungan kewarisan dan terbebas dari halangan kewarisan, seseorang baru berhak menerima warisan apabila telah memenuhi rukun dan syarat kewarisan. Berikut rukun kewarisan:

  • Adanya orang yang telah meninggal dan meninggalkan harta yang akan beralih kepada orang yang masih hidup.
  • Adanya harta yang akan beralih kepemilikan dari orang yang sudah meninggal kepada orang yang masih hidup yang menjadi ahli warisnya.
  • Adanya ahli waris yang berhak menerima harta yang telah ditinggalkan orang yang telah meninggal.

Pengertian PEWARIS

Pewaris adalah seseorang yang telah meninggal dan meninggalkan harta untuk diwariskan. Ketetapannya adalah orang tersebut harus benar-benar dipastikan telah meninggal, baik dalam arti hakiki (dapat dipersaksikan kematiannya), telah diketahui oleh banyak orang, maupun secara hukmi, yaitu kematian yang berdasarkan penetapan pengadilan.

Pengertian HARTA WARIS

Harta warisan adalah harta peninggalan orang yang telah meninggal secara hukum syara’ telah sah dan berhak beralih kepada ahli warisnya. Berikut syarat-syaratnya:

Syarat-Syarat Harta Waris:

a. Harta Sepenuhnya Milik Pewaris

Syarat pertama adalah harta tersebut dimiliki oleh pewaris secara sempurna baik dari segi materi maupun manfaatnya. Tidak sah jika hanya barang titipan, pinjaman, atau sewaan yang pewaris hanya mempunyai hak atas manfaatnya saja tetapi tidak memiliki hak kepemilikan materinya. Apabila harta tersebut merupakan kerjasama dua belah pihak, maka harus dibagi-bagi dulu sesuai akad perjanjian serikat.

b. Harta Tersebut Terbebas Dari Hak Orang lain

Syarat yang kedua adalah harta tersebut telah murni dan terlepas dari sangkut-paut hak orang lain di dalamnya. Untuk maksud memurnikan dan melepaskan kutersangkutkan hak lain di dalamnya, ada beberapa kewajiban yang berkenaan dengan harta peninggalan, yaitu:

Biaya pengurusan jenazah dari pewaris dan orang-orang yang mengurusnya wajib ditanggung dari harta jenazah, baik dalam bentuk kain kafan, biaya kuburan, dan biaya penguburan itu sendiri. Hal ini perlu diutamakan karena masih termasuk dalam kepentingan jenazah pewaris.

Semua hutang yang belum dilunasi semasa hidupnya, baik hutang kepada Allah dalam bentuk kewajiban agama secara materi yang belum sempat dilaksanakan semasa hidupnya, seperti zakat. Atau hutang kepada sesama manusia. Untuk utang yang wajib dibayarkan adalah sebanyak “yang dapat dibayarkan” dari harta peninggalannya.

c. Melaksanakan Wasiat-Wasiat Pewaris

Syarat yang terakhir adalah harta tersebut terbebas dari wasiat-wasiat peninggalan pewaris. Dengan catatan, wasiat tersebut tidak melebihi dari sepertiga dari sisa hartanya setelah digunakan untuk pengurusan jenazah dan pelunasan hutang. Setelah ketiga syarat ini terpenuhi, maka mulailah pembagian sisa harta tersebut kepada para ahli warisnya.

Pengertian AHLI WARIS

Ahli waris adalah orang yang berhak menerima harta warisan dari pewaris. Syaratnya adalah orang tersebut masih hidup ketika pewaris meninggal. Begitu juga dengan ahli waris janin yang telah hidup dalam kandungan, meskipun kepastian haknya baru ada setelah ia lahir dalam keadaan hidup. Hal ini juga berlaku untuk orang yang belum pasti kematiannya.

Untuk penetapan ahli waris sendiri terdapat dua sumber dasar:

  • Dasar pertama adalah ahli waris yang ditetapkan khusus dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis.
  • Dasar yang kedua adalah ahli waris yang ditetapkan melalui ijtihad dengan meluaskan lafaz yang terdapat dalam nash hukum dan ada pula yang dipahami dari petunjuk umum dari Al-Qur’an dan Al-Hadis.

