Piagam Madinah: Isi, Sejarah, dan Tujuannya

Daftar Isi

Piagam Madinah: Isi, Sejarah, dan Tujuannya
Abusyuja.com – Piagam Madinah (Sahifah Madinah) adalah perjanjian yang diprakarsai dan dicetuskan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam rangka merangkul semua komunitas masyarakat Madinah.

Piagam Madinah sendiri memuat serangkaian kesepakatan dan perjanjian bersama dalam membangun masyarakat yang madani secara adil dan beradab.

Piagam Madinah lahir setelah 13 tahun Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam menerima risalah kenabian pada sekitar tahun 622 Masehi piagam ini juga lahir sebelum perjanjian Westphalia (perjanjian yang mengakhiri 30 tahun di Kekaisaran Romawi Suci dan Perang 80 tahun antara Spanyol dan Republik Belanda) pada tahun 1856 Masehi dan 600 tahun sebelum Magna Charta (membatasi monarki Inggris sejak masa Raja John dari kekuasaan absolut).

Bagaimana yang tercatat dalam sejarah selain di diami oleh kelompok Islam seperti kaum Muhajirin dan Anshor, Madinah juga merupakan daerah yang dihuni oleh beberapa suku seperti Bani Aus dan Bani Khazraj Bani, Qainuqa’ dan Bani Quraizhah, dari bahkan saat itu juga dihuni oleh beragam masyarakat dengan latar keagamaan yang berbeda-beda, termasuk di antaranya yaitu Nasrani, Majusi, dan sisa-sisa kaum pagan Arab lainnya.

Secara praktis, kontrak sosial yang telah dirumuskan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bukan hanya berhasil mendamaikan dua suku besar antara Bani Aus dan Khazraj yang seringkali menimbulkan konflik.

Bahkan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam juga dapat merangkul kaum Nasrani, Yahudi, dan seluruh penduduk untuk bersama-sama dalam membangun, berjuang, serta melindungi negara Madinah dari serangan luar.

Lebih dari itu Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam juga telah berhasil mengganti sistem fanatisme pra-islam dengan gagasan modern yang dapat mengakomodasi kesatuan umat dalam satu ikatan nasional sebuah kebangsaan. Kenapa disebut modern? Karena pada saat itulah muncul keterbukaan dan partisipasi seluruh anggota masyarakat.

Mereka dengan senang hati menerima penilaian berdasarkan kemampuan meritokrasi, bukan berdasarkan pertimbangan kesukuan agama, keturunan, dan kekerabatan seperti yang dianut berabad-abad oleh bangsa Semit.

Keberadaan Piagam Madinah merupakan upaya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dalam mempersatukan kemajuan penduduk Madinah dan ikatan persaudaraan dalam bentuk deklarasi perjanjian.

Di sisi lain, Piagam ini juga memberikan nilai kesetaraan hak bagi seluruh masyarakat Madinah, menjamin keamanan, kenyamanan, dan kebebasan beribadah, bahkan tradisi mereka sekalipun.

Di Madinah sendiri, seluruh warga negara baik yang berasal dari komunitas muslim atau pun non muslim memiliki tanggung jawab yang sama. Mereka wajib melindungi, merawat, dan mempertahankan keberadaan negaranya.

Bahkan menurut Abu Zahrah, antara penduduk muslim dan non muslim tidak ada sekat dan aturan yang berbeda. Semua mendapatkan hak dan kewajiban yang sama, sebab perjanjian ini menjadi pengikat seluruh aturan normatif antara komunitas muslim dan non muslim. Mereka terlebur sebagai warga negara seutuhnya. Dengan demikian, seluruh Penduduk Madinah baik yang beragama Islam ataupun tidak wajib tunduk atas aturan dan undang-undang yang berlaku.

Karena beberapa alasan inilah Abu Zahrah tidak berani memberikan status sebagai kafir zimi secara sempurna kepada penduduk muslim Madinah. Sebab mereka sudah terikat kontrak dengan penduduk muslim dan menjadi bagian dari warga negara yang sama tanpa aturan-aturan layaknya kafir zimi.

Di samping itu juga, status non muslim tergolong zimi hanya relevan dalam konteks negara Islam. Mereka diwajibkan membayar jizyah kepada umat Islam sebagai upah kewajiban bela negara atau wajib militer.

Masyarakat modern saat ini lebih memilih hidup berdampingan dan damai antara komunitas muslim dan  non muslim daripada memperhatikan istilah-istilah sosial yang masih problematis atau  masih memiliki khilafiah.

