Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Jum’ah Ayat 10 dan 11

Daftar Isi

Tafsir Al-Qur’an Surat Al-Jum’ah Ayat 10 dan 11
Dalam QS. Al-Jum’ah ayat 10, Allah menyerukan bahwa apabila telah menunaikan salat, segeralah mencari karunia Allah, boleh kembali bertebaran di muka bumi, mengerjakan urusan duniawi, atau berusaha mencari rezeki yang baik dan halal.

Perintah bertebaran di muka bumi, sebagaimana sebelumnya dilarang karena harus melaksanakan salat Jumat (dijelaskan dalam ayat ke-9), maka larang itu kemudian dicabut kembali.

Dengan demikian, nyata sekali bahwa dalam hal untuk bersantai-santai, atau juga hari itu semata-mata untuk beribadah yang langsung kaitannya dengan Allah seperti salat Jumat.

Akan tetapi, apabila setelah salat Jumat dilaksanakan, maka orang-orang beriman segera bertebaran mencari karunia Allah. Karena karunia Allah itu ada dimana-mana, asal manusia mau berusaha dan bekerja untuk mendapatkannya. Dan karunia Allah itu dapat dicari dari berdagang, bertani, pegawai, dan lain-lain.

Di akhir ayat QS. Al-Jum’ah ayat 10, Allah Swt. menganjurkan agar memperbanyak berzikir kepada-Nya, supaya manusia memperoleh keberuntungan. Zikir artinya ingat atau menyebut. Zikrullah masalah akidah, ubudiyah, dan akhlak.

Baik dalam hubungan manusia dengan Allah, maupun hubungan manusia dengan manusia. Rasulullah adalah manusia yang paling banyak berzikir. Beliau selalu ingat kepada Allah dalam situasi dan kondisi apapun.

Sedangkan dalam QS. Al-Jum’ah ayat 11, terdapat pernyataan Allah tentang sikap sebagian orang-orang mukmin yang masih silau dengan perniagaan, dengan duniawi, padahal mereka sedang mendengarkan khotbah Nabi Muhammad Saw.

Diceritakan, pada waktu Nabi Saw. sedang khotbah Jumat, datanglah rombongan unta, yaitu kafilah (rombongan) dagang dan satu acara lain yaitu diadakannya penyambutan secara beramai-ramai, termasuk orang-orang mukmin yang sedang mendengarkan khotbah beliau.

Mereka keluar dari masjid, Asbabun Nuzul dari ayat ini berkenaan dengan peristiwa tersebut, yakni waktu rombongan Dihyah Al-kalby tiba di Syam (Suriah) dengan membawa dagangannya seperti tepung, gandum, minyak, dan lain-lain.

Sebagai kebiasaan apabila rombongan unta dagangan tiba, wanita-wanita muda ikut menyambut dengan menabuh gendang, sebagai pemberitahuan atas kedatangan rombongan itu, supaya orang-orang datang berbelanja membeli dagangan yang dibawanya.

Dalam riwayat lain yang dikemukakan, bahwa apabila ada gadis-gadis yang menikah, maka berlangsunglah keramaian dengan seruling dan alat musik lainnya, sehingga orang-orang akan pergi melihat keramaian itu dan meninggalkan Rasulullah Saw. yang sedang berkhotbah di atas mimbar, maka turunlah ayat ini yang menegaskan bahwa nikmat yang diberikan Allah lebih baik daripada keramaian dan perniagaan.

Menurut Ibnu Mundzir yang bersumber dari Jabir bahwa kisah pernikahan dan datangnya khafilah (rombongan) itu waktunya bersamaan dan datang dari arah yang sama. Sedangkan ayat ini turun berkenaan dengan dua peristiwa tersebut.

Di awal ayat ini, Allah memaparkan suatu peristiwa, yaitu sikap manusia yang sering silau oleh duniawi, oleh gemerlapnya harta benda, sehingga dalam keadaan mendengarkan khotbah pun, mereka dengan mudah terpancing untuk  keluar dari masjid demi menyambut rombongan yang datang.

Kecenderungan seperti ini pun tampak pada manusia sekarang ini, di mana manusia telah mendewakan materi, dan materi telah menjadi tujuan hidupnya. Manusia dari waktu ke waktu disibukkan oleh urusan duniawi, kerja keras, peras keringat, banting tulang, bahkan dalam kesibukan terkadang melupakan Tuhannya. Ini karena dunia telah dianggap segalanya, bahkan dunia dianggap sebagai Tuhannya yang memberikan kebahagiaan, yang menghidupkan, dan mematikan.

Pada suatu hari, ketika Rasulullah berkumpul dengan para sahabat beliau bersabda, “Akan datang suatu masa umat Islam nasibnya akan seperti buih di tengah lautan yang diombang-ambing ombak.”

Para sahabat kemudian bertanya, “Apakah pada saat itu umat Islam jumlahnya sedikit?

Rasulullah menjawab, “Tidak, pada saat itu nanti umat Islam jumlahnya banyak, tetapi umat Islam sedang terkena penyakit wahan.”

Sahabat bertanya lagi, “Ya Rasulullah, Apa itu penyakit wahan?

Rasulullah menjawab, “Penyakit wahan itu ‘hubbud dunya wa karahiyatul maut’, yaitu cinta dunia dan takut mati.

Kecenderungan manusia lebih mementingkan atau memprioritaskan duniawi daripada ukhrawi telah ada sejak zaman Nabi, dan ayat ini telah membuktikan hal itu.

Kemudian Allah mengingatkan bahwa apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan. Disisi Allah ada keridhaan dan pahala-Nya sebagai balasan. Dan singkat kata balasan yang diberikan Allah jauh lebih baik dengan apa yang diusahakan manusia, namun manusia sering silau oleh gemerlapnya duniawi yang terkadang dunia itu laksana fatamorgana.

Ayat ini tidak bisa dilepaskan dari ayat sebelumnya (QS. Al-Jum’ah ayat 10), pada saat kita sedang mengabdi menghadap Allah, maka lupakanlah urusan duniawi, setelah itu bertebaranlah  di muka bumi untuk mencari rezeki, mengharapkan karunia dari Allah Swt. 

Ayat ini ditutup dengan suatu penegasan bahwa Allah itu sebaik-baiknya pemberi rezeki. Oleh karena itu, kepada-Nya lah kita arahkan usaha dan ikhtiar untuk memperoleh rezeki yang halal, serta mengikuti segala petunjuk petunjuk-Nya.

Itulah tafsir dari QS. Al-Jum’ah ayat 10 sampai 11. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat. Wallahu A’lam