Hukum Menikahi Wanita Hamil di Luar Nikah
Ditelusuri dari WHO, PSKK UGM, BKKBN, dan beberapa instansi kesehatan lain, peningkatan kehamilan di luar nikah sudah menyentuh 11% (meningkat) di tiap tahunnya.
Di tahun 2015 misalnya, terdapat 976 kasus hamil di luar nikah di salah satu daerah di Jawa Tengah. Di Jawa Timur, ada sekitar 400 kasus pertahunya.
Yang paling parahnya lagi, 58% dari mereka lebih memilih melakukan aborsi daripada melanjutkan kehamilannya.
Mungkin karena alasan malu, alasan kehormatan, alasan aib, dan alasan-alasan lain yang mereka anggap lebih berharga dibandingkan nyawa bayi manusia.
Menyinggung soal bayi, bagaimana sebenarnya pandangan Islam soal bayi yang dihasilkan dari hubungan di luar nikah?
Tentu ada pengaruhnya apabila dipandang dalam perspektif Islam. Pertama, mengenai warisan. Anak hasil zina tidak memiliki nasab ke ayah. Artinya, ia tidak mendapatkan hak waris atau menjadi ahli waris terhadap ayah.
Nasab anak akan dikaitkan dengan ibu kandungnya saja. Namun, ibu kandungnya masih berhak mendapatkan warisan atas suaminya. Artinya, yang tidak berhak hanyalah anaknya.
Kedudukan ini sama dengan anak li’an (anak yang tidak diakui ayahnya). Keduanya tidak memiliki hubungan nasab kepada ayah.
Kedua, mengenai kewalian. Anak hasil zina tidak memiliki wali nikah. Artinya, ketika ia menikah kelak, yang berhak menjadi wali adalah wali hakim.
Ketiga, mengenai pengakuan anak. Anak hasil zina tidak boleh diakui sebagai anak kandung, baik oleh ayah kandungnya (lewat hasil zina) atau ayah sambungnya.
Kembali ke persoalan awal, bagaimana hukum menikahi wanita yang sedang hamil di luar nikah?
Secara garis besar, hukumnya di perinci. Di dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin dijelaskan:
Pertama, hukum menikahi wanita hamil di luar nikah adalah boleh. Dan boleh pula disetubuhi ketika hal itu tidak membahayakan bayi dalam kandungan.
Kedua, hukumnya haram ketika pernikahan itu diniatkan semata-mata untuk menutupi aib. Kalau tujuan pernikahan hanya untuk menutupi aib wanita tersebut, maka berdosalah mereka yang terlibat, termasuk keluarga yang ikut campur menuntutnya.
Mengenai status anaknya, apakah anak itu layak disebut anak haram? Tentu saja tidak!
Anak hasil zina bukanlah anak yang sehina itu. Mereka juga berhak masuk surga apabila memang layak masuk surga. Namun kasta surganya tidak setinggi para Ambiya’ dan Auliya’.
Yang hina justru ibu yang berani membunuhnya. Haram mutlak dan dosa besar baginya. Orang-orang bodoh yang menganggap bahwa kehormatan diri lebih berharga dibandingkan nyawa seorang bayi.
Ada pepatah mengatakan, kalau seorang ibu sudah berani membunuh anaknya sendiri, apa alasan yang tersisa bagi kita untuk tidak membunuh satu sama lain? Tidak ada!
Sangat masuk akal. Mereka yang digugurkan hanyalah manusia lemah yang tidak memiliki otoritas untuk memilih orang tuanya. Mereka juga tidak memiliki kekuatan untuk melawan, namun satu hal yang pasti, setiap anak pasti sangat menyayangi ibunya. Wallahu A’lam