Tes Swab Apakah Membatalkan Puasa?
Di antara program yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi pandemi Covid-19 adalah dengan memberlakukan tes Swab kepada masyarakat. Hal ini tentu harus didukung sepenuhnya sebagai upaya penanggulangan pandemi yang belum kunjung berakhir. Namun masalah timbul ketika menghadapi bulan Ramadhan, banyak yang bertanya-tanya apakah tes Swab dapat membatalkan puasa? Sebagian orang mengatakan batal dan sebagian lainnya mengatakan tidak. Bagaimanakah sesungguhnya pandangan fikih tentang ini?
Majelis Ulama Indonesia dalam fatwanya No 23 Tahun 2021 tentang Hukum Tes Swab untuk Deteksi Covid-19 Saat Berpuasa menyatakan bahwa tes Swab tidak membatalkan puasa. Namun saya merasa perlu untuk mengkaji ulang fatwa tersebut secara ilmiah. Tentu saja hal ini tidak dimaksudkan untuk mendelegitimasi fatwa MUI tersebut atau para ahli di balik itu tetapi sebagai kajian ilmiah yang wajar dilakukan pada produk fatwa atau pendapat hukum mana pun.
Sebelum itu perlu diketahui bahwa tes Swab dilakukan dengan memasukkan alat ke dalam hidung hingga mencapai nasofaring atau orofaring untuk mengambil sampel cairan darinya. Dalam definisi yang disebutkan oleh MUI dinyatakan:
Tes Swab adalah pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi keberadaan material genetik dari sel, bakteri, atau virus dengan cara pengambilan sampel dahak, lendir, atau cairan dari nasofaring (bagian pada tenggorokan bagian atas yang terletak di belakang hidung dan di balik langit-langit rongga mulut) dan orofaring (bagian antara mulut dan tenggorokan).
Setelah definisi tes Swab diketahui, saatnya kita beralih pada pembahasan tentang batasan hal yang membatalkan puasa untuk kemudian menguji apakah tes Swab membatalkan puasa ataukah tidak. Dalam ketentuan umum mazhab Syafi’i dinyatakan bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam rongga tubuh bagian dalam (jauf) melewati lubang alami tubuh (manfaz) maka membatalkan puasa. Bagian ini pedoman umum yang sudah maklum dalam berbagai literatur fikih dari yang kecil hingga yang besar sehingga tidak perlu dinukil pernyataan ulama tentangnya. Lalu apakah memasukkan batang swab ke dalam nasofaring dari hidung atau ke orofaring dari mulut masuk kategori membatalkan puasa? Mari kita kaji dengan seksama.
Bagian dalam hidung yang menjadi pembatas batal tidaknya puasa adalah area yang disebut khaisyum (خيشوم). Dalam kitab I’anat ath-Thalibin (vol. II, h. 261) disebutkan:
قوله: ولا يفطر بوصول إلى باطن قصبة أنف أي لأنها من الظاهر، وذلك لأن القصبة من الخيشوم، والخيشوم جميعه من الظاهر. (قوله: حتى يجاوز منتهى الخيشوم) أي فإن جاوزه أفطر، ومتى لم يجاوز لا يفطر
{Puasa tidak batal dengan masuknya sesuatu ke dalam batang hidung}, maksudnya karena ia merupakan area luar. Hal tersebut karena batang hidung termasuk khaisyum sedangkan khaisyum seluruhnya adalah bagian luar tubuh. {Sehingga melewati pangkal khaisyum}, maksudnya adalah apabila sesuatu melewati pangkal khaisyum, maka batal puasanya. Ketika tidak melewatinya, maka tidak membatalkan.
Jadi, batasnya adalah khaisyum; Bila suatu benda melewati ujung pangkal khaisyum, maka puasa dinyatakan batal dan sebaliknya bila belum melampai khaisyum maka tidak batal. Lalu apa khaisyum itu? Dalam Hilyat al-Fuqaha’ (h. 43) dinyatakan:
فأما الخَياشيمُ، فجمع خَيْشوم، وهي أَعالِي الْأَنْفِ، قال بعضُ أهلِ اللغة: والْأَنْفُ كلُّه يُسَمَّى خَيْشومًا، والذي أرادَه الشافِعيُّ هو الأوَّلُ
Adapun khayasyim adalah jamak dari khaisyum. Ia adalah bagian paling atas dari hidung. Sebagian ahli bahasa menyebut bahwa seluruh hidung adalah khaisyum. Adapun yang dimaksud oleh Imam Syafi’i adalah definisi pertama.