Mereka menempati strata identitas kewarganegaraan yang sejajar dalam ikatan nasionalisme untuk membela, menjaga, dan merawat negaranya.

Meski Madinah saat itu diduduki oleh mayoritas umat Islam dari kelompok Anshor dan Muhajirin, namun sama sekali tidak ada penyebutan pendirian Negara Islam atau pemberian “prioritas lebih” bagi orang-orang Islam.

Mereka sepakat menjadikan “Ummah Wahidah”  dengan visi menjunjung persamaan, keadilan, pelestarian adat yang baik, kebebasan beragama, serta pembelaan terhadap tanah air.

Bahkan Nabi sewaktu wafat pun tidak pernah berwasiat untuk berdirinya negara Islam. Dari penjelasan di atas tidak heran jika kemudian piagam ini disebut sebagai Piagam kebangsaan pertama kali yang menjadi cikal bakal.

Ini juga yang memotivasi bangsa modern menciptakan tatanan negara-negara yang harmonis dan humanis berdasarkan semangat kebangsaan dan tekad untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama meskipun dengan latar belakang agama, ras, etnik maupun golongan yang berbeda.

Seperti yang tercantum dalam salah satu butir perjanjian, “Bahwasanya mereka (selain Islam) adalah satu umat, bukan dari golongan yang lain. Dan sesungguhnya umat non muslim (kaum Yahudi, Bani Auf, dan lain-lain) satu umat beserta orang-orang Mukmin.

Piagam Madinah adalah kompromi paling ideal dalam menyatukan seluruh entitas masyarakat. Dengan demikian, agaknya tidak berlebihan jika dalam konteks negara modern Madinah saat itu disebut sebagai negara yang berusaha menjamin keberlangsungan hidup antar sesama warga negara dengan mengedepankan tujuan dan ide besar yang sama.

PIAGAM MADINAH

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, ini adalah piagam dari Muhammad Rasulullah SAW, untuk kalangan mukminin dan muslimin yang berasal dari Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri, dan berjuang bersama mereka.

Pasal 1

Sesungguhnya mereka satu umat, berbeda dari komunitas manusia lain.

Pasal 2

Kaum muhajirin dari Quraisy sesuai keadaan kebiasaan mereka bahu membahu membayar uang tebusan darah di antara mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 3

Bani Auf sesuai dengan keadaan kebiasaan mereka bahu membahu membayar uang tebusan darah di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 4

Bani Sa ’idah sesuai dengan keadaan kebiasaan mereka bahu membahu membayar uang tebusan darah di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 5

Bani Al Hars sesuai dengan keadaan kebiasaan mereka bahu membahu membayar uang tebusan darah di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 6

Bani Jusyam sesuai dengan keadaan kebiasaan mereka bahu membahu membayar uang tebusan darah di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 7

Bani An Najjar sesuai dengan keadaan kebiasaan mereka bahu membahu membayar uang tebusan darah di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 8

Bani ‘Amr bin ‘Auf sesuai dengan keadaan kebiasaan mereka bahu membahu membayar uang tebusan darah di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 9

Bani Al Nabit sesuai dengan keadaan kebiasaan mereka bahu membahu membayar uang tebusan darah di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 10

Bani Al ‘Aus sesuai dengan keadaan kebiasaan mereka bahu membahu membayar uang tebusan darah di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 11

Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan orang yang berat menanggung utang di antara mereka, tetapi membantunya dengan baik dalam pembayaran tebusan atau uang tebusan darah.

Pasal 12

Seorang mukmin tidak diperbolehkan membuat persekutuan dengan sekutu mukmin lainnya tanpa persetujuan dari padanya.

Pasal 13

Orang-orang mukmin yang bertakwa harus menentang orang di antara mereka yang mencari atau menuntut sesuatu secara zalim, jahat, melakukan permusuhan atau kerusakan di kalangan mukminin. Kekuatan mereka bersatu dalam menentangnya, sekalipun ia anak dari salah seorang di antara mereka. Pasal 14 Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran membunuh orang kafir. Tidak boleh pula orang beriman membantu orang kafir untuk membunuh orang beriman.

Pasal 15

Jaminan Allah satu. Jaminan perlindungan diberikan oleh mereka yang dekat. Sesungguhnya mukminin itu saling membantu, tidak bergantung kepada golongan lain. 

Pasal 16

Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang mukminin tidak terzalimi dan ditentang olehnya.

Pasal 17

Perdamaian mukminin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh membuat perdamaian tanpa ikut serta mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Allah, kecuali atas dasar kesamaan dan keadilan di antara mereka.

Pasal 18

Setiap pasukan yang berperang bersama harus bahu-membahu satu sama lain.

