Non Muslim Jadi Aktor Tokoh Islam, Bagaimana Hukumnya?
Bagaimana pandangan Islam mengenai seorang non muslim yang memerankan tokoh Islam dalam sebuah film? Di dunia industri perfilman, pemilihan aktor yang sesuai dengan kapasitas potensinya tentu menjadi sebuah pertimbangan sendiri. Dan tak jarang kita temukan artis maupun aktris tanah air yang diberi peran tokoh-tokoh dengan latar belakang agama Islam, meskipun hakikatnya ia memeluk agama lain.
Secara garis besar, hukum aktor non muslim yang memerankan tokoh muslim adalah diperbolehkan. Dengan catatan, peran yang dilakukan tidak mengandung unsur pelecehan terhadap kaum muslim itu sendiri.
Ketika orang kafir memberi nama anak mereka dengan nama yang umum dipakai semua agama, maka tidak masalah. Jika mereka memberi nama anak mereka dengan nama khas Islam, dan ada unsur merendahkan orang Islam, maka harus kita cegah jika mampu. Jika tidak ada unsur tersebut, maka terkadang itu justru menjadi kunci kebaikan. (Syaikh Ahmad Syarbasyi)
Yang perlu ditekankan adalah tidak adanya unsur pelecehan di dalamnya. Kalau ada, maka hal tersebut wajib dicegah. Jika tidak ada, justru hal tersebut akan menjadi kunci kebaikan, atau dapat menjadi wasilah agar orang-orang lain yang sebelumnya belum tahu tentang Islam akan tahu lewat akting yang diperankan. Bahkan penggemar artis/aktris tersebut juga akan ikut terdampak.
Dalam kitab Kasyifah as-Saja dijelaskan:
"Non muslim tidak dilarang untuk mendengar Al-Qur'an. Akan tetapi, ia dilarang untuk menyentuh mushaf. Dan bolehkah mengajarkan Al-Qur'an kepada non muslim? Jika tidak bisa diharamkan ia akan masuk Islam, maka tidak boleh. Jika masih diharapkan keislamannya, maka khilaf. Menurut pendapat asah boleh." (Kasyifah as-Saja: 32)
Kalau sebatas memerankan tentu diperbolehkan, tetapi kalau sudah ikut campur dalam akidahnya, maka hal tersebut tidak dibenarkan.
Bagaimana kalau sebaliknya? Bolehkan seorang Muslim memerankan tokoh orang kafir?
Jika tidak ada adegan yang mengandung kekufuran secara perbuatan, seperti membuang Al-Qur'an misalnya, maka hukumnya boleh.
Adapun dalilnya yaitu sebagaimana dijelaskan dalam At-Takfir Hukmuhu:
"Menceritakan hal yang menyebabkan kufur diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, menceritakan dengan ucapan, ini hukumnya boleh. Kedua, menceritakan dengan perbuatan, seperti persaksian seseorang dalam kasus penginjakan Al-Qur'an atau sujud terhadap berhala. Bagi saksi tidak boleh mempraktikkan penginjakan atau sujud. Karena tujuan utama saksi adalah memberi tahu satu kejadian yang dilakukan terdakwa. Dan hal itu bisa diucapkan dengan kata-kata." (At-Takfir Hukmuhu wa Dhawa Bituh, Juz 1: 40)