Hukum Profesi Dokter dalam Perspektif Islam

Daftar Isi

Hukum Profesi Dokter dalam Perspektif Islam
Abusyuja.com – Menjadi dokter merupakan profesi yang mulia. Dalam pekerjaannya, semua manfaat yang dilakukan oleh dokter akan kembali kepada orang lain. Sebagaimana yang tercermin dalam dawuh Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir,

Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia.” (Jami’ as-Saghir, halaman 246, hadis No. 4044)

Pada kenyataannya, kesehatan badan dianggap sebagai segalanya. Ketika manusia sakit, maka hilanglah apa yang mereka harapkan.

Memandang kenyataan tersebut, kehadiran seorang dokter adalah yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Imam Ghazali sendiri merumuskan bahwa profesi dokter hukumnya fardu kifayah, yakni kapasitas wajib yang dibebankan kepada masyarakat.

Ungkapan Imam Ghazali ini tidaklah berlebihan, mengingat kebutuhan kesehatan adalah kebutuhan primer, bukan sekunder. Bahkan beliau pernah berkata,

Andaikan seluruh negara tidak ada yang mahir dalam kedokteran, niscaya satu negara akan musnah.

Berawal dari perkataan inilah beliau selalu menegaskan bahwa keberadaan satu profesi ini harus terus berjalan dan berkembang.

Mengingat begitu urgennya profesi kedokteran, ada satu pandangan menarik dari cendekiawan muslim pada saat acara konferensi internasional ulama fikih yang diselenggarakan di Kuwait.

Dalam forum tersebut dijelaskan bahwa, suatu negara perlu untuk mengimpor ahli kedokteran yang belum dimiliki oleh negaranya. Berikut kutipan terjemah dari konferensi tersebut,

Adanya praktik kedokteran adalah perintah agama kepada masyarakat dengan hukum fardu kifayah, yang bisa dipenuhi atas nama masyarakat oleh sebagian warga yang mengambil pengobatan. Ini merupakan kewajiban negara untuk menjamin kebutuhan nasional akan para dokter spesialis. Dalam Islam, ini merupakan suatu kewajiban pemerintah terhadap negaranya. Kebutuhan mungkin timbul untuk mengimpor keahlian kedokteran yang belum ada dalam negeri. Ini juga menjadi tugas negara untuk memenuhi kewajiban tersebut. Termasuk juga tugas negara adalah melakukan kaderisasi sesuai dari generasi muda untuk dilatih menjadi dokter.”

Kebenaran niat bagi seorang dokter juga merupakan fondasi yang penting dalam menjalani profesi. Dimulai sejak dalam pembelajaran masa kurikulum sekolah kedokteran yang menekankan sebuah prinsip, pengobatan dinilai ibadah, baik dalam pendekatan keimanan melalui perenungan, tanda-tanda kekuasaan Tuhan, ataupun aspek terapan dengan menolong sesama manusia ketika dalam kesulitan.

Artinya, segala aktivitas yang dilakukan semata-mata merupakan manifestasi pengabdian diri kepada Allah SWT. Bahkan dengan niat baik, kegiatan yang bersifat dunia sekalipun, akan menjadi amal baik di akhirat, berpahala di sisi Allah, dan kelak bisa dirasakan manfaatnya di akhirat.

Fondasi tersebut akan semakin kuat apabila disokong dengan pengetahuan kedokteran yang dilandasi dengan hukum-hukum fikih yang dibenarkan dalam syariat Islam.

Khususnya dalam kasus yang melibatkan keadaan darurat atau mendesak, seperti pengetahuan hukum bersuci ketika sedang sakit, hukum kewajiban salat meski sakit, rukhsah orang sakit, dan masih banyak lagi.

Masih banyak kita temukan orang-orang sakit yang merasa dirinya tidak perlu salat karena halangan penyakitnya. Di sinilah peran dokter diperlukan. Seorang dokter juga memiliki tanggung jawab untuk memberi arahan kepada pasien-pasiennya. Jangan sampai dokter merasa “masa bodoh” dengan persoalan ubudiah pasiennya.

Kesimpulannya, profesi dokter adalah pekerjaan yang mulia. Dalam perspektif Islam, hukum profesi ini adalah fardu kifayah. Tetapi ada pengecualian, yaitu profesi dokter yang dihukumi haram karena menyeret tugas-tugas lain yang tidak dibenarkan dalam Islam, seperti memanipulasi bukti ilmiah ketika ia diberi hak untuk menjadi saksi di sebuah pengadilan, praktik operasi plastik, jual-beli organ ilegal, dan masih banyak lagi. Wallahu A’lam

Sumber:

Abdurrahman bin Abi Bakr al-Syuyuti, Jami’ al-Shagir.

Imam Ghazali, Ihya’ Ulumuddin.

Abu al-‘Ala Muhammad al-Misri, Muntaliqah Talib al-Ilmi.