Abusyuja.com_Bagaimana hukum darah yang masih tetap dalam urat-urat dan daging? Padahal kita tahu, syariat mengharamkan darah secara mutlak, maksudnya adalah mengkonsumsi darah jenis hewan apapun, karena pada dasarnya hukum darah adalah najis, dan najis haram hukumnya dikonsumsi.
Para ulama sepakat bahwa darah adalah haram dan najis. Seperti yang sering kita temukan di lingkungan kita, yaitu makanan dan minuman yang memiliki bahan dasar darah, seperti minuman darah sapi, Saren/Dideh, Hematogen, Thai Boat Noodles, bahkan makanan Korea seperti Haejang-guk, mereka semua adalah haram untuk dikonsumsi. Sebab, darah merupakan cairan najis yang tidak boleh dikonsumsi dan dimanfaatkan.
Allah dengan tegas melarang memanfaatkan darah. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-An'am ayat 145:
قُل لَّآ أَجِدُ فِى مَآ أُوحِىَ إِلَىَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُۥٓ إِلَّآ أَن يَكُونَ hukمَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُۥ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ ٱللَّهِ بِهِ
"Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -- karena sesungguhnya semua itu kotor -- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah....ilaa akhirihi." (QS. Al-An'am: 145)Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah mengharamkan darah, daging babi dan bangkai, kecuali apabila dalam keadaan terpaksa (dharurat), maka boleh memakannya. Misal seperti tidak menemukan makanan lagi selain bangkai tersebut.
Lalu bagaimana dengan darah yang ada dalam daging dan urat-urat? Apakah termasuk dalam أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا (darah yang mengalir)?
Ada sebuah hadis dari Aisyah ra. bahwasanya ia berkata, "Jikalau sekiranya Allah Swt. tidak berfirman, "atau darah yang mengalir", tentu saja manusia akan membawa-bawa darah yang ada dalam urat-urat."
Maka dari itu, darah yang telah "bercampur" dengan daging tidaklah diharamkan, menurut konsensus ulama. Demikian pula hati dan limpa juga telah disepakati halalnya. Sebab, memisahkan darah dari limpa atau hati merupakan hal yang tidak masuk akal, sekalipun pada dasarnya ia termasuk kategori darah.
Konsensus ulama tersebut ternyata juga sejalan dengan Al-Qurthubi. Beliau berkata, "Adapun darah hukumnya adalah haram, selama tidak bercampur baur, maksudnya adalah dasar tersebut tidak melekat pada daging dan urat-urat."
أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا secara arti adalah "darah yang mengalir", seperti darah sembelihan sapi, kambing, unta, dan lain-lain. Mungkin keharaman tersebut terjadi apabila darah tersebut diolah sedemikian rupa untuk dijadikan santapan yang memang benar-benar memiliki kadar yang banyak.
Berbeda dengan nyamuk, yang secara biologis tidak termasuk dalam kategori دَمًا مَّسْفُوحًا (memiliki darah yang mengalir). Maka secara syariat, darah nyamuk dihukumi najis, tetapi di-ma'fu (diampuni).
Begitu juga dengan darah yang menempel di daging atau di urat-urat. Hal ini tidaklah termasuk أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا. Maka, hukumnya tetap halal. Aisyah ra. pernah berkata,
"Kami pernah merebus daging dalam periuk pada masa Nabi Saw. dimana periuk itu mendidih kekuning-kuningan dari warna darah, lalu kami memakannya dan kami tidak mengingkarinya." (Tafsir Al-Qurthubi, Juz II, Hal. 204)
Itulah hukum darah dalam daging dan urat-urat. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat.