Definisi Nasionalisme dalam Perspektif Islam

Daftar Isi

Definisi Nasionalisme dalam Perspektif  Islam
Abusyuja.com – Nasionalisme memiliki akar kata “nasional” yang artinya “kebangsaan”.

Ernest Renan mengartikan bangsa sebagai suatu kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan atau kehendak untuk bersatu.

Sedangkan Otto Bauer mendefinisikan bangsa sebagai rasa persatuan yang lahir karena persamaan nasib.

Meski kedua tokoh di atas memiliki pandangan yang berbeda, namun keduanya tetap memiliki kesimpulan yang sama, yaitu suatu sikap untuk bersatu.

Sehingga, dari kedua pendapat ini, Presiden Soekarno menyimpulkan bahwa bangsa lahir karena adanya kesamaan nasib dan kemauan untuk bersatu.

Akan tetapi, kedua definisi ini agaknya masih belum cukup untuk menjadi syarat keberadaan suatu bangsa.

Diperlukan persamaan tempat atau tanah air. Dalam konteks Indonesia, berarti jajaran pulau-pulau serta daerah-daerah yang membentang dari Sabang sampai Merauke.

Dalam bahasa Arab, nasionalisme dikenal dengan istilah “muwatanah” yang berasal dari akar kata “watan” yang berarti tanah air.

Sementara istilah tanah ari menurut al-Jurjani diartikan sebagai “al-wata al-asli” yang berarti “tempat seseorang lahir dan tinggal”.

Bahkan, sekalipun warga naturalisasi, mereka tetap saja menjadi bagian dari warga negara yang sah, sehingga mereka juga diwajibkan menjaga dan mencintai negara yang ditinggali.

Dalam Islam,  nama “watan” ini termasuk istilah baru jika dibandingkan dengan syu’ub, qaum, atau ummat.

Adagium ini muncul pertama kali pada abad ke-19 pada saat dunia Islam kerap kali bertemu dengan dunia barang yang tengah menyebarkan paham nasionalisme.

Cinta tanah air merupakan prinsip dasar nasionalisme paling fundamental. Sebab, mustahil seseorang akan menjaga dan merawat negaranya tanpa didasari kecintaan terhadap tanah airnya.

Cinta tanah air adalah fitrah dan naluriah yang dimiliki manusia. Tidak mengenal perbedaan agama, suku, atau golongan tertentu.

Yusuf al-Qardawi dalam Al-Watan wa al-Muwaranah menjelaskan:

Rasa cinta dan rindu tanah air merupakan hal yang sangat manusiawi yang dirasakan oleh seluruh manusia, baik mukmin ataupun kafir, suku Arab atau ‘ajm (non Arab), kulit putih atau kulit hitam.”

Bahkan dalam kacamata sejarah Islam sendiri, naluri cinta tanah air dapat dilihat saat Nabi Muhammad SAW dipaksa untuk angkat kaki meninggalkan tanah kelahirannya, Mekah.

Juga saat melakukan eksodus (meninggalkan tempat asal) besar-besaran menuju Madinah karena diusir oleh kaum Quraisy Mekah.

Hal ini dapat dilihat dari sabda Nabi SAW berikut:

Demi Allah, engkau (Mekah) adalah negeri yang paling kucintai. Andai saja pendudukmu tidak mengusirku, niscaya aku tidak akan pergi meninggalkanmu.(HR. Turmudzi)

Ismail al-Haqiqi dalam bukunya Ruh al Bayan juga menceritakan, bahwa sewaktu Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, beliau banyak menyebutkan kata “al-watan” yang berarti tanah air.

Rasulullah SAW (dalam perjalanan hijrahnya menuju Madinah) banyak sekali menyebut kata ‘tanah air, tanah air,’ kemudian Allah SWT mewujudkan permohonannya (dengan kembali ke Mekah).

Setelah Nabi SAW tinggal di kota Madinah, beliau membentuk sebuah komunitas peradaban, yang ditandai dengan lahirnya naskah Piagam Madinah.

Bahkan, Nabi SAW sendiri mencintai kota Madinah seperti cintanya kepada tanah kelahirannya, Mekah.

Dan beliau menganggap bahwa Madinah adalah tanah air keduanya setelah mekah. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut:

Ketika Rasulullah SAW datang dari bepergian kemudian melihat dinding (batas) Madinah, beliau ikatkan tunggangannya. Dan di saat mengendarai tunggangan, beliau gerak-gerakkan, karena cintanya pada Madinah.(HR. Bukhari)

Beberapa hadis di atas inilah yang kemudian dianggap beberapa kalangan ulama sebagai dasar “dilegalkannya cinta tanah air”.

