Pengertian Wadi'ah Beserta Syarat dan Hukumnya

Daftar Isi

https://www.abusyuja.com/2020/09/pengertian-wadiah-beserta-syarat-dan-hukumnya.html
Secara etimologi, kata Wadi'ah berarti menempatkan sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya untuk dipelihara. Secara terminologi, ada dua pengertian Wadi'ah yang dikemukakan oleh pakar fiqih. Pertama, menurut ulama Hanafi, Wadi'ah adalah mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat. Kedua, menurut ulama Maliki, Syafi'i dan Hambali (jumhur ulama), Wadi'ah adalah mewakili orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.

Dari definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa Wadi'ah adalah menitipkan suatu harta atau barang pada orang yang dapat dipercaya untuk menjaganya atau merawatnya.

Dasar Hukum Wadi'ah

Wadi'ah merupakan salah satu jenis akad yang bertujuan untuk saling menolong. Maka para ulama fiqih menetapkan bahwa Wadi'ah merupakan amalan yang disyariatkan dan hukum menerimanya adalah sunnah.

Adapun dalil hukum mengenai Wadi'ah ini telah dijelaskan dalam Al-Qur'an dan Al-Hadis. Berikut dalilnya:

Dalam QS. an-Nisa ayat 58 dijelaskan:

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. an-Nisa: 58)

Dalam hadis Nabi juga dijelaskan:

Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Serahkanlah amanat kepada orang yang memercayai engkau, dan janganlah kami mengkhianati orang yang telah mengkhianati engkau." (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Hakim)

Berdasarkan ayat dan hadis di atas, para ulama sepakat bahwa akad Wadi'ah (titipan) boleh dan disunnahkan, dalam rangka saling menolong antara sesama manusia.

Apabila ditinjau dari sifatnya, akad Wadi'ah ini sifatnya adalah mengikat kedua belah pihak. Bila seseorang dititipi barang oleh orang lain dan akadnya ini memenuhi rukun dan syarat Wadi'ah, maka pihak yang dititipi bertanggungjawab untuk memelihara barang titipan itu.

Ketika barang sudah sampai ke tangan orang yang dititipi, kerusakan yang terjadi tetaplah bukan tanggungjawab orang yang dititipi, kecuali apabila kerusakan tersebut disengaja atau berasal dari kelalaian orang yang dititipi.

Jika demikian, maka orang yang dititipi dikenai ganti rugi atas kerusakan barang itu selama dalam titipan. Berhubung sifat yang melekat pada akad Wadi'ah hanyalah sebatas amanah, maka pihak yang dititipkan barang tidak boleh meminta upah dari barang titipan itu. Sebab, pada hakikatnya, akad Wadi'ah merupakan akad yang imbalannya hanya mengharap ridho Allah Swt.

Selain itu, para ulama fiqih juga membahas tentang kemungkinan perubahan dari sifat amanah yang melekat pada akad Wadi'ah, menjadi sifat dham (ganti rugi) dalam hal berikut:

Apabila barang yang dititipkan tidak dipelihara dengan semestinya. Apabila ada orang lain yang ingin merusak barang tersebut dan orang yang dititipi tidak berusaha mencegahnya, padahal ia mampu, maka ia dianggap melakukan kesalahan. Atas kesalahan tersebut, ia dikenakan ganti rugi (dham).

Apabila barang yang dititipkan malah dititipkan lagi kepada pihak ketiga yang bukan keluarga dekat dan bukan pula tanggungjawabnya. Maka, resiko tetap ditanggung oleh pihak kedua (penerima titipan). Apabila barang tersebut rusak atau hilang, maka ai dikenakan ganti rugi.

Apabila barang tersebut dimanfaatkan oleh orang yang dititipi, tetapi tiba-tiba barang tersebut rusak, maka ia dikenakan ganti rugi. Karena pada hakikatnya, Wadi'ah merupakan akad perawatan/pemeliharaan barang saja, bukan pemanfaatan barang.

Apabila orang yang dititipi mengingkari akad Wadi'ah. Para ulama sepakat bahwa ia dikenakan ganti rugi. Contoh, ia menolak saat barang tersebut diminta kembali oleh pemiliknya, ia mencampurkan harta pribadinya dengan harta Wadi'ah (titipan) sehingga sulit untuk dipisahkan, ia membawa pergi jauh barang tersebut, atau dia melanggar syarat-syarat dari akad Wadi'ah itu sendiri.

Syarat Akad Wadi'ah

Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa syarat Wadi'ah adalah sebagai berikut:

  • Adanya pemilik barang/harta yang ingin menitipkan;
  • Adanya orang yang akan dititipi;
  • Adanya barang atau harta yang tidak bertentangan dengan syariat, atau bersumber dari segala sesuatu yang melanggar aturan syariat;
  • Orang yang dititipi hendaknya ikhlas karena mengharap ridho Allah, tidak boleh meminta upah atas jasa barang yang dititipkan tersebut.

Dalam perkembangan konsep Wadi'ah di dunia islam, banyak kita jumpai berbagai bentuk dan variasi atau praktik-praktik baru dalam konsep akad Wadi'ah. Pihak-pihak yang terlibat pun semakin beragam, misalnya giro pos atau tabungan yang dikelola oleh pihak bank. Pada dasarnya, giro dan tabungan tersebut merupakan titipan yang dapat diambil setiap saat oleh orang yang menitipkannya. Dalam bahasa akrab, kita sering menyebutnya “Tabungan Wadiah”.

Jika barang titipan itu (uang misalnya) dimanfaatkan oleh pihak penerima titipan, kemudian dikembalikan lagi secara utuh dan bahkan dilebihkan sebagai imbalan jasa, menurut Maliki dan Hanafi hukumnya boleh. Tetapi menurut ulama Syafi'i tidak diperbolehkan, dan akad yang dinyatakan gugur.

Demikianlah pengertian mengenai akad Wadi'ah. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat. Wallahu A'lam