Hukum Mempelajari Ilmu Kedokteran dalam Islam
Nabi Muhammad Saw. tidak pernah melarang umatnya mempelajari ilmu kedokteran. Justru Nabi Saw. menganjurkannya. Hal ini karena Islam tidak pernah melarang pemeluknya untuk memperluas khazanah keilmuannya. Mereka dianjurkan memperkaya wawasan walaupun harus ke negeri “Cina”, sebagaimana tergambar dalam sebuah hadis Nabi Saw. berikut:
“Carilah ilmu walau sampai ke negeri cina, sesungguhnya mencari ilmu wajib bagi setiap muslim.” (Al-Hadis)
Mempelajari ilmu syariat memang sebuah kewajiban. Namun mempelajari ilmu non syariat ada juga yang diwajibkan secara kolektif, seperti Ilmu Waris, Ilmu Matematika, dan Ilmu Kedokteran misalnya. Hal ini menunjukkan betapa agung dan mulianya derajat orang-orang yang memperluas keilmuannya.
Allah menciptakan penyakit, maka Allah pula yang menciptakan obatnya. Nabi pun pernah menyinggung akan pentingnya berobat. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut:
"Berobatnya wahai hamba Alah! Karena Allah tidak pernah menurunkan penyakit kecuali menurunkan pula obatnya, selain penyakit pikun." (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i)
Hadis di atas secara eksplisit menyinggung soal perintah mempelajari ilmu kedokteran. Apalagi Allah juga dengan tegas memerintahkan makhluknya untuk menjaga kelangsungan hidupnya dengan tidak melakukan hal-hal yang membahayakan nyawanya (salah satunya menyinggung persoalan keharaman bunuh diri).
وَاَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ.
"Dan Infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tanganmu sendiri, dan berbuat baiklah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik."(QS. Al-Baqarah: 195)
Hukum Mempelajari Ilmu Kedokteran
Dengan menimbang banyaknya manfaat dari ilmu kedokteran, Imam Ghazali mengategorikan ilmu ini ke dalam ranah fardu kifayah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ihya’ Ulumudin Juz 1 halaman 16.
Artinya, hukum mempelajari ilmu kedokteran adalah fardu kifayah (kewajiban kolektif). Dalam satu daerah harus ada satu orang yang menguasai ilmu ini. Bila tidak ada sama sekali, maka seluruh masyarakat (tanpa terkecuali) akan berdosa.
Masih dalam redaksi yang sama, Imam Ghazali dengan tegas menjelaskan bahwa ilmu kedokteran memang harus dipelajari dan dilestarikan.
"Ilmu yang bukan termasuk ilmu syariat (non syariat), adakalanya ilmu yang terpuji ada kalanya tidak. Ada yang sekedar boleh, dan ada pula yang sebaiknya tidak dipelajari (baca: makruh), ilmu yang dikategorikan terpuji adalah ilmu yang berhubungan erat dengan kemaslahatan dunia. Seperti Ilmu kedokteran dan ilmu hitung (matematika)." (Ihya’ Ulumudin, Juz 1: 22)
Pada konteks ini, Ilam Ghazali menarik satu benang merah bahwa ilmu yang bersifat fardu kifayah tidak hanya ilmu kedokteran saja, namun juga ilmu-ilmu lain yang dapat memberikan dampak secara langsung dalam kehidupan manusia. Sedangkan ilmu kedokteran hanyalah salah satu contoh kecil dari sekian banyaknya cabang keilmuan di muka bumi.
Ilmu yang bersifat fardu kifayah ini adalah ilmu-ilmu yang sangat dibutuhkan. Sebagai upaya berdirinya sendi-sendiri kehidupan dunia. Seperti ilmu pertanian untuk keberlangsungan ketahanan hidup, ilmu matematika untuk keberlangsungan perekonomian, dan ilmu kedokteran untuk keberlangsungan kesehatan jasmani.
Beliau juga memberikan semacam analogi sederhana. Jika tidak ada satu orang pun yang mau mempelajari ilmu-ilmu fardu kifayah, niscaya seluruh negeri akan merasakan dampak negatif yang begitu dahsyat.
Hikmahnya adalah, Islam sangat memperhatikan setiap nadi dan gerak dalam kehidupan. Islam juga tidak hanya mengikat pemeluknya dengan ibadah vertikal saja, tetapi Islam juga hadir untuk memperhatikan setiap lekuk tatanan hambanya.
Rumusan fardu kifayah pada dasarnya tidak bersifat final dan paten. Hukum ini merupakan hukum asal yang mana dalam beberapa keadaan tertentu bisa saja berubah-ubah. Misal, ilmu ini bisa dihukumi fardu ‘ain apabila tidak ada seorang pun selain diri kita sendiri yang mau dan mampu mempelajari ilmu ini, sebagaimana pendapat ulama kontemporer, Abd al-Karim Ziydan dalam kitabnya, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh. Bisa juga dihukumi haram apabila menyangkut unsur-unsur yang tidak dibenarkan dalam Islam, atau tidak sejalan dengan hukum syariat. Wallahu A’lam