Bahkan, Ismail al-Haqiqi sampai menyebutkan bahwa cinta tanah air termasuk salah satu bagian dari keimanan (hubbul watan minal iman).

Hal ini didasarkan pada ayat berikut ini:

اِنَّ الَّذِيْ فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لَرَاۤدُّكَ اِلٰى مَعَادٍ ۗقُلْ رَّبِّيْٓ اَعْلَمُ مَنْ جَاۤءَ بِالْهُدٰى وَمَنْ هُوَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ.

Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan engkau (Nabi Muhammad untuk menyampaikan dan berpegang teguh pada) Al-Qur’an benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali.569) Katakanlah (Nabi Muhammad), “Tuhanku paling mengetahui siapa yang membawa petunjuk dan siapa yang berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Qasas: 85)

Yang dimaksud dengan tempat kembali adalah kota Makkah. Allah Swt. berjanji bahwa Nabi Muhammad saw. akan kembali ke Makkah sebagai orang yang menang. Peristiwa ini terjadi pada tahun kedelapan Hijriah, pada waktu Nabi saw. menaklukkan Makkah. Inilah salah satu mukjizat Nabi Muhammad SAW. (Tafsir Kemenag)

Menurutnya, ayat in merupakan dasar normatif diperbolehkannya cinta tanah air.

Bahkan ayat ini menjadi bukti konkret bahwa Al-Qur’an telah menyeru dan menginstruksikan untuk mencintai tanah air.

Nasionalisme adalah paham kebangsaan yang dijiwai dan terus melekat pada diri bangsa. Mereka memiliki kesadaran pada wilayah, budaya, cita-cita, dan tujuan yang sama, tanpa memandang perbedaan masyarakat secara primordial. Mereka juga memiliki hak dan kewajiban, serta kebebasan yang dilindungi oleh hukum dan undang-undang.

Ulama kontemporer, Dr. Wahbah Zuhaili, mengistilahkan nasionalisme sebagai ideologi politik untuk menciptakan tatanan negara baru, dengan batas teritorial tertentu.

Nasionalisme bukanlah paham keagamaan yang terkait oleh persamaan agama, iman, ataupun akidah.

Paham nasionalisme sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan (tawazun) bagi seluruh penduduk negara.

Setiap penduduk memiliki komitmen untuk saling menjaga dan merawat negaranya, dengan kesamaan hak (egaliter) dan kewajiban yang didasari dengan prinsip toleransi (tasamuh), tanpa melihat istilah mayoritas-minoritas dan notabene agama.

Mereka hidup bersama dan dilindungi oleh negara di bawah naungan payung undang-undang.

Sementara agama, suku, ras, dan budaya, bukalah sebagai parameter perbedaan.

Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa paham nasionalisme bukanlah paham keagamaan.

Paham ini juga tidak dimaksudnya untuk menggantikan sebuah agama.

Nasionalisme murni paham kebangsaan yang mengikat seluruh elemen bangsa untuk bersatu berdasarkan tanah air dan negara yang sama, cita-cita, semangat, dan tujuan yang sama, tapa tereduksi oleh perbedaan-perbedaan yang mendasar (primordial).

Itulah sedikit kajian tentang definisi nasionalisme dalam perspektif hukum Islam lengkap dengan dalilnya. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat. Wallahu A’lam

Sumber:

Al-Qur'an dan Tafsir Kemenag

Yudi Latif. 2015. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Cetakan Ke-5. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. h. 332.

Departemen Pendidikan Nasional. 2015. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa. Cetakan Ke-4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama . h. 954.

Al-Syarif Al-Jurjani. 1983. A-Ta'rifat. Beirut. Dar al-Kutub al-Ilmiyah. h. 327.

Said Aqil Siraj. 1997. Dinamika Kebangsaan dalam Bingkai Kerakyatan. h. 02.

Yusuf Al-Qardawi.t.t. Al-Watan wal al-Muwatanah.t.k.t.p.h.06.

Ismail Al-Haqiqi.t.t. Ruh al-Bayan. Jilid 6. Beirut. Dar al-Fikr. h. 441.

Ibnu Hajar al-Asqalani.1379 H. Fath al-Bari. Jilid 3. Beirut. Dar al-Ma'rifat. h. 621.

Binbayyah.net

Wahab Zuhaili. Asar al-Harbi. h. 724.

Sumber gambar: Pixaby