Hukum Bedug dan Kentongan Dalam Islam

Daftar Isi
Abusyuja.com_Bedug dan kentongan merupakan dua alat instrumen yang digunakan untuk memberi tahu awal masuk waktu shalat fardhu. Bedug dan kentongan biasanya dipukul sebanyak dua kali sebelum adzan untuk menandai waktu masuknya shalat. Sedangkan pada hari jumat, Bedug dan kentongan di pukul kurang lebih 30 menit sebagai penanda masuknya shalat jumat.

https://www.abusyuja.com/2020/08/hukum-kentongan-dan-beduk-dalam-islam.html

Seperti yang kita ketahui, banyak masjid-masjid yang tidak memilih menggunakan Bedug dan kentongan karena mereka memang tidak digunakan pada zaman Rasulullah. Bahkan, Bedug dan kentongan ternyata juga sering digunakan oleh kaum Yahudi dan Nasrani meskipun sekarang mereka telah meninggalkannya.


Mereka yang menolak menggunakan Bedug dan kentongan beranggapan bahwa hal tersebut bukanlah sunnah Nabi, dan Nabi pun tidak pernah mengajarkan hal semacam itu. Jadi mereka lebih memilih untuk tidak menggunakannya karena alasan tersebut.

Sedangkan untuk kalangan Nahdiyin, Bedug dan kentongan merupakan budaya Islam Nusantara yang telah diajarkan oleh para Walisongo dan para ulama zaman dulu. Bedug yang masih kuat sejarahnya dalam lingkup Islam Walisongo adalah Bedug Masjid Agung Demak dan Masjid Menara Kudus yang sekarang telah diakui sebagai cagar budaya.

Konon, Bedug merupakan alat instrumen yang berasal dari India dan China, kemudian masuk ke tanah Jawa dan disambut dengan baik oleh raja Jawa dan masyarakatnya. Alat tersebut awalnya digunakan untuk mengetahui waktu sembahyang orang-orang non Islam. Karena para ulama mengetahui maslahat alat tersebut, akhirnya mereka menggunakan Bedug sebagai penanda waktu shalat juga. Lalu pertanyaannya, bagaimana hukum menggunakan Bedug dan kentongan? Padahal dalam Rasulullah sendiri tidak mengajarkan hal tersebut?

Sebagaimana keputusan Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin (1936 M). Mereka secara mufakat lebih memilih menggunakan dalil Aqli, atau dalil yang didasarkan pada logika tanpa melanggar aturan syariat yang berlaku.

Soal mereka yang menolak atas dasar "tidak diajarkan oleh Rasulullah", apakah hal tersebut selamanya dijadikan pembenaran ketika menyikapi budaya-budaya baru yang tidak diajarkan oleh Nabi? Mungkin menurut hemat kami, mengharamkan Bedug dan kentongan dengan alasan tersebut adalah pemikiran yang kaku, tanpa mempertimbangkan beberapa sisi baik yang dihasilkan oleh alat tersebut.

Contoh, mengenai Handphone yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Kenapa tidak diharamkan? Padahal alat tersebut juga budaya, bahkan disebut sebagai "budaya modern" yang berasal dari non muslim, yang konon katanya ditemukan pertama kali oleh Martin Cooper pada tahun 1973.


Salah satu alasan mengapa Handphone tidak diharamkan adalah besarnya kemaslahatan yang didapat dari pada madharatnya. Memang benar budaya tersebut buatan non muslim, tetapi hal tersebut tidak akan pernah bisa menjadi alasan pantas dalam memvonis pengharaman barang tersebut. Sebab, kemaslahatannya sangatlah besar, dan salah satunya adalah memudahkan kita dalam syiar Islam. Contoh lain, penggunaan pesawat, kereta api, mobil, apakah budaya tersebut diajarkan oleh Nabi Saw?

Lalu bagaimana dengan hukum kentongan dan Bedug?

