Polemik Aturan Pengeras Suara Masjid Oleh Menteri Agama

Daftar Isi

Abusyuja.com – Akhir-akhir ini, jagat media masa diramaikan dengan aturan baru yang dikeluarkan oleh Menteri Agama mengenai masalah aturan penggunaan pengeras suara.

Polemik Aturan Pengeras Suara Masjid Oleh Menteri Agama
Sumber gambar: detik.com

Meski bukan isu baru, kebijakan ini masih menjadi polemik sampai sekarang. Setidaknya ada beberapa aturan yang ditetapkan. Berikut ketentuannya:

Pertama, penggunaan pengeras suara luar hanya boleh digunakan untuk penanda azan waktu salat. Sedangkan pengeras suara dalam digunakan untuk doa. Penggunaan pengeras suara dianjurkan oleh mereka yang memiliki suara merdu dan fasih.

Kedua, penggunaan pengeras suara di waktu salat subuh. Penggunaan pengeras suara luar hanya boleh dilakukan paling awal 15 menit sebelum masuk waktu salat subuh. Pembacaan Qari’ hanya menggunakan pengeras suara luar. Azan boleh menggunakan pengeras suara luar, sedangkan waktu jamaah salat subuh atau kajian setelah salat subuh tidak boleh menggunakan pengeras suara luar, atau hanya diperbolehkan menggunakan pengeras suara dalam.

Ketiga, untuk waktu salah asar, magrib, dan isya, azan boleh menggunakan pengeras suara luar dan dalam. Sedangkan sesudah azan hanya boleh menggunakan pengeras suara dalam.

Keempat, untuk waktu salat zuhur dan Jumat, 5 menit menjelang zuhur dan 15 menit menjelang waktu Jumat boleh diisi dengan bacaan Al-Qur’an menggunakan pengeras suara luar. Sedangkan ketika salat, doa, pengumuman, dan khotbah, hanya diperbolehkan menggunakan pengeras suara dalam.

Keempat, takbiran hari raya boleh menggunakan pengeras suara keluar. Tarhim doa boleh menggunakan pengeras suara dalam sedangkan tarhim zikir tidak. Untuk tadarus hanya boleh menggunakan pengeras suara dalam.

Kelima, setiap pengajian atau tablig hanya diperbolehkan menggunakan pengeras suara dalam, kecuali pengunjung atau jamaahnya membludak hingga keluar.

Adapun dasar hukum dari kelima aturan ini adalah berdasarkan instruksi Direktur Jendral Bimbingan Islam Nomor KEP/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar dan Musala (Instruksi Dirjen Bimas 101/1978)

Banyak masyarakat yang menganggap bahwa kebijakan ini seolah-olah berupa larangan penggunaan sepiker, padahal kalau dicermati seksama, kebijakan ini bukanlah larangan, melainkan pengaturan.

Sebab masih banyak masjid-masjid atau musala yang menyetel murotal Qur’an setengah jam sebelum azan. Dan hal itu berpotensi mengganggu masyarakat yang tidak memiliki kewajiban salat subuh, seperti wanita-wanita yang berhalangan karena haid atau nifas, lansia-lansia, orang-orang sakit, para non muslim, dan masih banyak lagi.

Dari sinilah pemerintah membatasi penggunaan pengeras suara 10 menit sebelum azan. Akan tetapi, kebijakan seperti ini masih saja tidak merata.

Ada yang patuh, namun ada juga yang tidak menggubris. Seperti di kampung-kampung misalnya yang mayoritas beragama Islam, menurut Takmir warganya merasa tidak terganggu.

Pada dasarnya, aturan ini sudah berlaku sejak lama. Akan tetapi tidak seramai sekarang.

Ada beberapa pihak yang mengatakan, “Ini menteri NU kok melarang zikir dengan suara keras? Berarti mendukung Salaf Wahabi?" Tidak juga.

Apabila kita tinjau dari perspektif ilmu fikih, kata “mengganggu” dalam kebisingan suara keras sebenarnya sudah ada aturannya.

Imam Nawawi dalam kitabnya menjelaskan:

ﺟﺎءﺕ ﺁﺛﺎﺭ ﺑﻔﻀﻴﻠﺔ ﺭﻓﻊ اﻟﺼﻮﺕ ﺑﺎﻟﻘﺮاءﺓ، ﻭﺁﺛﺎﺭ ﺑﻔﻀﻴﻠﺔ اﻹﺳﺮاﺭ.

ﻗﺎﻝ اﻟﻌﻠﻤﺎء: ﻭاﻟﺠﻤﻊ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺃﻥ اﻹﺳﺮاﺭ ﺃﺑﻌﺪ ﻣﻦ اﻟﺮﻳﺎء، ﻓﻬﻮ ﺃﻓﻀﻞ ﻓﻲ ﺣﻖ ﻣﻦ ﻳﺨﺎﻑ ﺫﻟﻚ، ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﻳﺨﻒ اﻟﺮﻳﺎء، ﻓاﻟﺠﻬﺮ ﺃﻓﻀﻞ، ﺑﺸﺮﻁ ﺃﻥ ﻻ ﻳﺆﺫﻱ ﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﻣﺼﻞ، ﺃﻭ ﻧﺎﺋﻢ ﺃﻭ ﻏﻴﺮﻫﻤﺎ

Ada banyak sekali riwayat tentang keutamaan mengeraskan suara dan keutamaan melirihkan suara. Dua pendapat ini dapat disimpulkan:

Bacaan lirih atau pelan lebih terjaga dari sifat pamer. Hal ini tentu lebih baik bagi orang yang takut dikatakan pamer. Jika tidak khawatir pamer, maka lebih utama menggunakan suara keras. Dengan catatan, ia tidak mengganggu orang lain, baik orang yang sedang salat, orang tidur, dan lainnya. (Al-Adzkar: 108)

Kesimpulannya adalah, kita tidak boleh membuat narasi yang tidak sesuai dengan konteks substansial. Kebijakan ini haruslah disikapi dengan cerdas mengingat akhir-akhir ini banyak sekali tukang goreng-goreng dadakan. Mereka hobi sekali mendoktrin masyarakat dengan stigma kepada pemerintah. Wallahu A’lam