Siapakah Hamba Allah Sebenarnya dalam Al-Qur'an?
Maka dari itu, mengetahui dan memaknai siapa sesungguhnya yang dimaksud dengan hamba Allah sangatlah penting. Sebab, kita harus mengetahui, apakah status hamba Allah ini dikhususkan untuk manusia-manusia pilihan saja seperti para Rasul, Nabi, Aulia (para wali Allah), dan lainnya, ataukah hanya dikhususkan untuk malaikat, yang secara mutlak tidak memiliki naluri apapun selain patuh, patuh dan patuh terhadap tugas dari-Nya.
Mungkin untuk lebih memberikan penjelasan yang sesuai dengan pengartian dan maksud dari kata “hamba Allah” sebagaimana yang tersiratkan dalam Al-Qur’an, sebaiknya dibutuhkan pengertian yang jelas lewat penafsiran-penafsiran tentang ayat-ayat hamba Allah tersebut.
Demikian halnya dengan pencapaian hamba ketika ingin meraih hakikat hidup yang mulia, perlu sesekali mengetahui secara umum sifat-sifat seorang hamba Allah itu sendiri. Dalam hal ini, kita kembali ke penjelasan beberapa ayat tentang penggambaran hamba Allah. Berikut ayatnya:
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الأرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا (63) وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا (64) وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا (65) إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا (66) وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا ((67
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati; dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab Jahanam dari kami. Sesungguhnya azabnya itu adalah kehinaan yang kekal.” Sesungguhnya Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir; dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 63-67)
Dari ayat di atas bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hamba Allah adalah (الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الأرْضِ هَوْنًا) orang yang berjalan di muka bumi ini dengan keadaan tenang dan penuh kerendahan hati (tidak angkuh). Apabila orang-orang jahat lagi menyapa dengan ucapan yang kotor, ia lebih memiliki meresponnya dengan baik dan membalas perkataan mereka dengan ucapan baik yang sekiranya tidak mengandung unsur dosa di dalamnya. Maksudnya, ia merespon dengan ucapan baik semata-mata untuk tujuan baik pula, bukan untuk tujuan atau memendam maksud lain. Nah, itu yang pertama.
Yang kedua وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا , artinya, “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong”. Maksudnya adalah cara berjalan seorang hamba Allah adalah tidak menampakkan sifat sombong, angkuh, jahat dan tidak takabur. Dalam Tafsir Ibnu Katsir juga dijelaskan bahwa cara berjalan seorang hamba Allah adalah tidak dengan melangkah seperti orang sakit, karena dibuat-buat dan pamer. Tetapi berjalan layaknya sedang turun dari tempat yang tinggi (dengan langkah yang tepat dan pasti).
Yang ketiga وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا, artinya, “Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka”. Maksudnya adalah seorang hamba Allah selalu ingin mengerjakan ketaatan dan beribadah kepada-Nya. Dalam QS. Az-Zariyat ayat 17-18 juga mempertegas bahwa hamba Allah adalah orang yang sedikit sekali tidur di waktu malam dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun kepada-Nya.
Dalam As-Sajdah: 16 dijelaskan bahwa hamba Allah adalah mereka yang lebih sering menjauhkan lambung mereka dari tempat tidurnya hingga akhir hayat. Maksudnya adalah selalu bangun malam untuk melakukan shalat malam untuk mengharapkan rahmat Tuhannya, serta takut kepada azab akhirat.
Yang keempat adalah وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا, artinya, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir.”
Maksudnya adalah ia tidak menghambur-hamburkan hartanya dalam bersedekah atau infaq dari apa yang diperlukan, tidak pula ia kikir terhadap keluarga dan kerabatnya yang mengakibatkan kebutuhan mereka tidak tercukupi.
Seorang hamba Allah harus membelanjakan hartanya dengan kadar yang seimbang dan selektif sesuai kebutuhan dan kemauan yang tidak berlebihan. Substansinya adalah seorang hamba Allah harus bisa menempatkan posisinya di tengah-tengah, yakni tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir.
Huzaifah ra. menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda, “Betapa baiknya sikap tidak boros dalam keadaan berkecukupan, dan betapa baiknya sifat tidak boros dalam keadaan fakir, dan betapa baiknya sikap tidak berlebihan dalam hal ibadah.”
Iyas ibnu Mu'awiyah mengatakan bahwa hal yang melampaui perintah Allah adalah perbuatan berlebih-lebihan. Tetapi dalam konteks sedekah dijalan Allah, Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa membelanjakan harta dijalan Allah tidak ada batas berlebih-lebihan. Wallahu A’lam.
Itulah arti sesungguhnya seorang hamba Allah. Semoga dapat menambah wawasan keilmuan kita.