Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Riba dalam Islam dan Hikmahnya

Riba menurut bahasa artinya adalah Az-Ziadah (tambahan). Sedangkan dalam istilah, riba adalah tambahan atas modal, baik itu penambahan dalam kadar sedikit maupun banyak. Menurut hemat kami, segala sesuatu yang berbentuk tambahan atas modal, itu dinamakan riba.

Allah berfirman,
"Dan jika kami bertobat (dari pengembalian riba), maka bagimu modalmu, kamu tidak berbuat zalim dan tidak pula dizalimi." (QS. Al-Baqarah: 279)

Hukum riba dalam Islam

Dalam Islam sendiri, hukum riba adalah haram. Tidak hanya Islam, semua agama Samawi pun juga mengharamkan riba. Seperti agama Yahudi, Nasrani, dan Islam, mereka semua mengharamkan riba.

https://www.abusyuja.com/2020/07/hukum-riba-dalam-islam-dan-hikmahnya.html
Lantas, mana bukti dalil agama Samawi perihal pengharaman riba? Berikut dalilnya:

Di dalam perjanjian lama dijelaskan,

"Jika kamu mengqiradhkan (menyerahkan suatu benda/uang) harta kepada salah seorang putra bangsaku, janganlah kamu bersikap seperti orang yang menghutangkan; jangan kau meminta keuntungan untuk hartamu." (ayat 25 pasal 22, kitab keluaran: Taurat)

"Jika saudaramu membutuhkan sesuatu, maka tanggunglah. Jangan kau meminta darinya keuntungan dan manfaat." (ayat 20 pasal 25, Kitab Imamat: Taurat)

Sedangkan menurut orang-orang Yahudi, mereka tidak mencegah riba dari orang-orang yang bukan Yahudi. Maksudnya, mereka memperbolehkan riba asalkan dengan siapapun asalkan tidak dengan orang Yahudi itu sendiri.

Sedangkan dalam Islam sendiri, hukum riba dijelaskan pada surat An-Nisa' ayat 161 yang berbunyi,

"...Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal mereka sesungguhnya telah dilarang daripadanya." (QS. An-Nisa': 161)

Kenapa kami menyertakan dalil pengharaman riba lewat agama-agama lain? Padahal Islam sendiri sudah dengan tegas mengharamkan riba?

Sebagai umat Muslim yang taat, Syiar Islam tidak membatasi dalam penggunaan dalil selain Al-Qur'an, asalkan hal tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur'an itu sendiri.

Tetapi memang, hal yang paling utama dan yang paling diutamakan adalah Al-Qur'an. Karena Al-Qur'an adalah kitab paling sempurna, kitab yang menjadi pelengkap bagi kitab-kitab lain.

Alasan pokok kami menyertakan dalil pengharaman riba dari kitab-kitab Samawi lain adalah, kami hanya ingin membuktikan bahwa aktivitas "riba" merupakan pelanggaran syariat secara mutlak, tidak ada toleransi ataupun embel-embel modifikasi.

Bahkan, dalam Injil pun juga dengan tegas mengharamkan riba.

Di dalam kitab perjanjian baru,
"Jika kamu mengqiradhkan kepada orang yang kamu mengharapkan bayaran darinya, maka kelebihan apa yang diberikan olehmu. Tetapi lakukanlah kebaikan-kebaikan dan qiradhkan-lah tanpa mengharapkan pengembaliannya." (Ayat 34, Pasal 6 Injil Lukas)

Perlu kami sampaikan kembali, pengharaman riba ini memang berlaku untuk semua agama Samawi. Sedangkan di dalam Al-Qur'an sendiri sudah menyinggung masalah riba di berbagai tempat, tersusun secara kronologis berdasarkan urutan waktu.

