Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sopir Tidak Puasa, Bagaimana Hukumnya?

Sopir Tidak Puasa, Bagaimana Hukumnya?
Apakah boleh, bagi seorang sopir yang setiap harinya bekerja dari dini hari hingga sore hari meninggalkan puasa? Mengingat, pekerjaan mereka lazimnya akan sangat memberatkan apabila dilakukan di bulan suci Ramadhan?

Dalam kitab Hasyiyah I’anatuth Thalibin dijelaskan:

Bagi orang yang selalu bepergian, dilarang baginya tidak puasa. Karena hal tersebut akan menggugurkan kewajiban berpuasa secara keseluruhan. Kecuali ia berniat akan mengqadanya di hari lain dalam perjalanannya.(Hasyiyah I’anatuth Thalibin, Juz 2: 236)

Orang yang pekerjaan hariannya adalah sopir, bisa dikatakan ia akan selalu bepergian setiap hari karena tanggungan kerjanya. Kalau orang yang selalu bepergian tidak diwajibkan puasa, maka hal tersebut akan menggugurkan kewajibannya secara keseluruhan, karena ia selalu bepergian setiap harinya. Maka hal tersebut tidak dibenarkan.

Kalau dia hanya kadang kala bepergian, maka boleh baginya membatalkan puasa, dengan catatan, ia wajib mengqadanya di lain bulan. Tetapi yang jadi catatan di sini adalah, rukhsah ini hanya diberikan kepada orang yang bepergian jarang-jarang, misal satu minggu satu kali, dua minggu satu kali, atau bahkan satu bulan satu kali.

Berbeda kalau sopir, ia hampir setiap hari bepergian. Maka sangat konyol apabila ia dibolehkan membatalkan puasa semaunya karena alasan “bepergian”

Menyinggung soal rukhsah. Rukhsah atau keringanan ini dibolehkan kepada 4 golongan saja:

Pertama, orang sakit, yang mana ketika ia tidak makan (puasa), maka hal tersebut akan membahayakan dirinya.

Kedua, seorang lansia yang dari segi fisik sudah tidak mampu lagi berpuasa. Maka tidak wajib baginya berpuasa dan menggantinya dengan puasa lain, kewajiban yang berlaku padanya hanyalah membayar fidyah.

Ketiga, ibu hamil atau wanita menyusui, yang mana dikhawatirkan akan membahayakan dirinya atau bayinya.

Keempat, seorang musafir yang sedang bepergian jauh untuk keperluan non maksiat, maka ia diberi pilihan, boleh berpuasa dan boleh pula membatalkan.

Melanjutkan soal sopir, meski ia dianggap musafir, tetapi tetap saja bahwa pekerjaan yang ia lakukan tidak akan jauh dari yang namanya siklus bepergian.

Dari redaksi di atas terdapat kalimat “kecuali ia berniat mengqadanya di hari lain”. Maksudnya adalah, ketika sopir tadi memang benar-benar tidak kuat, maka boleh baginya membatalkan puasa dan wajib baginya mengganti puasanya di lain waktu. Wallahu A’lam