Berikut kami paparkan dengan gamblang daftar ahli waris dari kelompok laki-laki dan perempuan:

1. Ahli Waris Kelompok Laki-Laki

  1. Anak
  2. Cucu
  3. Ayah
  4. Kakek
  5. Saudara kandung
  6. Saudara seayah
  7. Saudara seibu
  8. Anak saudara kandung laki-laki
  9. Anak saudara seayah laki-laki
  10. Saudara kandung dari ayah
  11. Saudara seayah dari ayah
  12. Anak saudara kandung dari ayah
  13. Anak saudara seayah dari ayah
  14. Suami
  15. 2.  Ahli Waris Kelompok Perempuan
  16. Anak
  17. Anak dari anak laki-laki
  18. Ibu
  19. Ibu dari ibu
  20. Saudara kandung
  21. Saudara seayah
  22. Saudara seibu
  23. Istri

Orang-orang yang disebutkan di atas, bila ia sendirian berhak menerima waris. Namun bila ahli waris terdiri dari beberapa orang dalam garis kerabat yang berbeda, maka hanya sebagian yang berhak sedangkan yang lainnya tidak berhak (tertutup).

Hal ini didasarkan kepada jauh dekatnya hubungan seseorang kepada pewaris. Yang lebih dekat menutup kesempatan yang lebih jauh untuk mendapatkan hak kewarisan. Dalam konteks ini, memberlakukan sistem tutup menutup atau yang kita kenal dengan istilah hijab-mahjub.

Contoh: Jika ayah dari pewaris masih hidup, maka si kakek akan terhalang (tertutup) karena keberadaan ayah lebih dekat dari pewaris. Begitu juga sebaliknya, jika si ayah telah meninggal, maka si kakek berhak mendapatkan warisan dari cucunya atau si pewaris.

Diantara ahli waris yang tertutup dan orang yang menutupinya (hijab-mahjub) terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan laki-laki dan perempuan.

1. Hijab Mahjub Golongan Laki-laki:

  1. Anak; tidak ada seorang pun yang dapat menutup anak.
  2. Cucu; ditutup oleh anak laki-laki.
  3. Ayah; tidak ada seorang pun yang dapat menutupinya.
  4. Kakek; tertutup oleh ayah (seperti contoh di atas).
  5. Saudara kandung; tertutup anak laki-laki, cucu laki-laki dan ayah.
  6. Saudara seayah; tertutup oleh saudara kandung dan orang yang menutupinya.
  7. Saudara seibu; tertutup oleh anak laki-laki dan anak perempuan, ayah, dan kakek.
  8. Anak saudara kandung; tertutup oleh saudara seayah dan orang-orang yang menutupi saudara seayah.
  9. Anak saudara seayah; tertutup oleh anak saudara kandung dan orang-orang yang menutupi anak saudara kandung.
  10. Paman kandung; tertutup oleh anak saudara seayah dan oleh orang-orang yang menutupi anak saudara seayah.
  11. Paman seayah; tertutup oleh paman kandung dan orang-orang yang menutupi paman sekandung.
  12. Anak paman kandung; tertutup oleh paman seayah dan oleh orang-orang yang menutup paman seayah.
  13. Anak paman seayah; tertutup oleh anak paman kandung dan oleh orang-orang yang menutupinya.
  14. Suami; tidak ada seorang pun yang dapat menutupinya.
  15. Bila semua ahli waris berkumpul, maka yang berhak menerima warisan hanyalah anak, ayah dan suami.

2. Hijab Mahjub Golongan Perempuan

  1. Anak; anak perempuan tertutup oleh anak laki-laki dan dua orang anak perempuan.
  2. Cucu perempuan; tertutup oleh anak laki-laki dan dua orang anak perempuan.
  3. Ibu; tidak ada yang dapat menutupinya.
  4. Ibu dari ibu; tertutup oleh ibu.
  5. Ibu dari ayah; hanya tertutup oleh ibu dan oleh ayah.
  6. Saudara kandung; tertutup oleh anak laki-laki, cucu laki-laki, dan ayah.
  7. Saudara seayah; tertutup oleh anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah, dan dua orang saudara perempuan seayah.
  8. Saudara seibu; tertutup oleh anak laki-laki dan perempuan, cucu laki-laki; dan perempuan, ayah, dan kakek.
  9. Istri; tidak ada seorang yang dapat menutupinya.

Bila seluruh ahli waris perempuan berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan adalah anak, cucu, ibu, saudara kandung atau seayah. Bila seluruh ahli waris keduanya berkumpul (golongan laki-laki dan perempuan), maka yang berhak menerima warisan hanyalah anak laki-laki, anak perempuan, ayah, ibu dan suami atau istri.

