Mengenal Mutlaq dan Muqayyad Dalam Ushul Fiqih
Lain halnya jika ibu Anda berkata, “Tolong belikan buah kurma”, sementara kalian membeli buah durian dan apel. Jika hal ini terjadi, berarti Anda telah melakukan kesalahan, karena jelas-jelas ibu Anda menghendaki buah kurma.
Gambaran di atas adalah masalah ketidakjelasan dan kejelasan makna kata. Dalam kehidupan kita sehari-jari, kalian bisa jadi sering menjumpai kasus seperti ini di atas. Kata-kata yang terlalu umum maknanya dalam istilah ushul fikih dapat diartikan sebagai lafal ‘amm dan mutlaq.
Di sisi lain, Anda pun sering menjumpai kata-kata yang artinya sudah jelas dan spesifik. Kata-kata seperti ini dapat digolongkan ke dalam khass dan muqayyad.
Ungkapan yang terlalu umum pasti akan menyulitkan pendengar atau pembaca dalam mencari maksud sesungguhnya. Oleh sebab itu, dibutuhkan kata lain yang bisa mengkhususkannya. Nah, supaya lebih jelas, perhatikan uraian berikut ini.
Pengertian mutlaq dan muqayyad
Secara bahasa, mutlaq berarti tidak terikat. Menurut istilah Ulama ushul fiqih, mutlaq adalah lafaz tertentu yang tidak terikat oleh batasan lafaz yang mengurangi keumumannya.
Sedang muqayyad secara bahasa berarti dibatasi oleh batasan. Sedangkan menurut istilah, muqayyad adalah suatu lafaz tertentu yang dibatasi oleh batasan, lafaz lain yang mengurangi keumumannya.
Misal, kata “golongan”. Sifat dari kata tersebut adalah mutlaq, karena tidak dikhususkan dengan lafaz lain. Jadi sifatnya global atau umum. Berbeda dengan kata “golongan Islam”, maka ia akan menjadi muqayyah karena dibatasi dengan lafaz lain. Artinya, “golongan” yang awalnya bersifat umum dibatasi dengan pengkhususan golongan-golongan “Islam” saja.
Hukum lafaz mutlaq dan muqayyad
Nash atau dalil yang memiliki lafaz mutlaq, harus tetap dipegang sesuai dengan sifat mutlaqnya, selama tidak ada dasar yang membatasinya. Demikian juga nash yang muqayyad, wajib dipahami sesuai dengan sifat muqayyad itu sendiri.
Apabila pada suatu nash khitab datang dan memiliki sifat mutlaq tetapi dalam nash lain bersifat muqayyad, maka ada beberapa kemungkinan menurut para ulama:
Pertama, jika masalah dan hukum dalam nash itu sama setara dengan keadaan mutlaq dan muqayyad terdapat pada hukum, maka yang wajib dipegang adalah yang muqayyad.
Contoh ada seorang sahabat yang berhubungan badan dengan istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan, kemudian menyampaikan masalah ini kepada Nabi:
“Saya membatalkan puasa di bulan Ramadhan.”
Mendengar kata-kata itu, Rasulullah dalam suatu riwayat berkata,
“Merdekakanlah budak sahaya, atau berpuasa dua bulan, atau berilah makan enam puluh orang fakir miskin.”
Namun dalam riwayat lain beliau bersabda,
“Apakah engkau sanggup berpuasa selama dua bulan berturut-turut?”
Dalam hadis pertama, Rasulullah hanya berkata “puasa dua bulan” (lafaz mutlaq). Sedangkan di hadis kedua, beliau mengatakan, “puasa dua bulan berturut-turut” (lafaz muqayyad). Maka, yang dapat dijadikan pegangan adalah yang muqayyad (puasa dua bulan berturut-turut)
Kedua, jika masalah hukum kedua nash itu sama serta dalam keadaan mutlaq dan muqayyad terdapat pada sebab hukum, maka yang harus dipegang adalah muqayyad. Seperti dalam suatu hadis,
“Pada lima ekor unta wajib zakat.”
Sedangkan dalam riwayat lain dikatakan,
“Pada lima ekor unta yang diternak wajib zakat.”
Maka, yang dijadikan pegangan adalah hadis yang kedua (muqayyad), yaitu lima ekor unta yang diternakkan wajib zakat.
Ketiga, jika problematiknya berbeda dan hukumnya sama, maka menurut sebagian besar Ulama Syafi’iyah yang wajib dipegang adalah yang muqayyad. Seperti mengenai kafarat pembunuhan tersalah dan kafarat zihar.
Mengenai kafarat pembunuhan tersalah, Allah berfirman,
“Bagi siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah, (hendaknya) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman...”(QS. An-Nisa: 92)
Sedangkan mengenai kafarat zihar, Allah berfirman,
“Maka hendaklah dia memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum keduanya bercampur...”(Al-Mujadalah: 3)
Persoalan yang ada dalam kedua ayat di atas adalah berbeda, yaitu pada ayat pertama mengenai pembunuhan tersalah, sedangkan pada ayat kedua masalah zihar.
Hukum dari keduanya pun sama, yaitu memerdekakan budak. Namun yang pertama disebutkan “budak yang beriman”, sedangkan yang kedua hanya “budak” saja. Oleh sebab itu, yang dapat dijadikan pegangan adalah memerdekakan “budak yang beriman”, baik atas pembunuhan bersalah maupun zihar.
Keempat, jika problematiknya sama dan hukumnya berbeda, maka menurut jumhur ulama (mayoritas ulama) pengikut Imam Syafi’i dan ulama pengikut Imam Hambali, yang dapat dijadikan pegangan adalah muqayyad.
Sedangkan menurut Maliki dan Hanafi harus berpegang kepada yang muqayyad kepada masing-masing. Yaitu yang mutlaq harus mutlaq dan yang muqayyad harus muqayyad.
Contoh dalam bersuci dengan wudhu dan tayamum. Dalam sebuah ayat, wudhu dikatakan,
“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku...”(Al-Maidah: 6)
Di dalam ayat yang sama dijelaskan,
“Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu...”(Al-Maidah: 6)
Perhatikan batasan membasuh atau mengusap dalam dua ayat di atas dan Anda temukan ada perbedaan kan. Untuk wudhu sampai siku-siku (muqayyad) sedangkan untuk tayamum tidak ada batasan (muttlaq). Karena itu, menurut golongan syafi’i, yang harus dipegang adalah sampai batas siku-siku (muqayyad), baik wudhu maupun tayamum.
Sedangkan menurut golongan Maliki, untuk wudhu harus membasuh sampai siku-siku (muqayyad) dan untuk tayamum hanya cukup mengusap sampai pergelangan tangan saja (mutlaq).
Kelima, jika masalahnya berbeda dan hukumnya berbeda pula, maka yang harus dipakai adalah masing-masing. Maksudnya, mutlaq sesuai dengan mutlaqnya sedangkan muqayyad sesuai dengan muqayyadnya.
Contoh kafarat pembunuhan tersalah dan kafarat sumpah. Dalam Al-Qur’an dijelaskan,
“Bagi siapa yang tidak memperoleh (hamba sahaya), maka hendaklah dia berpuasa dua bulan berturut-turut.” (QS. An-Nisa: 92)
Dalam ayat lain dijelaskan,
“Bagi siapa yang tidak memperoleh hamba sahaya, maka hendaklah dia berpuasa tiga hari.” (Al-Maidah: 89)
Masalah dan hukum dalam dua ayat di atas berbeda. Oleh sebab itu, keduanya hendaknya dijalankan sesuai dengan persoalan dan hukum masing-masing. Jadi tidak boleh kita mengadopsi alternatif hukum lain. Misal, ketika permasalahan yang dihadapi adalah pembunuhan, maka ia tidak boleh mengambil alternatif kafarat sumpah.
Itulah penjelasan istilah mutlaq dan muqayyad dalam ushul fiqih. Semoga bermanfaat. Wallahu A'lam