Senada dengan itu, dalam Fath al-Mu’in dinyatakan bahwa khaisyum adalah أقصى الانف (ujung pangkal hidung). Artinya, khaisyum adalah bagian paling ujung atau bagian paling atas dari hidung. Untuk memperjelasnya, berikut adalah gambar lokasi khaisyum yang didapat dari berbagai sumber di internet:
Dari gambar tersebut terlihat bahwa khaisyum adalah area pernafasan di bagian dalam batang hidung. Dalam gambar tersebut terlihat bahwa khaisyum agak luas mencakup seluruh area rongga pernafasan. Namun demikian, dalam beberapa literatur dijelaskan secara lebih spesifik bahwa khaisyum adalah bagian atas rongga hidung yang tersambung dengan otak. Dalam Majma’ Bihar al-Anwar (vol. II, h. 137) karya Syaikh Muhammad Thahir ash-Shiddiqi dijelaskan:
خيشوم … هو أقصى الأنف المتصل بالبطن المقدم من الدماغ الذي هو محل الحس المشترك ومستقر الخيال
Khaisyum adalah ujung pangkal hidung yang bersambung dengan bagian depan otak yang merupakan tempat mengindra dan berpikir.
Terhubungnya khaisyum dengan otak ini juga dapat dilihat dari pernyataan Syaikh Qalyubi ketika menjelaskan perihal obat yang dimasukkan ke dalam hidung bagi orang yang berpuasa. Dalam Hasyiyah-nya (vol. II, h. 71), ia mengatakan sebagai berikut:
قَوْلُهُ: (بِالْإِسْعَاطِ) وَهُوَ وُصُولُ الشَّيْءِ إلَى الدِّمَاغِ مِنْ الْأَنْفِ، وَعَلَى هَذَا لَوْ لَمْ يَصِلْ إلَى الدِّمَاغِ لَمْ يَضُرَّ بِأَنْ لَمْ يُجَاوِزْ الْخَيْشُومَ كَمَا مَرَّ
Perkataannya “sebab memasukkan obat pada hidung” maksudnya adalah sampainya sesuatu ke otak dari hidung. Atas dasar ini, jika tidak sampai ke otak, maka tidak apa-apa dengan sekira tidak melampaui khaisyum, sebagaimana keterangan yang telah lalu.
Meskipun dalam temuan modern diketahui bahwa antara hidung dan otak sama sekali tidak ada jalan penghubung (lihat: Abdurrazaq al-Kindi, al-Mufaththirat at-Thibbiyah al-Mu’ashirah, h. 221), namun setidaknya kita tahu bahwa area yang dimaksud para ulama klasik sebagai khaisyum adalah rongga hidung bagian atas yang berdekatan dengan otak. Area rongga pernafasan di bagian atas yang sejajar dengan pangkal hidung dan berdekatan dengan otak dalam istilah anatomi disebut dengan area Olfactory. Area olfactory ini adalah bagian atas dari rongga hidung yang disebut dengan Nasal Cavity. Di bagian tersebut terdapat syaraf-syaraf penciuman yang terhubung dengan otak. Jadi, yang disebut khaisyum oleh fukaha klasik secara akurat adalah area olfactory ini yang letaknya di bagian atas rongga hidung (nasal cavity). Akan tetapi dalam definisi yang lebih longgar menurut bahasa, seluruh area nasal cavity yang nota bene adalah rongga pernafasan di balik tulang hidung juga dapat disebut khaisyum sebagaimana terlihat dalam gambar 1 di atas. Adapun lokasi olfactory dan nasal cavity dapat dilihat dalam gambar berikut:
Setelah kita tahu bahwa khaisyum yang menjadi batas terakhir area luar tubuh adalah rongga nasal cavity yang ujung atasnya adalah olfactory, maka dapat diketahui bahwa bila ada benda apa pun yang melewati daerah tersebut, baik ke atas (ke otak) atau ke bawah (menuju paru), maka puasanya batal. Area yang melebihi nasal cavity inilah yang disebut dengan jauf atau bagian dalam tubuh.