PENGELOMPOKAN AHLI WARIS DAN BAGIANNYA

Ahli waris sendiri terbagi menjadi 3 kelompok apabila ditinjau dari hak masing-masing. Yang pertama adalah Ahli Waris Ashabul Furudh, yang kedua adalah Ahli Waris Ashabah, dan yang terakhir adalah Ahli Waris Zhul Arham. Berikut penjelasannya:

1. Ahli Waris Ashabul Furudh

Ahli Waris Ashabul Furudh adalah ahli waris yang bagiannya telah ditetapkan secara pasti dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi. Mereka adalah orang-orang yang menerima warisan dalam urutan pertama.

Bagian-bagian yang dijelaskan dalam Al-Qur’an adalah; 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1,3, dan 1/6. Ahli waris yang mendapatkan warisan menurut angka-angka tersebut dinamakan ahli waris Ashabul Furudh.

Berikut bagian-bagian ahli waris Ashhabul Furudh apabila tidak terhalang atau tidak tertutup secara syara’:

a. Anak perempuan:

1/2 Apabila sendirian.

2/3 Apabila anak perempuan ada dua atau lebih dan tidak disertai anak laki-laki.


b. Cucu perempuan:

1/2 Apabila sendirian.

2/3 Apabila anak perempuan ada dua atau lebih dan tidak disertai cucu laki-laki.


c. Ibu:

1/6 Apabila memiliki anak atau cucu atau beberapa orang saudara.

1/3 Apabila tidak memiliki anak atau cucu atau dua saudara.

1/3 Apabila dia bersama ayah, suami atau istri, dan tidak memiliki anak atau cucu.


d. Nenek baik melalui ayah atau ibu:

1/6 Seorang atau lebih.


e. Ayah:

1/6 Apabila bersamanya ada anak atau cucu.

Mendapatkan sisa (Ashabah) harta apabila bersamanya tidak ada anak atau cucu laki-laki.

1/6 dan mengambil sisa harta apabila bersamanya tidak ada anak atau cucu perempuan.


f. Kakek:

1/6 Apabila bersamanya ada anak dan cucu.

Mendapatkan sisa harta apabila tidak memiliki anak atau cucu laki-laki.

1/6 dan mendapatkan sisa harta apabila memiliki anak atau cucu perempuan.


g. Saudara perempuan kandung:

1/2 Apabila sendirian.

2/3 Apabila ada dua orang atau lebih dan tidak memiliki saudara laki-laki.

Mengambil sisa harta apabila memiliki anak perempuan.


h. Saudara perempuan seayah:

1/2 Bila sendirian.

2/3 Apabila memiliki dua saudara perempuan atau lebih dan tidak memiliki saudara laki-laki.

1/6 Apabila memiliki satu saudara perempuan kandung.

Mengambil sisa harta apabila memiliki anak perempuan.


i. Saudara perempuan seibu:

1/6 Apabila sendirian.

1/3 Untuk dua orang atau lebih.


j. Saudara laki-laki seibu:

1/6 Apabila sendirian.

1/3 Untuk dua orang atau lebih.


k. Suami (Duda):

1/2 Apabila tidak memiliki anak atau cucu.

1/4 Apabila memiliki anak atau cucu.

l. Istri (Janda):

1/4 Apabila tidak memiliki anak atau cucu.

1/8 Apabila memiliki anak atau cucu.


Ahli waris Ashabul Furudh bila sendirian, dia mengambil bagian sesuai furudh yang ditentukan (di atas). Apabila dia lebih dari satu orang, masing-masing mengambil hak sesuai dengan bagian yang ditentukan, kemudian dijumlahkan.

Pada contoh di atas, suami meninggalkan tiga ahli waris, yaitu ibu, istri, dan anak perempuan. Simak keterangan di bawah ini sembari mencocokkan dengan penjelasan bagian-bagian yang telah kami paparkan di atas:

  • Ibu dari si pewaris mendapatkan 1/6 karena memiliki anak atau cucu.
  • Istri mendapatkan 1/8 karena memiliki anak.
  • Anak perempuan mendapatkan 1/2 karena sendirian (anak tunggal).

2. Ahli Waris Ashabah

Ahli Waris Ashabah adalah ahli waris yang berhak namun tidak dijelaskan bagiannya dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi. Untuk Ashabul Furudh sendiri memiliki hak paling utama, sedangkan Ashabah memiliki hak di urutan kedua.