Para ulama memang berselisih pendapat mengenai hukum kentongan. Kenapa berselisih? Karena mereka memiliki cara pandang masing-masing. Dan tentunya akan dipengaruhi oleh budaya pada masa itu. Misal, ulama yang mengharamkan kentongan adalah karena sifatnya yang menyerupai dengan penanda waktu masuknya ibadah non Muslim, dan hal tersebut akan menjadi tasyabbuh (meniru atau mengikuti agama lain) apabila digunakan dan diterapkan dalam ibadah Muslim.

Sedangkan ulama yang mengatakan mubah memiliki anggapan bahwa benda tersebut tidak lagi digunakan oleh kaum Non Muslim. Dan sangat memungkinkan dijadikan sebagai benda syiar Islam dalam menentukan awal waktu shalat.

Adipati Tjokronagoro I, Bupati Purworejo pertama memerintahkan masyarakat untuk membuat Bedug besar pertama kali di Masjid Darul Muttaqien pada tahun 1834 M. dan diberi nama Kyai Bagelan. Bedug yang konon paling besar di Indonesia tersebut merupakan karya besar umat Islam sebagai pendukung syiar Islam.

Dalam kacamata fiqih, Bedug sendiri adalah instrumen yang memiliki karakter "Low" dan condong ke "Sub", itu artinya alat tersebut masuk dalam kategori alat yang dibolehkan dalam Islam. Karena tidak memiliki unsur bunyi mendayu-dayu yang dapat berpotensi melupakan Allah. Hal ini sejalan dengan alat musik "genderang" yang digunakan Rasulullah untuk perang. 

Kalau dalam kacamata modern, Bedug juga bisa diartikan sebagai penanda yang dapat menggema luas. Hal ini sejalur dengan fungsi TOA atau speaker yang berada di masjid-masjid sekarang. Berhubung sejarah mencatat listrik masuk di Indonesia pada abad ke-19, maka sangatlah tidak logis apabila kita menemukan TOA atau speaker pada masa sebelumnya. Dan Bedug inilah salah satu solusi terbaik untuk dijadikan sebagai penanda waktu shalat, karena dapat menggema luas di masyarakat.

Walisongo pun juga menganjurkan untuk membangun masjid di dekat alun-alun (tempat-tempat yang berpotensi memiliki keramaian), dekat pasar, atau tengah-tengah pemukiman warga, agar suara Bedug dapat menggema dan alhasil masyarakat terbantu ketika waktu-waktu shalat fardhu telah tiba. Maka, tidak heran kita temukan menara-menara pada masjid peninggalan Walisongo, karena dulu memang berfungsi untuk menggemakan suara Bedug maupun adzan.


Sedangkan kentongan merupakan alat musik komunikasi tradisional yang konon berasal dari legenda Cheng Ho China. Sejarah mengatakan listrik masuk Indonesia pada abad ke-19, yaitu ketika kolonial Belanda membuat pembangkit listrik untuk pabrik-pabrik gula dan teh.

Sebagai alat komunikasi pada masa non listrik, tentu saja kentongan memiliki banyak sekali manfaat. Contoh, kentongan ronda, yang digunakan untuk memberi tahu kapan terjadi kebakaran, pencurian, orang hilang dan lain-lain. Apakah manfaat tersebut melanggar syariat? Tentu saja tidak. Sama halnya dengan kentongan masjid, yang dipadukan dengan Bedug karena memiliki satu kesatuan fungsi, yaitu media untuk memberi tahu kapan waktu shalat masuk.

Itulah mengapa beberapa sudut pandang harus dilibatkan dalam menghukumi perkara tersebut. Tetapi kami ingin menegaskan, substansi dari hukum ini tentu saja terletak pada "kemaslahatan" dan "kemadharatan" yang berlaku. Tidak selamanya Bedug dan kentongan dihukumi mubah. Kalau tujuannya untuk mengganggu orang yang beribadah, maka haramlah jadinya.

Itulah pembahasan mengenai hukum Bedug dan kentongan dalam Islam. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat. Wallahu A'lam