Hukum Keluarga: Pengertian, Contoh dan Ruang Lingkup

Daftar Isi

 Abusyuja.com_Sebelum membahas tentang hukum keluarga, alangkah baiknya jika kita mengetahui apa itu keluarga. Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta “kula” dan “warga” (kulawarga) yang artinya “anggota” atau “kelompok kerabat”. Secara istilah, keluarga adalah ruang lingkup beberapa orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan atau darah.

https://www.abusyuja.com/2020/08/hukum-keluarga.html

Keluarga berasal dari kelompok sosial yang terdiri dari beberapa individual atau sejumlah kelompok, memiliki hubungan antar individu, kewajiban, terdapat ikatan, tanggung jawab diantara individu tersebut. Keluarga adalah salah satu bagian kecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang tinggal di satu tempat (satu atap) dalam saling ketergantungan.

Pengertian Hukum Keluarga

Secara istilah, hukum keluarga berasal dari terjemahan kata “familierecht” (bahasa Belanda) atau “law of familie” (bahasa Inggris). Berikut beberapa pengertian hukum keluarga menurut beberapa pakar hukum.

Menurut Prof. Mr. Dr. L.J van Apeldoorn, Hukum keluarga (familierecht) adalah peraturan hubungan hukum yang timbul dari hubungan keluarga.( L.J. van Apeldoarn, Pengantar Ilmu Hukum: 233)

Menurut Prof Soediman Kartohadiprodjo, SH., Hukum keluarga adalah kesemuanya kaidah-kaidah hukum yang menentukan syarat-syarat dan caranya mengadakan hubungan abadi serta seluruh akibatnya. (Soedirnan Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum  Di Indonesia: 83)

Ketentuan secara menyeluruh yang mencakup hubungan hukum yang berkaitan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena pernikahan. (Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga,. Hukum Pembuktian: 93)

Menurut Prof. Ali Afandi, SH., Hukum keluarga adalah Ketentuan secara menyeluruh yang mencakup hubungan hukum yang berkaitan dengan kekeluargaan sedaran dan kekeluargaan karena pernikahan. (Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga,. Hukum Pembuktian: 93)

Dari beberapa definisi pakar di atas bisa kita simpulkan bahwa hukum keluarga adalah aturan yang mengatur hubungan keluarga atau peraturan-peraturan baik tertulis maupun non tertulis yang berkaitan dengan keluarga yang sedarah dan keluarga sebab pernikahan. Hal ini mencakup pernikahan, harta benda dalam pernikahan, perceraian (talak), hak atau kekuasaan orang tua, pengampuan (pembebasan), perwalian, dan lain sebagainya yang ada hubungannya dengan keluarga.

Asas Hukum Keluarga

Berikut beberapa asas hukum yang dapat digali sekaligus diterapkan dalam hukum keluarga di Indonesia:

1. Asas monogami

Yaitu asas yang memiliki makna bahwa seorang laki-laki diperbolehkan mempunyai istri. Begitu juga sebaliknya, seorang perempuan berhak mempunyai suami. Sebagaimana dijelaskan dalam KUHP Perdata Pasal 27 dan Pasal 3 UU NO.1 Tahun 1974.

2. Asas konsensual

Maksudnya yaitu asas yang memberikan definisi bahwa pernikahan dan perwalian dianggap sah apabila terdapat persetujuan atau konsensus dari kedua belah pihak antara calon suami-istri yang akan melangsungkan pernikahan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam KUHP Perdata dan Pasal 6 UU NO.1 tahun 1974.

3. Asas Proporsional

Yaitu asas yang menegaskan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan di dalam lingkungan sosial masyarakat. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 31 UU NO.1 Tahun 1974.

4. Asas persatuan bulat

Yaitu asas yang menegaskan bahwa antara suami dan istri terjadi persatuan harta benda yang dimilikinya. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 119 KUH Perdata.

Dasar Hukum Keluarga

Dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku adalah:

  • Buku 1 KUH Perdata yaitu Bab IV sampai dengan Bab XI
  • Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  • PP (Peraturan Pemerintah) No. 9 tahun 1974 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
  • UU (Undang-Undang) No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang Undang No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
  • PP (Peraturan Pemerintah) No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan dan penambahan PP No. 10 Tahun 1983 tentan Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil
  • IP (Instruksi Presiden) No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Pasal 1-170 KHI)

Bentuk-bentuk Perkawinan

Berikut beberapa bentuk perkawinan yang ditinjau dari jumlah istri:

1. Perkawinan Monogami 

Perkawinan Monigami adalah perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita.

2. Perkawinan Poligami 

Perkawinan Poligami adalah perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari satu wanita. Dan sebaliknya, perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu pria yang dengan tegas dilarang dalam Islam.