Ahli Waris Ashabah berhak mengambil warisan apabila tidak memiliki sama sekali ahli waris Ashabul Furudh. Atau berhak mengambil “sisa harta” pewaris apabila Ashabul Furudh telah mengambil jatah bagiannya terlebih dahulu.

Ahli Waris Ashabah sendiri terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu Ashabah Bi Nafsih, Ashabah Bi Ghairih, dan Ashabah Ma’a Ghairih.

a. Ashabah Bi Nafsih

Ashabah Bi Nafsih adalah ahli waris yang menjadi Ashabah karena dirinya sendiri. Mereka semua adalah laki-laki dari kalangan induk si mayit (nasab ke atas), keturunannya (nasab ke bawah) dan hawasyi-nya (nasab ke samping), kecuali beberapa saudara laki-laki dari ibu. Yang berhak menjadi ahli waris Ashabah Bi Nafsih adalah sebagai berikut:

  1. Anak
  2. Cucu
  3. Ayah
  4. Kakek
  5. Saudara kandung
  6. Saudara seayah
  7. Anak saudara kandung
  8. Anak saudara seayah
  9. Paman kandung
  10. Paman seayah
  11. Anak paman kandung
  12. Anak paman seayah
  13. Laki-laki yang memerdekakan budak

Bila ahli waris hanya satu orang dalam kedudukan Ashabah, maka ia berhak mengambil semua harta pewaris. Tetapi apabila ia tidak sendirian atau lebih daru satu orang dalam tingkatan Ashabah, maka ia wajib berbagi sama rata. Bila bersamanya ada ahli waris lain sebagai Ashabul Furudh, maka yang lebih diutamakan adalah Ashabul Furudh, kemudian sisanya diberikan kepada Ashabah.

b. Ashabah Bi Ghairih

Ashabah Bi Ghairih adalah ahli waris yang mulanya bukan ahli waris Ashabah (karena dia perempuan) namun karena didampingi oleh saudaranya yang laki-laki maka dia menjadi Ashabah. Berikut orang-orang yang termasuk dalam Ashabah Bi Ghairih:

  1. Anak perempuan ketika didampingi anak laki-laki.
  2. Cucu perempuan ketika didampingi cucu laki-laki.
  3. Saudara perempuan kandung ketika didampingi saudara laki-laki kandung.
  4. Saudara perempuan seayah ketika didampingi saudara laki-laki seayah.
  5. Hak keduanya sebagai Ashabah dibagi dengan perbandingan (1:2). Untuk laki-laki dua sedangkan perempuan satu.

Catatan: 1 Bagian laki-laki sama dengan 2 bagian perempuan.

c. Ashabah Ma’alghair

Ashabah Ma’alghair adalah ahli waris yang semula bukan Ashabah, namun karena ada ahli waris tertentu bersamanya yang bukan Ashabah, maka dia menjadi Ashabah, sedangkan ahli waris lain tersebut tidak ikut menjadi Ashabah. Yang termasuk dalam golongan ini hanyalah saudara perempuan kandung atau seayah bila bersama dengan anak perempuan.

3. Ahli Waris Zhul Arham

Ahli Waris Zhul Arham adalah orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat dengan pewaris, namun tidak dijelaskan bagiannya dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi sebagai Ashabul Furudh dan tidak pula termasuk dalam kelompok Ashabah.

Bila kerabat yang menjadi Ashabah adalah laki-laki dalam garis keturunan laki-laki, maka Zhul Arham itu adalah perempuan atau laki-laki melalui garis keturunan perempuan.

Zul Arham sendiri dikelompokkan menjadi menjadi 4 garis keturunan:

a. Garis keturunan lurus ke bawah

  • Anak laki-laki atau perempuan dari anak perempuan keturunannya.
  • Anak laki-laki atau perempuan dari cucu perempuan dan keturunannya

b. Garis keturunan lurus ke atas

  • Ayah dari ibu dan seterusnya ke atas
  • Ayah dari ibunya ibu dan seterusnya ke atas
  • Ayah daru ibunya ayah dan seterusnya ke atas

c. Garis keturunan ke samping pertama

  • Anak perempuan dari saudara laki-laki kandung atau seayah dan anaknya
  • Anak laki-laki atau perempuan dari saudara seibu dan seterusnya ke bawah

d. Garis keturunan ke samping kedua

  • Saudara perempuan (kandung, seayah atau seibu) dari ayah dan anaknya.
  • Saudara laki-laki atau perempuan seibu dari ayah dan seterusnya ke bawah.
  • Saudara laki-laki atau perempuan (kandung, seayah, seibu) dari ibu dan seterusnya ke bawah.

Mengenai hak kewarisannya, menurut sebagian ulama, mereka adalah ahli waris yang berhak atas harta waris apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris Ashabul Furudh dan Ashababh. Adapun cara pembagian harta warisan untuk ahli waris Zhul Arham ada dua pendapat:

Secara penggantian, maksudnya dia menempati kedudukan ahli waris yang menghubungkannya kepada pewaris. Contoh: Anak laki-laki dari saudara perempuan menggantikan saudara perempuan yang menjadi Ashabah Ma’alghair yaitu sisa harta ½.

Secara kedekatan, maksudnya tali hubungan kepada pewaris lebih dekat dibandingkan dengan yang lain. Contoh: Anak perempuan dari anak perempuan dan anak laki-laki dari saudara perempuan. Dalam contoh ini yang berhak adalah anak perempuan dari anak perempuan, karena hubungannya kepada pewaris hanya melalui satu perantara yaitu anak, sedangkan anak laki-laki dari saudara perempuan melalui perantara saudara perempuan dan ayah.

BEBERAPA MASALAH DALAM PEMBAGIAN WARISAN

Meskipun secara syariat ilmu warisan telah memiliki pedoman dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis, namun dalam pelaksanaan praktis ditemukan beberapa masalah, terutama bila ahli waris itu lebih dari seorang atau ahli waris itu tidak jelas status hidup dan matinya. Berikut kami paparkan beberapa masalah yang berkaitan dengan warisan:

1. Masalah ‘Aul

Masalah ’Aul ini timbul waktu menjumlahkan bagian dari beberapa orang Ashabul Furudh, ternyata jumlahnya melebihi kesatuan harta warisan, sehingga bila masing-masing menerima bagiannya sesuai dengan furudh yang ditentukan, akan ada ahli waris yang tidak kebagian. Misal, ahli waris adalah dua orang anak perempuan, ayah, ibu dan suami. Bila bagian mereka dijumlahkan, maka akan seperti ini:

Dua anak perempuan  2/3 = 8/12

Ayah 1/6 = 2/12

Ibu  1/6 = 2/12

Suami 1/4 = 3/12

Jumlah keseluruhan adalah 15/12, sedangkan jumlah harta hanyalah 12/12.

Menurut jumhur ulama, kekurangan harta itu dibebankan kepada masing-masing ahli waris dengan cara mengurangi haknya sesuai dengan kadar persentase haknya atau dengan cara menaikkan angka pecahannya.

Catatan: 15/12 = (pembilang)/(penyebut)

Dalam contoh di atas dari penyebut /12 harus kita ubah menjadi /15 (disamakan dengan pembilangnya). Dengan demikian bagian masing-masing berubah menjadi:

Dua anak perempuan  2/3 = 8/12 = 8/15

Ayah  1/6 = 2/12 = 2/15

Ibu 1/6 = 2/12 = 2/15

Suami 1/4 = 3/12 = 3/15

2. Masalah Radd

Masalah Radd terjadi apabila dalam menjumlahkan bagian-bagian dari hak Ashabul furud ternyata masih terdapat kelebihan harta, sedangkan di kalangan ahli waris tidak ada yang Ashabah. Misal, ahli waris adalah ibu, seorang anak perempuan dan cucu perempuan:

Ibu 1/6 = 2/12

Anak perempuan 1/2 = 6/12

Cucu perempuan 1/6 = 2/12

Jumlah seluruh furudh adalah 10/12 sedangkan jumlah harta 12/12.