Pasal 19

Orang-orang mukmin membalas pembunuh mukmin lainnya dalam peperangan di jalan Allah. Orang-orang beriman dan bertakwa berada pada petunjuk yang terbaik dan lurus.

Pasal 20

Orang musyrik Yatsrib (Madinah) dilarang melindungi harta dan jiwa orang musyrik Quraisy, dan tidak boleh bercampur tangan melawan orang beriman.

Pasal 21

Barang siapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum bunuh, kecuali wali terbunuh rela menerima uang tebusan darah. Segenap orang beriman harus bersatu dalam menghukumnya.

Pasal 22

Tidak dibenarkan orang mukmin yang mengakui piagam ini, percaya pada Allah dan Hari Akhir, untuk membantu pembunuh dan memberi tempat kediaman kepadanya. Siapa yang memberi bantuan dan menyediakan tempat tinggal bagi pelanggar itu, akan mendapat kutukan dari Allah pada hari kiamat, dan tidak diterima dari padanya penyesalan dan tebusan.

Pasal 23

Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut ketentuan Allah Azza Wa Jalla dan keputusan Muhammad SAW.

Pasal 24

Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.

Pasal 25

Kaum Yahudi dari Bani ‘Auf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga kebebasan ini berlaku bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga.

Pasal 26

Kaum Yahudi Bani Najjar diperlakukan sama seperti Yahudi Bani ‘Auf.

Pasal 27

Kaum Yahudi Bani Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Bani ‘Auf.

Pasal 28

Kaum Yahudi Bani Sa’idah diperlakukan sama seperti Yahudi Bani ‘Auf.

Pasal 29

Kaum Yahudi Bani Jusyam diperlakukan sama seperti Yahudi Bani ‘Auf.

Pasal 30

Kaum Yahudi Bani Al ‘Aus diperlakukan sama seperti Yahudi Bani ‘Auf.

Pasal 31

Kaum Yahudi Bani Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Bani ‘Auf.

Pasal 32

Kaum Yahudi Bani Jafnah dari Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Bani ‘Auf.

Pasal 33

Kaum Yahudi Bani Syutaibah diperlakukan sama seperti Yahudi Bani ‘Auf.

Pasal 34

Sekutu-sekutu Sa’labah diperlakukan sama seperti mereka (Bani Sa’labah).

Pasal 35

Kerabat Yahudi di luar kota Madinah sama seperti mereka (Yahudi).

Pasal 36

Tidak seorang pun dibenarkan untuk berperang, kecuali seizin Nabi Muhammad SAW. Ia tidak boleh dihalangi untuk menuntut pembalasan luka yang dibuat orang lain. Siapa berbuat jahat (membunuh), maka balasan kejahatan itu akan menimpa diri dan keluarganya, kecuali ia teraniaya. Sesungguhnya Allah sangat membenarkan ketentuan ini.

Pasal 37

Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya dan bagi kaum muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan Muslimin) bantu-membantu dalam menghadapi musuh piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasehat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat kesalahan sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya.

Pasal 38

Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.

Pasal 39

Sesungguhnya Yatsrib (Madinah) itu tanahnya haram (suci) bagi warga piagam ini.

Pasal 40

Orang yang mendapat jaminan diperlakukan seperti diri penjamin, sepanjang tidak bertindak merugikan dan tidak khianat.

Pasal 41

Tidak boleh jaminan diberikan kecuali seizin ahlinya.

Pasal 42

Bila terjadi suatu peristiwa atau perselisihan di antara pendukung piagam ini, yang di khawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut ketentuan Allah Azza Wa Jalla, dan keputusan Muhammad SAW. Sesungguhnya Allah paling memelihara dan memandang baik isi piagam ini.

Pasal 43

Sungguh tidak ada perlindungan bagi Quraisy Mekkah dan juga bagi pendukung mereka. Pasal 44 Mereka pendukung piagam ini bahu membahu dalam menghadapi penyerang kota Yatsrib (Madinah).

Pasal 45

Apabila pendukung piagam diajak berdamai dan pihak lawan memenuhi perdamaian serta melaksanakan perdamaian itu, maka perdamaian itu harus dipatuhi. Jika mereka diajak berdamai seperti itu, kaum mukminin wajib memenuhi ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang menyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan kewajiban masing-masing sesuai tugasnya.

Pasal 46

Kaum Yahudi Al ‘Aus, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan (pengkhianatan). Setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah paling membenarkan dan memandang baik isi piagam ini.

Pasal 47

Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar bepergian aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. Dan Muhammad SAW adalah Utusan Allah.