Kekayaan Sesungguhnya Bukanlah Harta, Tetapi Ini...

Daftar Isi

Kekayaan Sesungguhnya Bukanlah Harta, Tetapi Ini...
Kebanyakan orang menganggap bahwa kekayaan identik dengan harta yang melimpah, hidup mewah, serta apa yang ia ingin selalu dengan mudah didapat. Padahal, semua itu bukanlah kekayaan sejati. Seperti kata pepatah, “Di atas langit masih ada langit”. Sekaya apapun orang itu, pasti akan ada orang lain yang lebih kaya darinya. Setinggi apapun jabatan seorang, bahkan orang nomor satu di negaranya sekalipun (Presiden), ia tetap makhluk yang ada dalam kuasa Tuhannya.

Itulah mengapa, kekayaan sejati tidak dapat diukur dengan harta atau pangkat saja, melainkan dengan “hati”. Hati dapat mengukur kekayaan kita, termasuk dalam mengukur rahmat dan nikmat yang diberikan oleh-Nya.

Jujur, bersyukur, rendah hati, berbaik sangka, dan lain sebagainya, semua adalah aset kekayaan hati. Hati yang layak dikatakan kaya adalah hati yang sifatnya bersih dari segala kotoran. Dampaknya adalah muncul sifat-sifat baik yang membuatnya menjadi pribadi yang kaya raya.

Kekayaan hati tidak ada yang dijual. Sifat jujur misalnya, ia tidak dijual di toko mana pun, tetapi di sisi lain, kejujuran seseorang yang berasal dari hati yang kotor dapat dibeli dengan uang. Saksi zalim misalnya, kejujurannya dapat dibeli dengan uang, agar mulut mereka mau mengatakan kejujuran yang telah disepakati.

Berbeda dengan jujur yang berasal dari hati yang bersih, uang APBN pun tidak cukup untuk membelinya. Sebab, ia muncul dari hati yang bersih, hati yang tidak dapat dinodai dengan tinta-tinta nafsu.

Contoh lain sifat bersyukur. Bersyukur adalah sifat yang dimiliki oleh setiap orang, tetapi kadarnya berbeda-beda. Bersyukurnya orang kaya dan orang miskin jelas beda. Syukurnya orang miskin tentu lebih istimewa jika dibandingkan dengan syukurnya orang kaya.

Orang kaya mudah bersyukur karena kebutuhan hidupnya tercukupi dengan baik. Berbeda dengan orang miskin, tentu sangat sulit baginya menetapkan syukur dalam hatinya sembari menahan beban hidup yang ia jalani, justru kebanyakan dari mereka akan mengeluh serta meratapi nasib malangnya.

Dari muhasabah di atas, dapat kita petik satu pelajaran bahwa, kekayaan sejati bukanlah kekayaan harta, tetapi kekayaan hati. Hati yang kaya akan mendatangkan beribu-ribu kenikmatan yang jauh lebih agung dibandingkan kenikmatan yang dihasilkan dari harta.

Contoh, seorang petani di gubuk sawah, ia menyantap nasi, tempe, sayur bening dan sambal teri buatan istrinya. Kenikmatan petani tersebut tentu akan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan orang kaya yang sarapannya roti selai buatan pembantunya.

Dari contoh di atas, haruslah kita berfikir bahwa tidak semua kenikmatan itu selalu didapat lewat wasilah harta. Kenikmatan tidak selalu soal harta benda. Kekayaan bisa saja mendatangkan kenikmatan, tetapi kenikmatan belum tentu semuanya berasal dari kekayaan.

Mungkin ada orang yang mendapatkan kenikmatan dari makanan yang harganya jutaan rupiah. Tetapi di sisi lain, orang yang kelaparan “juga” akan merasakan nikmat apabila perutnya diberi sedikit makanan, meskipun yang dimakan tempe goreng sekalipun. Yang satu merasakan nikmat karena makanan jutaan, yang satunya lagi merasakan nikmat karena kelaparan. Tetapi intinya mereka sama-sama merasakan nikmat. Itulah mengapa hati adalah satu-satunya aset kekayaan manusia, bukan harta.