Menurut jumhur ulama (mayoritas ulama) kelebihan harta itu dikembalikan kepada ahli waris Ashabul Furudh yang ada berdasarkan kadar persentase haknya atau dengan cara memperkecil angka pecahan. Dalam contoh di atas dari /12 harus dijadikan /10. Dengan demikian, hak mereka menjadi:

Ibu  1/6 = 2/12 = 2/10

Anak perempuan 1/2 = 6/12 = 6/10

Cucu perempuan 1/6 = 2/12 = 2/10

3. Bayi Dalam Kandungan

Bayi dalam kandungan berhak menjadi ahli waris apabila pada saat kematian pewaris bayi tersebut telah jelas hidupnya, meskipun dia belum dilahirkan. Namun hak kewarisannya itu baru menjadi “pasti” apabila bayi itu lahir dalam keadaan hidup yang dapat diketahui lewat tangisannya di waktu lahir. Nabi Saw. bersabda dari sahabat Jabir, “Bila menangis anak yang dilahirkan, ia berhak menjadi ahli waris.” (HR. Abu Daud)

Tetapi yang pasti, cara yang paling baik adalah harta warisan tersebut dibagikan setelah yang hamil melahirkan. Apabila diperkirakan yang lahir adalah laki-laki dalam keadaan hidup, maka hak yang pasti akan diketahui setelah ia benar-benar dilahirkan dalam keadaan hidup tentunya. Dan pembagiannya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku.

Contoh, seorang pewaris meninggalkan ahli waris istri saja dalam keadaan hamil. Apabila bayi itu lahir dalam keadaan mati, maka si istri akan mendapatkan ¼, sedangkan kalau bayi itu hidup, maka istri tersebut mendapatkan 1/8.

4. Kewarisan Orang Yang Hilang (Mafqud)

Yang disebut Mafqud adalah orang yang hilang dan tidak tahu beritanya. Ahli waris Mafqud mengandung arti ahli waris yang pada waktu terjadinya kematian pewaris dia dalam keadaan Mafqud atau hilang.

Menurut pendapat jumhur ulama, ahli waris Mafqud dinyatakan sebagai orang yang hidup berdasarkan asas istishab al-shifah, yang maksudnya adalah sifat hidup seseorang tetap dipertahankan sampai diketahui secara “yakin” bahwa dia telah mati. Oleh karena itu dia berhak menjadi ahli waris.

Dalam waktu pembagian warisan, haknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, diperhitungkan dan disisihkan sambil menunggu kepastian kematiannya. Bila ternyata kemudian dia memang hidup waktu kematian pewaris, kemudian kembali dalam keadaan hidup, maka hak yang telah disisihkan itu diserahkan kepadanya. Seandainya ternyata dia juga telah mati, harta yang disisihkan itu diserahkan kepada ahli warisnya. Seandainya ketika waktu kematian pewaris dia telah mati terlebih dahulu, maka ia tak berhak mendapat warisan dan harta yang disisihkan tadi dibagikan kepada yang berhak.

CONTOH-CONTOH PEMBAGIAN WARISAN

Contoh 1:

Seorang pewaris meninggalkan ahli waris: ayah, ibu, dan istri dengan jumlah harta Rp. 960.000. Bagaimana pembagiannya?

Jawab:

Ayah mendapatkan = Ashabah (tidak punya anak/cucu laki-laki)

Ibu mendapatkan = 1/3 (karena tidak memiliki anak, cucu, atau saudara).

Istri mendapatkan = 1/4 (karena tidak memiliki anak atau cucu).

(Kita samakan penyebutnya)

Ibu  = 1/3  = 4/12

Istri = 1/4   = 3/12

Ayah = Ashabah = 5/12 (sisa)

jumlah   = 12/12

Asal Masalah (AM) = 12

Jadi hasilnya adalah:

Ibu  = 4/12 x 960.000 = 320.000

Istri = 3/12 x 960.000 = 240.000

Ayah = 5/12 x 960.000 = 400.000

12/12 = Jumlah = 960.000


Contoh 2:

Seorang pewaris meninggalkan ahli waris: suami, ibu, dan kakek dengan jumlah harta Rp. 2.400.000. Bagaimana pembagiannya?

Jawab:

Suami mendapatkan = 1/2 (tidak punya anak/cucu laki-laki).

Ibu mendapatkan = 1/3 (karena tidak memiliki anak, cucu, atau saudara).

Kakek mendapatkan = Ashabah (karena tidak memiliki anak atau cucu).

(Kita samakan penyebutnya)

Suami = 1/2  = 3/6

Ibu = 1/3   = 2/6

Kakek = Ashabah = 1/6 (sisa)

Jumlah   = 6/6

Asal Masalah (AM) = 6

Jadi hasilnya adalah:

Suami = 3/6 x 2.400.000 = 1.200.000

Ibu = 2/6 x 2.400.000 = 800.000

Kakek = 1/6 x 2.400.000 = 400.000

6/6 = Jumlah = 2.400.000


Contoh 3:

Seorang pewaris meninggalkan ahli waris: istri (janda), anak laki-laki, cucu laki-laki, ibu dan ayah dengan jumlah harta Rp. 50.000.000. Bagaimana pembagiannya?

