Apa Relasi Agama dan Negara?

Daftar Isi

Relasi atau Hubungan Agama dan Negara
Abusyuja.com -  Agama dan negara adalah dua komponen yang berbeda, namun keduanya tidak bisa dipisahkan ibarat dua sisi mata uang.

Negara membutuhkan agama untuk membangun moral, etika, dan nilai-nilai peradaban bangsa dan negara.

Sedangkan agama juga membutuhkan negara sebagai payung bagi setiap warna negara untuk memeluk agamanya masing-masing. 

Imam Ghazali dalam hal ini mengilustrasikan hubungan agama dan negara ibarat saudara kembar. Beliau berkata:

"Negara dan agama adalah saudara kembar. Agama adalah dasar, sedangkan negara adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh, dan dasar tanpa penjaga akan hilang." (Ihya’ Ulumudin, Juz 1: 13)

Menurut Imam Ghazali, relasi agama dan negara bersifat simbiosis mutualisme, saling membutuhkan satu sama lain. Agama dijadikan dasar, sedangkan negara dijadikan penjaganya.

Apakah agama menyatu dengan negara?

Meskipun demikian, penjelasan ini bukan bermaksud untuk menggabungkan antara agama dan negara. Artinya, negara tidak berupaya menjadi salah satu agama sebagai agama dan hukum resmi negara. Tetapi agama memiliki peran mengatur etika dan moral masyarakat agar memiliki keberadaan yang tinggi (Tanbih al-Maraji’: 101)

Dengan begitu, negara akan kekal jika diimbangi agama, sedangkan agama akan kuat dengan jaminan dari negara.

Imam Mawardi dalam kitabnya pernah berkata:

"Kekuasaan dengan disertai agama akan kekal, dan agama yang disertai dengan kekuasaan akan kuat." (Adab al-Dunya wa al-Din: 137)

Sesuai dengan konstitusi, di dalam hidup berbangsa dan bernegara semua warga negara memiliki hak yang sama. entah dari tokoh agama, politikus, militer, atau bahkan dari golongan nasionalis sekali pun.

Mereka berhak memiliki kesempatan untuk mencalonkan diri menjadi kepala negara. Sedangkan hukum mengangkat atau memilihnya, disesuaikan dengan ideologi masing-masing pemilih dengan berbagai pertimbangan, termasuk agama.

Paradigma Integralistik

Dalam versi lain, hubungan agam dan negara bersifat integralistik. Artinya, agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Negara dipercaya sebagai lembaga politik sekaligus lembaga agama yang dibangun berdasarkan tuntunan Ilahi.

Seorang pemimpin dianggap sebagai wakil Tuhan di muak bumi. Aturan-aturan yang dibuat tentu akan berdasarkan perintah agama yang mendapat tuntunan langsung dari Tuhan. Paradigma ini dikela dengan istilah teokrasi. (Tanbih al-Maraji’: 100)

Negara seperti ini pernah terjadi pada masa kerajaan Firaun. Ia menganggap bahwa dirinya sebagai Tuhan di satu sisi, juga sebagai pemimpin negara di sisi lain.

Demikian juga pada sekte Syiah yang menganggap isu kepemimpinan merupakan bagian dari rukun iman.

Bahkan menurut mereka, hak kepemimpinan hanya dapat diberikan kepada salah satu keturunan sahabat Ali bin Abi Thalib yang dianggap mewarisi sifat maksum (terjaga) seorang Nabi.

Hampir serupa dengan paradigma integralistik, yakni negara yang dibangun berdasarkan aturan agama dan dipimpin oleh seorang tokoh agama. Namun seorang pemimpin tidak dianggap dirinya mendapatkan mandat dari Tuhan, juga bukan wakil dari Tuhan. Tetapi seluruh aturan yang dibuat berasal dari petunjuk agama.

Yang terakhir, hubungan agama dan negara bersifat sekuler. Artinya, negara tidak melibatkan agama ke dalam ranah politik. Negara hanya memberikan kebebasan kepada seluruh masyarakatnya untuk memilih dan memeluk agama yang dianutnya.

Tidak ada aturan keagamaan dalam undang-undang. Meski demikian, bukan berarti negara dianggap antipati terhadap agama. negara dalam paradigma sekuler ini menepatkan posisinya sebagai pihak yang netral agama.

Artinya, seluruh masyarakat memiliki porsi yang sama dalam ruang privat maupun publik, tanpa ragu oleh perbedaan keyakinan.

Kesimpulan

Kesimpulannya, Islam tidak memberikan persyaratan khusus mengenai isu relasi agama dan negara.

Hubungan ini selalu berubah sesuai keadaan, kondisi, dan ijtihad masing-masing daerah.

Terbukti dalam beberapa paradigma di atas, masing-masing memiliki pola hubungan yang berbeda-beda. Baik itu simbiotik, integralistik, atau pun sekuler, semuanya memiliki tujuan yang sama, yaitu menjadikan masyarakat maju dan beradab tinggi.

Menurut Abdullah bin Bayan, hal yang terpenting adalah negara dapat menjamin keadilan dan memberi ruang umat beragama untuk hidup dengan aman, nyaman, dan damai.

Begitu juga sebaliknya, agama mesti dapat menata mental, moral, dan akhlak masyarakat, sekalipun berada pada negara komunis.

Fakta demikian terjadi di negara China yang masyhur dengan paham komunisnya. Meski negara komunis, pemerintah sama sekali tidak ikut campur dan melakukan intervensi terkait ajaran agama masing-masing penduduk. Tetapi, hak beragam setiap warga negara dilindungi oleh negara.

Demikianlah pembahasan singkat mengenai makalah relasi atau hubungan agama dan negara. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat. Wallahu A’lam

Sumber:

Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumudin.

Abdullah bin Mahfuz bin Bayyah, Tanbih al-Maraji’.

Abu Hasan al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din.