Hukum-Hukum yang Berkaitan Dengan Jenazah Kecelakaan

Daftar Isi

Hukum-Hukum yang Berkaitan Dengan Jenazah Kecelakaan
Sesuai judul di atas, kami ingin menjelaskan mengenai beberapa hukum yang berkaitan dengan jenazah yang disebabkan karena kecelakaan. Hal ini penting kami sampaikan sebab berkaitan dengan pengurusan jenazah yang tidak normal, atau pengurusan jenazah yang memang berpotensi membutuhkan penanganan khusus.

Seperti yang kita tahu, jenazah kecelakaan biasanya memiliki keadaan yang berbeda-beda. Ada yang cuma meninggal tanpa luka, ada yang luka-luka ringan, ada yang darahnya mengalir deras, bahkan ada juga yang sampai hancur.

Langsung saja ke pembahasan pertama, bagaimana cara menangani jenazah yang memiliki luka-luka robekan akibat kecelakaan atau akibat lainnya? Apakah perlu dijahit atau mungkin cukup didiamkan saja?

Ketika jenazah memiliki luka robekan akibat kecelakaan atau akibat yang lainnya, maka boleh hukumnya menjahitnya, bahkan menjadi wajib jika memang hal tersebut menjadi satu-satunya cara menyumbat keluarnya darah.



Di dalam kitab Hasyiyah Abi Dhiya’ dijelaskan:

Jika perut jenazah terbela dan banyak mengeluarkan darah, dan tidak mungkin untuk menghentikan aliran darah kecuali hanya dengan menjahit lubang yang terbuka, maka wajib menjahitnya. Seharunya diperbolehkan menjahitnya, andai ketika tidak dijahit, keluar usus jenazah. Karena keluarnya usus jenazah itu menghilangkan kehormatan jenazah.” (Hasyiyah Abi Dhiya’: 90)

Sebenarnya bagaimana status darah jenazah? Apakah wajib dibersihkan atau secukupnya saja? Lalu, bagaimana cara menangani jenazah yang salah satu anggota tubuhnya hancur sehingga mengeluarkan darah berlebihan?

Perlu kami tegaskan bahwa status darah yang keluar dari jenazah merupakan bentuk penghalang syarat sahnya salat jenazah. Artinya, apabila darah masih keluar, maka wajib hukumnya dihilangkan.

Sedangkan menurut Imam al-Bagawi, darah yang keluar setelah jenazah dikafani tidak wajib dihilangkan walaupun belum disalati.

Adapun dalilnya sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin:

Wajib menghilangkan najis yang tidak di-ma’fu (dimaafkan) dari jenazah, baik najis lain atau najis yang keluar dari jenazah, sebelum mengafaninya, meskipun najis bukan dari anus dan alat kelamin. Begitu juga setelah mengafani menurut qaul asah, seperti membasuh kafan yang berlumur najis. Tidak sah menyalati jenazah saat terdapat najis serta adanya air untuk menghilangkannya. Al-Bagawi berkata, ‘Tidak wajib menghilangkan najis setelah mengafani secara mutlak, meskipun kafannya berlumuran najis.(Bughyah al-Mustarsyidin: 152)

Saat potongan tubuh jenazah terpisah, bagaimana cara penanganannya? Apakah perlu disambung dulu atau mungkin langsung digabungkan ke tubuh aslinya?

Tidak perlu disambung, tetapi potongan tubuh tersebut harus dan wajib hukumnya dirawat layaknya jenazah utuh.

Di dalam kitab Al-Bayan dijelaskan:

Ketika ditemukan potongan tubuh jenazah, maka wajib dimandikan dan disalati. Baik yang ditemukan sebagian besar tubuh atau hanya sedikit. Hingga biala yang ditemukan hanyalah jari, setelah diketahui bahwa bagian tersebut adalah organ tubuh dari orang yang sudah meninggal.(Al-Bayan, Juz 3: 75)

Kalau kecelakaannya mendadak dan meninggal seketika itu juga, mana yang lebih baik, antara merawat dan menguburkannya secara langsung atau menunggu keluarga jauh ikut menyalatinya?

Secara garis besar, hukumnya diperbolehkan, bahkan sunah apabila menunggunya cuma sebentar dan tidak dikhawatirkan jenazah membusuk.

Dalam kitab Hasyiyah I’anah ath-Thalibin dijelaskan:

Tidak sunah menunda menyalati jenazah untuk memperbanyak jamaah. Kecuali menunggu walinya. Sebagian ulama berpendapat, ketika tidak dikhawatirkan jenazah membusuk, maka selayaknya menunggu seratus atau empat puluh orang yang diharapkan kedatangannya dalam waktu dekat. Dalam keterangannya, Ali Syibramulisi menyebutkan, ‘Adat yang berlaku saat ini orang-orang tidak akan menyalati jenazah setelah dimakamkan. Maka tidak jauh jika dikatakan sunah menunggu mereka. Karena terdapat kemaslahatan bagi jenazah sekira kuat dengan mereka tidak akan menyalati jenazah di kuburannya.(I’anah ath-Thalibin, Juz 2: 132)