Jawab:

Istri mendapatkan = 1/8 (karena ada anak/cucu laki-laki).

Anak laki-laki mendapatkan =  Ashabah Bi Nafsih

Cucu laki-laki mendapatkan = Mahjub (tertutup karena ada anak laki-laki).

Ayah mendapatkan = 1/6 (karena ada anak/cucu)

Ibu mendapatkan = 1/6 (karena ada anak/cucu)

(Kita samakan penyebutnya)

Istri   = 1/8  = 3/24

Ibu  = 1/6   = 4/24

Ayah = 1/6  = 4/24

Anak laki-laki = Ashabah = 13/24

jumlah   = 24/24

Asal Masalah (AM) = 24

Jadi hasilnya adalah:

Istri  = 3/24 x 50.000.000 = 6.250.000

Ibu = 4/24 x 50.000.000 = 8.333.333

Ayah = 4/24 x 50.000.000 = 8.333.333

Anak laki-laki = 13/24 x 50.000.000 = 27.083.333

24/24 = Jumlah = 50.000.000


Contoh 4:

Seorang pewaris meninggalkan ahli waris: ayah, ibu, dua anak laki-laki, dan satu anak perempuan dengan jumlah harta Rp. 18.000.000 Bagaimana pembagiannya?

Jawab:

Ayah mendapatkan = 1/6 (karena bersama anak/cucu)

Ibu mendapatkan = 1/6 (karena bersama anak/cucu)

2 Anak laki-laki = Ashabah Bi Nafsih

Anak perempuan = Ashabah Bilghairih

(Kalau penyebut sudah sama, maka samakan juga pembilangnya)

Ibu  = 1/6    = 1/6 x 18 jt = 3.000.000

Ayah = 1/6   = 1/6 x 18 jt = 3.000.000

Untuk anak  = (sisa) = 4/6 x 18 jt = 12.000.000

                                     6/6 = jumlah = 18.000.000

Perbandingan bagian anak laki-laki dan perempuan adalah 1:2. Maka;

Anak laki-laki  = 2 x 2.400.000 = 4.800.000

Anak laki-laki  = 2 x 2.400.000 = 4.800.000

Anak perempuan  = 1 x 2.400.000 = 2.400.000 

(sisa / jumlah bagian anak) = 12.000.000/5 = 2.400.000


Contoh 5:

Seorang pewaris meninggalkan ahli waris: anak laki-laki, anak perempuan, dan seorang istri dengan jumlah harta Rp. 100.000.000 Bagaimana pembagiannya?

Jawab:

Istri = 1/8

Anak laki-laki = Ashabah Binafsih

Anak perempuan = Ashabal Bilghairih

Asal Masalah = 8

Istri = 1/8 x 100.000.000 = 12.500.000

Anak laki-laki & perempuan = 87.500.000

Perbandingan bagian anak laki-laki dan perempuan (2:1)

Anak laki-laki 2 bagian + 1 bagian anak perempuan = 3 bagian.

87.500.000/3 = 29.166.666 (1 bagian)

Anak laki-laki  = 29.166.666 x 2 = 58.333.333

Anak perempuan = 29.166.666 x 1 = 29.166.666

Istri = 12.500.000

    = 100.000.000


Contoh 6:

Seorang pewaris meninggalkan ahli waris: seorang istri (janda), 2 anak laki-laki dan 3 anak perempuan dengan jumlah harta Rp. 50.000.000. Mempunyai hutang Rp. 15.000.000, serta biaya pemakaman Rp. 3.000.000. Bagaimana pembagiannya?

Jawab:

Total harta yang dibagi; Rp. 32.000.000

Istri mendapatkan  = 1/8

2 anak laki-laki  = Ashabah Bi Nafsih

3 anak perempuan = Ashabah Bilghairih

AM = 8

Istri = 1/8 x 32.000.000 = 4.000.000

(sisa) 28.000.000/7 = 4.000.000 @ bagian

2 anak laki-laki (2:2) = 16.000.000 (untuk 2 orang)

3 anak perempuan (1:1:1) = 12.000.000 (untuk 3 orang)

Itulah pembahasan mengenai ilmu waris dalam Islam lengkap. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat. Wallahu A'lam