Dari sini kita bisa menilai apakah tes Swab membatalkan puasa atau tidak. Seperti disebut sebelumnya, area yang dijangkau oleh tongkat Swab adalah nasofaring yang letaknya melebihi nasal cavity. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam gambar berikut:
Seperti terlihat, tongkat swab menjangkau hingga nasofaring yang berada di ujung terdalam yang bisa dijangkau dari hidung. Tidak ada area lagi yang lebih dalam dari itu kecuali jalan ke bawah menuju paru-paru. Ia bukanlah rongga di balik hidung bagian atas yang searah dengan otak, melainkan rongga paling dalam di arah bawah. Lokasinya lebih jauh dari luar bila dibandingkan dengan olfactory. Dengan demikian jelas bahwa nasofaring yang dalam bahasa arab disebut sebagai البلعوم الأنفي adalah bagian dari jauf yang membatalkan puasa, bukan lagi area yang layak disebut sebagai area luar (zahir) yang tidak membatalkan puasa apabila ada sesuatu masuk ke dalamnya. Apalagi area orofaring (البلعوم الفموي), yang seperti terlihat dalam gambar 3 di atas, letaknya berada di bawah nasofaring, maka lebih dalam lagi sehingga otomatis pasti membatalkan puasa.
Fatwa MUI atau pendapat beberapa pakar fikih lainnya yang beredar saat ini juga mengutip sebagian literatur fikih yang saya kutip di atas tetapi sayangnya mereka tidak membahas dengan jelas definisi dan letak khaisyum dengan memadai. Karena itu terkesan ada asumsi bahwa nasofaring dan orofaring masih berada di batas khaisyum alias area luar (zahir), bukan di area dalam (jauf/bathin). Andai kata nasofaring dan orofaring belum dianggap area jauf, maka tidak ada satu pun benda yang bisa dianggap membatalkan puasa dengan melewati hidung sebab area terdalamnya saja masih dianggap luar. Namun kesimpulan semacam ini akan bertentangan dengan banyak teks dalam kitab-kitab fikih yang menyatakan bahwa area hidung juga dapat membatalkan puasa bila ada sesuatu yang masuk terlalu dalam melewati batas khaisyum. Selain itu, bila nasofaring dan apalagi orofaring masih dianggap khaisyum, maka artinya batas jauf hanyalah leher ke bawah, tidak ada jauf di area kepala dari jalur hidung. Sudah pasti ini tidak tepat.
Kesimpulannya, tes Swab dapat membatalkan puasa menurut mazhab Syafi’i yang dianut masyarakat Indonesia karena tongkat Swab masuk hingga ke area bagian dalam (jauf). Nasofaring dan apalagi orofaring merupakan daerah yang lebih dalam dari batas khaisyum yang tidak lain adalah nasal cavity atau dalam definisi yang lebih akurat adalah olfactory.
Apabila hendak mencari pendapat yang tidak membatalkan puasa untuk kasus tes Swab, maka seyogyanya MUI tidak mengutip ulama Syafi’iyah tetapi dapat berpindah ke mazhab Maliki yang menyatakan bahwa sesuatu yang masuk ke tenggorokan melalui mulut atau hidung, tetapi tidak sampai ke perut, hanya membatalkan puasa apabila ia berupa cairan, bukan benda padat. (lihat: al-Fiqh al-Islami Wa-Adillatuhu, vol. III, h. 1714; Fiqh al-Ibadat ‘ala mazhab al-Maliki, h. 310). Akan tetapi langkah ini saya rasa tidak diperlukan mengingat tidak ada kesulitan yang berarti untuk melakukan tes Swab di malam hari sehingga tidak mengganggu ibadah puasa dan sekaligus keluar dari ikhtilaf. Wallahu a’lam
Artikel ini ditulis oleh: KH. Abdul Wahab Ahmad
Dan juga telah diterbitkan di: guswahab.com