Berikut dasar hukum riba berdasarkan dalil-dalil Al-Qur'an:

Riba pada periode Mekkah

Pada periode Mekkah, turunlah firman Allah yang berbunyi:

"Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berubah zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka  (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan pahalanya." (QS. Ar-Rum: 39)

Riba pada periode Madinah

Dan pada periode Madinah, turun ayat yang mengharamkan riba secara jelas-jelas:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu dikasihi." (QS. Ali-'Imran: 130)

Dan terakhir, Allah berfirman,

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu yang meninggalkan sisa riba, ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan menerangimu. Dan jika kamu bertobat, bagimu pokok hartamu (modal), kamu tidak melakukan kezaliman dan tidak pula dizalimi." (QS. Al-Baqarah: 278-279)

Pada ayat di atas, terkandung penolakan tegas terhadap orang-orang yang mengatakan bahwa riba tidak haram kecuali jika berlipat ganda, karena Allah tidak memperbolehkannya kecuali mengembalikan modal pokok tanpa ada tambahan. Ayat di atas juga merupakan ayat terakhir yang berkaitan dengan masalah riba.

Riba termasuk kabair (dosa besar)

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda, 

"Tinggalkanlah tujuh hal yang dapat membinasakan. Kemudian orang-orang bertanya, 'Apakah gerangan ya Rasulullah?' Kemudian beliau menjawab, 'Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri waktu datang serangan musuh dan menuduh wanita mukmin yang suci tetapi lalai.'" (HR. Bukhari dan Muslim)

Hikmah pengharaman riba

Sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas, riba diharamkan oleh semua agama Samawi, Adapun sebab diharamkannya karena memiliki dampak yang sangat besar. Hal ini sekaligus menjawab pertanyaan "Kenapa riba diharamkan?, Apa tujuan riba diharamkan? Dan lain sebagainya". Berikut jawabannya:

1. Merusak hubungan sosial

Riba dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi, dan dapat mengikis habis semangat kerjasama/saling menolong sesama manusia (hubungan sosial). Padahal semua agama terutama Islam amat menyeru agar setiap manusia harus saling tolong-menolong, tidak mengutamakan kepentingan sendiri dan ego, serta tidak mengeksploitasi kerja keras orang lain.

Contoh: Cukong yang memasang bunga besar dan dengan keji mematok bunga 50% kepada tetangganya yang berhutang untuk keperluan berobat. Secara syariat, cukong tersebut akan dilaknat oleh Allah, sedangkan dalam kacamata sosial, cukong tersebut akan merusak sendiri hubungannya dengan tetangganya tersebut. Dan secara langsung, ia akan memaksa tetangganya untuk bekerja lebih keras demi menutup bunga hutangnya.

2. Menimbulkan mental pemboros tanpa bekerja

Riba dapat menimbulkan tumbuhnya mental kelas pemboros yang tidak bekerja, juga dapat menimbulkan adanya penimbunan harta tanpa kerja keras, sehingga tidak ubahnya dengan pohon benalu (parasit) yang tumbuh di atas jerih payah orang lain.

Sebagaimana kita ketahui, Islam menghargai kerja dan menghormati orang yang suka bekerja yang menjadikan kerja sebagai sarana mata pencaharian, karena kerja dapat menuntun orang kepada kemahiran dan mengangkat semangat mental pribadi.

Macam-macam riba

Riba terbagi menjadi 2 (dua) macam, riba Nasiah dan riba Fadhal. Berikut penjelasannya:

Riba Nasiah

Riba nasiah adalah pertambahan bersyarat yang diperoleh orang yang menghutangkan dari orang yang berhutang lantaran penangguhan. Hukum riba nasiah adalah haram.

Riba Fadhal

Riba fadhal adalah jenis jual beli uang dengan uang atau barang pangan dengan barang pangan dengan kadar yang berbeda. Hukum riba fadhal adalah haram karena darap menjadi penyebab kepada riba nasiah.

Abu Said Al-Khudri menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda, 

"Janganlah kamu menjual satu dirham dengan dua dirham, sesungguhnya aku menakuti kamu berbuat riba."

Hadis di atas diperkuat lagi oleh hadis lain riwayat Abu Sa'id bahwa pengharaman tersebut berlaku untuk enam jenis barang, yaitu emas, perak, gandum, jewawut, kurma, dan garam.

Dari Abu Sa'id ra.: Rasulullah Saw. bersabda, 

"Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum dan garam dengan garam sama-sama dari tangan ke tangan. Siapa yang menambahkan atau meminta ditambahkan, sesungguhnya ia telah berbuat riba. Pengambil dan pemberi sama." (HR. Bukhari dan Muslim)