Nikah Paksa Sebab Zina, Gimana Hukumnya?

Daftar Isi
Abusyuja.com_Apakah sah nikahnya orang yang dipaksa karena berbuat zina? Atau mungkin tidak sah? Karena nikahnya itu tidak dengan kemauannya sendiri?

Pertanyaan yang langka, tetapi sangat membingungkan bagi sebagian orang yang "usut punya usut" punya keganjalan memahami kawin paksa dalam budaya lokal kuno. Realitanya, apa yang kita saksikan perihal pernikahan merupakan keindahan semata. Mereka sama-sama mencintai, menyayangi, dan didukung oleh keluarga kedua belah pihak. Itulah penggambaran pernikahan pada umumnya.

Tetapi apakah semuanya begitu? Tentu saja tidak.

Kenakalan remaja semakin tua semakin merajalela, banyak laki-laki tak punya SIM dan tak pandai pula menyetir, mereka main “nyosor” saja ke pelabuhan terakhir joni (hubungan intim). Alhasil, mereka dinobatkan sebagai peraih “kecelakaan” muda sebelum akad pernikahan di-sah-kan. 

https://www.abusyuja.com/2020/07/kawin-paksa-sebab-zina-gimana-hukumnya.html
“Hamil di luar nikah”, itulah salah satu hasil dari perzinaan. Orang tua yang tak kuat menanggung malu, memilih menikahkan mereka sebelum perut itu (terlihat) bunting dan menjadi bahan rumpi para tetangga.

Bagaimana pandangan Islam mengenai permasalahan tersebut?

Pertama, berasal dari kitab Bajuri, “Hukum seorang laki-laki menikahi perempuan yang sedang hamil karena zina adalah sah nikahnya. Dan boleh baginya bersetubuh sebelum melahirkan (menurut qoul yang paling shahih).

Kedua, berasal dari pendapat Imam Nawawi, “Seorang perempuan berzina tidak memiliki masa iddah baginya, baik ia dalam keadaan hamil maupun tidak hamil. Kenapa begitu? Karena “hamil di luar nikah” tidak memiliki kehormatan dalam agama. Sedangkan masa iddah merupakan bagian penghormatan dalam agama.


Sayyed Abdullah bin Umar dan Syaikh Muhammad al-Asykhar al-Yamany mengatakan, “Boleh menikahi wanita hamil karena zina, baik oleh pezina itu sendiri maupun orang lainnya. Dan boleh disetubuhi ketika itu tetapi makruh hukumnya. (Bughyatul Mustarsyidin)

Itulah hukum yang berlaku dalam kaca mata Islam. Selain ditinjau dari hukum tersebut, andil keluarga pastilah harus terlibat. Mereka harus benar-benar mencapai mufakat antara kedua belah pihak. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban laki-laki yang menghamili, dan bagaimana bentuk respon dari pihak yang dihamili.

Kenapa harus melibatkan keluarga?

Karena keputusan yang paling bijak bisa terwujud apabila dipikirkan secara bersama-sama. Dan realitanya, banyak laki-laki yang lebih memilih kabur dari aib ini. Mereka hanya ingin “memakai” setelah itu membual sembari pergi tanpa kabar dan jejak. Alhasil, si wanita lebih memilih menggugurkan daripada menerima resiko bayi tanpa ayah tersebut. Demi Allah, mereka adalah golongan orang-orang yang dilaknat oleh Allah. Wallahu A’lam

Dalam kasus lain, bagaimana dengan polisi yang “menikahkan paksa” orang yang ketahuan berbuat zina? Bagaimana pandangan Islam mengenai hal tersebut?

Jawab:
Hukumnya adalah tidak sah, apabila pemaksaan tersebut memenuhi syarat, menurut ahli fiqih, dan diperintah oleh hakim sekalipun. Karena syarat sah mutlaknya adalah harus dengan kemauan calon suami. Apabila calon suami tidak menghendaki menikah dengan orang tersebut, maka hukumnya tidak sah.

Dalam kitab Tanwirul Qulub dijelaskan bahwa dalam pernikahan, terdapat opsi pemilihan bagi seorang suami atau pihak laki-laki. Dan tidak sah apabila dalam pernikahan tersebut terdapat unsur paksaan.

Hal ini sejalan dengan rukun dan syarat sah nikah, diantaranya yaitu beragama Islam, bukan mahram, ada wali nikah, tidak sedang melaksanakan haji, dan tidak ada unsur paksaan.

Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin dijelaskan bahwa, “Jika seseorang diperintahkan oleh hakim untuk menceraikan istrinya, kemudian suami tersebut benar-benar menjatuhkan cerai kepada istrinya, maka hukum cerai tersebut adalah tidak sah, sekalipun hakim tersebut tidak mengintimidasinya. Dan sama halnya dengan hakim yang memiliki kemampuan secara fisik atau tidak, karena kasus itu termasuk pemaksaan syar’i.”

Hal ini “sekali lagi” sejalan dengan rukun atau syarat sah talak, yaitu suami yang berhak menjatuhkan talak (bukan istri), suami yang telah menikah dengan (istri) yang sah, dan menjatuhkan talak atas keinginan diri sendiri.

Itulah pembahasan mengenai kawin paksa dalam Islam. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat. Wallahu A'lam.