Dan berikut bentuk-bentuk perkawinan yang ditinjau dari segi asal (RAS) suami-istri:

3. Perkawinan Eksogami

Perkawinan Eksogami adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang berlainan suku dan ras. Misalnya: masyarakat di Minangkabau, Tapanuli, Batak, Betawi dan lain sebagainya.

4. Perkawinan Endogami

Perkawinan Endogami adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang berasal dari suku dan ras yang sama. Misalnya: masyarakat Toraja, Jawa, Minang dan lain sebagainya.

5. Perkawinan Homogami

Perkawinan Homogami adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan dari lapisan sosial yang sama. Misalnya: suku Jawa kawin dengan suku Jawa pula, orang kaya kawin dengan orang kaya, orang Batak kawin dengan orang Batak pula, orang Sunda menikah dengan orang Sunda pula dan lain sebagainya.

6. Perkawinan Heterogami 

Perkawinan Heterogami adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan dari lapisan sosial yang berlainan. Misalnya: orang keturunan bangsawan atau kerajaan menikah dengan orang biasa, orang Batak menikah dengan orang Sunda dan lain sebagainya.

7. Perkawinan campuran

Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan, misalnya Perkawinan campuran antara laki-laki berkewarganegaraan Jerman menikah dengan perempuan berkewarganegaraan Indonesia.

8. Perkawinan beda agama

Perkawinan beda agama adalah perkawinan antara dua orang yang berbeda agama. Misalnya pernikahan orang Islam dengan Kristen, Budha dengan Katolik dan lain sebagainya.

Disamping bentuk-bentuk perkawinan di atas, terdapat pula bentuk-bentuk perkawinan lainnya, yaitu:

9. Perkawinan Cross Cousin

Perkawinan Parallel Cousin adalah perkawinan antara saudara sepupu, yakni anak saudara laki-laki ibu (anak paman) atau anak dari saudara perempuan ayah. Misalnya: di daerah Batak dikenal dengan istilah pariban, di daerah karo impal dan sebagainya.

10. Perkawinan Parallel Cousin

Perkawinan Parallel Cousin adalah  perkawinan antara anak-anak dari ayah mereka ber­saudara atau ibu mereka bersaudara.

11. Perkawinan Eleutherogami

Perkawinan Eleutherogami adalah seseorang bebas memilih jodohnya dalam pernikahan, baik itu dari suku sendiri maupun dari suku lainnya. Misalnya: pada masyarakat Jawa, Sumatera Tengah, Kalimantan,  Bali, dan lain sebagainya.

Ruang Lingkup Hukum Keluarga

Ruang Lingkup Hukum Keluarga ini ada tiga bagian:

1. Perkawinan

Lingkup pertama yaitu perkawinan, yaitu sebuah ikatan yang terjalin karena adanya akad pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang sah di mata syariat dan sah pula di mata pemerintah. Sedangkan istilah “nikah siri” juga berlaku di lingkup ini. Tetapi nikah siri disini dianggap sah oleh syariat saja, sedangkan dalam administrasi negara belum dianggap sah.

2. Putusnya perkawinan

Lingkup yang kedua adalah putusnya perkawinan, maksudnya adalah putusnya hubungan keluarga antara suami dan istri lewat ikrar yang diwewenangkan oleh pihak suami (laki-laki), yaitu sebuah ikrar talak (cerai) yang dijatuhkan kepada istri. Apabila suami menjatuhkan talak, maka putuslah hubungan mereka.

Apabila suami menjatuhkan talak satu atau dua kali, maka ia masih memiliki hak untuk rujuk (kembali) kepada istrinya. Apabila ia sudah menjatuhkan talaknya 3 kali, maka ia tidak berhak lagi rujuk kepada istrinya. Dengan catatan: apabila mantan istri tersebut menikah lagi dengan laki-laki lain, kemudian cerai secara alami (tidak ada unsur paksaan atau maksud untuk kembali ke mantan suami pertama), maka suami pertama (yang menjatuhkan talak tiga) diperbolehkan rujuk lagi.

3. Harta benda dalam perkawinan

Sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya dalam asas persatuan bulan dalam Pasa 119 KUH Perdata, harta benda dalam perkawinan akan memiliki sifat campur atau tergabung. Apabila salah satu dari mereka meninggal, suami misalanya, maka tidak sepenuhnya harta tersebut akan dimiliki oleh istri, tetapi harus harta tersebut harus dibagikan sebagaimana hak masing-masing yang telah ditetapkan dalam ilmu faraidh atau mawaris.

Itulah pembahasan mengenai hukum keluarga beserta unsur-unsur yang berkaitan dengannya. Cukup sekian pembahasan kali ini, semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat.