Latar Belakang Khittah NU (Nahdliyah)

Daftar Isi

https://www.abusyuja.com/2021/02/latar-belakang-khittah-nu.html
Khittah NU – Salah satu pemikiran yang melatarbelakangi keputusan untuk tidak terikat pada kekuatan politik tertentu adalah bahwa keterlibatan yang berlebihan dalam politik membaca dapat yang kurang baik bagi Jami’iyyah Nahdlatul Ulama.

Realitas semacam ini disebabkan oleh sikap pribadi elite NU yang lebih menonjolkan kepentingan politik daripada kepentingan Jami’iyyah daripada gilirannya setahap demi setahap NU mulai ditinggalkan dan kehilangan bidang-bidang kegiatannya, seperti dakwah, pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya. Kesadaran semacam itu sebenarnya sudah lama muncul dalam benak tokoh-tokoh NU dan bukan lagi permasalahan.

Usulan kembali kepada Khittah 1926 pertama kali muncul dalam Muktamar ke-22 di Jakarta, Desember 1959. Seorang juru bicara dari Pengurus Cabang Mojokerto, KH Achyat Chalimi, menilai bahwa peran politik Partai NU telah hilang dan peranan dipegang oleh perseorangan, hingga saat itu partai sebagai alat politik bagi NU sudah hilang.

Oleh karena itu, diusulkan agar NU kembali kepada Khittah pada tahun 1926. Namun, usaha itu hanya didukung oleh satu Cabang saja, sehingga penilaian kembali kepada Khittah NU berhenti.

Pemikiran serupa kembali digelindingkan tahun 1971 dalam Muktamar ke-25 di Surabaya. Kali ini gagasan datang dari Rais Aam (ketua umum) KH. Wahan Hasbullah, dan gagasan tersebut mendapat sambutan yang lebih baik.

Oleh karena itu, salah satu persoalan yang diperdebatkan adalah kehendak NU untuk kembali pada garis perjuangan tahun 1926 ketika pertama kali didirikan, yakni mengurusi persoalan agama, pendidikan dan sosial untuk kemasyarakatan saja. Akan tetapi pada akhirnya gagasan ini kalah oleh arus yang besar tentang keinginan untuk mempertahankan NU tetap berpolitik praktis.

Apabila diperhatikan dalam kurun waktu tertentu, kandasnya gagasan ke Khittah tersebut disebabkan karena dua faktor:

Pertama, gagasan itu semata-mata dilandasi alasan politisi NU yang akhirnya hanya menjadi alat kepentingan politik pribadi pada elitenya, dan karena itu solusi yang ditawarkan pun senada, dan tidak populer, yakni agar NU meninggalkan gelanggang politik sama sekali.

Di tengah banyaknya keuntungan yang diperoleh NU dalam pergulatan politik, wajar jika keinginan untuk meninggalkan peran-peran politik itu hanya dipandang sebelah mata. Terlebih lagi jika diingat bahwa pada saat itu peran kelompok politik masih dominan dalam tubuh NU.

Kedua, konsep kembalinya ke Khittah tidak termasuk secara jelas kecuali dalam pengertian “kembali pada tahun 1926”. Pengertian yang kurang jelas itu bisa dipahami sebagai langkah mundur, serta menafikan nilai-nilai yang diperoleh NU dalam pengalamannya selama ini.

Akhirnya Muktamar ke-25 memutuskan, mempertimbangkan gagasan tentang sebuah wadah baru yang non politis yang menampung dan membimbing aspirasi Islam Ahlussunnah Wal Jamaah di kalangan umat, yang oleh karena faktor-faktor lain harus meninggalkan ikatan-ikatan politiknya dengan partai politik.

Perumusan secara lebih jelas tentang konsep kembali ke Khittah, baru berkembang menjelang Muktamar ke-26 di Semarang tahun 1979. Landasan pemikiran politis kini dilengkapi dengan alasan moral. Merenungi perjalanan politik NU selama ini, seorang ulama berpengaruh di Jawa Timur, KH. Machrus Ali, menyebutkan bahwa telah terjadi kerusuhan batiniah dalam NU, dan para tokohnya dianggap terlalu cinta kekuasaan dan cinta kedudukan (hub al-riyasah dan hub al-jaah).

Ulama senior NU lain, KH. Achmad Shiddiq, menilai perlunya dirumuskan tekad untuk kembali ke “Khittah Nahdliyah”, garis-garis besar tingkah laku perjuangan NU. Menurut beliau, saat itu telah semakin jauh jarak waktu antara generasi pendiri NU dan generasi penerus, serta semakin luarnya medan perjuangan dan bidang garapan NU.

Di samping itu, ulama generasi pendiri NU telah semakin berkurang jumlah dan peranannya dalam kepemimpinan NU. Itu sebabnya dikhawatirkan NU akan kehilangan arah di masa nanti, jika prinsip Khittah NU tidak secepatnya disusun rumusannya.

Jika pemikiran kolektif semacam itu banyak datang dari kalangan ulama, barangkali wajar mengingat keprihatinan mereka akan terlalu dominannya peran kelompok politisi di Tanfidiyah dalam kepemimpinan NU yang secara tidak langsung mengurangi peran ulama.

Sementara itu, sebuah generasi NU muncul dengan kekhususannya sendiri. Mereka bukan kelompok ulama yang dapat digolongkan dalam kubu Situbondo, dan buka pula politisi atau tergolong Cipete. Mereka lebih tampak sebagai intelektual yang tampil dengan gagasan-gagasan “Jalan Tengah”, dan karena netralitas mereka dalam polarisasi ulama politisi itu, gagasan mereka bisa lebih objektif dan relatif mudah diterima oleh semua kalangan NU.

Melalui segala pergulatan pemikiran, kelompok intelektual generasi baru NU itu sampai pada kesimpulan bahwa NU memerlukan perubahan dalam garis-garis perjuangannya, dengan tetap berpegang pada semangat dan ide dasar perjuangan 1926.

Karena itu, sekalipun mereka mengajukan gagasan kembali ke Khittah 1926 sebagaimana beberapa senior mereka, namun kali ini gagasan tersebut telah ditopang pondasi dan rancang bangun yang lebih kokoh.

Hal ini secara bertahap dapat dibuktikan dengan tindakan nyata. Sekitar tahun 1974, generasi baru NU itu termasuk di dalamnya antara lain KH. Abdurrahman Wahid, Fahmi Saifudin, Said Budairy, Rozi Munir, Abdullah Syarwani dan Slamet Efendi Yusuf, mulai melakukan perubahan dalam tubuh NU. Sampai pada tahun 1976, mereka berusaha melakukan pemerataan ide-ide pembaharuan di kalangan pengurus dan tokoh-tokoh muda lainnya, sehingga pada tahun 1979, ide-ide itu mulai ditetapkan melalui lembaga-lembaga di bawah NU.

Hasilnya, ketika kelompok ini menyuarakan hasil usulan untuk kembali ke Khittah 1926 dalam Muktamar di Semarang, sambutan yang diperoleh tampak menggembirakan. Dalam program dasar pengembangan lima tahun sebagai hasil Muktamar, diuraikan tujuan sebagai berikut:

  • Menghayati makna seruan kembali ke jiwa 1926.
  • Menetapkan upaya intern untuk memenuhi seruan Khittah tersebut.
  • Menetapkan cakupan partisipasi Nahdlatul Ulama secara lebih nyata pada pembangunan bangsa.

Pada bulan Mei 1983, kelompok ini juga menyelenggarakan pertemuan yang dihadiri oleh tokoh muda NU, yang kemudian dikenal dengan nama Majelis 24, yang bertujuan melakukan refleksi terhadap NU, dengan kesepakatan penting terbentuknya “Tim Tujuh untuk pemulihan Khittah NU 1926”.

Tim ini terdiri dari:

  • KH. Abdurrahman Wahib (atau Gus Dur sebagai Ketua)
  • H. M. Zamroni (Wakil Ketua)
  • Said Budairy (Sekretaris)
  • H. Mahbub Junaidi, Fahmi Saifuddin, Daniel Tanjung, dan Ahmad Bagja (Anggota)

Tim ini merumuskan konsep pembenahan dan pengembangan NU sesuai Khittah 1926 serta menyusun pola kepemimpinan NU. Rumusan yang dihasilkan oleh Tim Tujuh inilah yang kemudian dijadikan pembahasan dalam Munas Alim Ulama 1983 dan Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984.

Dari kedua forum inilah dihasilkan Perubahan Anggaran Dasar NU, Program Dasar Pengembangan NU, rekomendasi mengenai masalah keagamaan, pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi sesuai acuan Khittah 1926.