Cara Menentukan Hilal Ramadan dan Syawal Menurut 4 Mazhab

Daftar Isi

Cara Menentukan Hilal Ramadan dan Syawal Menurut 4 Mazhab Lengkap
Abusyuja.com – Singkatnya, hilal merupakan bulan sabit, sebuah bentuk bulan yang sifatnya menentukan tanggal satu pada setiap bulan Qomariah. Pendapat para ulama fikih tentang cara memastikan kemunculan hilal Ramadan dan Syawal ini dapat ditandai dengan tiga kemungkinan, yaitu dengan terlihatnya hilal oleh khalayak ramai, terlihat oleh dua orang Muslim yang adil (berperangai baik), dan satu laki-laki yang adil.

Sesuai judul di atas, berikut adalah cara menentukan hilal Ramadan dan Syawal menurut 4 mazhab:

1. Mazhab Imam Hanafi

Ketika langit cerah, untuk menetapkan tibanya bulan Ramadan dan hari raya Idulfitri (Syawal), hilal harus terlihat oleh khalayak ramai. "Khalayak ramai" adalah sejumlah orang yang dapat memberi informasi secara pasti (atau hampir pasti).

Pengukuran jumlah mereka diserahkan kepada pemerintah yang diberi wewenang (menurut pendapat yang paling sahih). Syarat terlihatnya hilal oleh khalayak ramai adalah karena mathla’  hanya satu di kawasan tersebut, sementara tidak ada penghalang (mendung misalnya), mata semua orang yang melakukan pengamatan dinilai sehat, dan mereka semua memiliki niat pasti untuk melihat hilal.

Dalam kondisi seperti di atas, jika hanya satu orang saja di antara khalayak ramai tersebut yang melihat hilal, ini jelas menunjukkan kekeliruan penglihatannya. Pada waktu menyampaikan kesaksian, masing-masing dari khalayak ini wajib hukumnya mengikrarkan, “Aku bersaksi”.

Apabila langit tidak cerah karena mendung atau badai debu misalnya, maka terlihatnya hilal cukup dipastikan dengan kesaksian seorang Muslim yang adil (berbudi luhur), memiliki akal sehat, dan sudah balig.

Maksud dari “orang yang adil” di sini adalah orang yang kebaikannya lebih banyak dari pada keburukannya, atau kesaksian seorang Muslim yang tidak diketahui budi pekertinya (menurut pendapat yang sahih), baik laki-laki maupun perempuan, merdeka atau hamba sahaya, sebab, ini merupakan persoalan keagamaan, sehingga ia mirip dengan periwayatan hadis.

Dalam kondisi ini tidak disyaratkan mengucapkan “Aku bersaksi”. Di beberapa titik kota, kesaksian melihat hilal ini diikrarkan di hadapan hakim. Sedangkan di beberapa titik desa, ikrar diutarakan di tengah-tengah masyarakat, atau diumumkan di masjid.

Dalam masalah ini, seseorang boleh memberi kesaksian berdasarkan kesaksian orang lain. Artinya, dia boleh memberi kesaksian di depan hakim berdasarkan kesaksian seseorang yang menyatakan telah melihat hilal. Barang siapa telah melihat hilal sendirian, dia harus berpuasa meskipun penguasa tidak menerima kesaksiannya. Seandainya ia tidak berpuasa, maka wajib baginya melaksanakan qada, tetapi tidak wajib membayar kafarat.

Menurut mazhab Hanafi, informasi yang diperoleh oleh para pakar hisab dan astrologi tidak boleh dipegang, sebab ia bertentangan dengan syariat Nabi SAW. Alasannya, meskipun hasil perhitungan hisab itu benar, kita hanya diperintahkan oleh syariat untuk berpuasa hanya berdasarkan ru’yah [penglihatan) hilal dengan cara biasa.

2. Mazhab Imam Maliki

Menurut mazhab Maliki, hilal Ramdan dapat dipastikan kemunculannya melalui ru’yah (melihat) dengan tiga cara berikut:

Pertama, hilal terlihat oleh khalayak ramai, meskipun mereka tidak berbudi luhur. Khalayak ramai menurut Maliki adalah sejumlah orang yang menurut kebiasaan tidak mungkin melakukan persekongkolan untuk berdusta. Mereka tidak disyaratkan harus laki-laki, merdeka, atau berbudi luhur.

Kedua, hilal terlihat oleh dua orang atau lebih yang berbudi luhur. Kesaksian mereka memastikan tibanya hari puasa dan hari raya Idulfitri, baik pada waktu mendung maupun cuaca cerah. Maksud dari “Orang yang berbudi luhur” adalah laki-laki merdeka, balig, dan berakal sehat, yang tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak terus-menerus melakukan dosa kecil, serta tidak melakukan perkara yang mengurangi kewibawaan.

Dengan demikian, tidak wajib puasa pada waktu cuaca mendung jika yang melihat hilal hanya satu orang laki-laki yang berbudi luhur, atau satu wanita, atau dua wanita (menurut pendapat yang masyhur); tapi orang yang melihat hilal itu sendirilah yang dibebankan untuk berpuasa.

Boleh memberi kesaksian berdasarkan kesaksian dua pria berbudi luhur, apabila berita kedua pria tersebut dinukil oleh dua orang dari masing-masing mereka; tidak cukup jika yang menukil hanya satu orang. Dalam pernyataan yang disampaikan oleh dua pria berbudi luhur atau oleh orang yang menukil pernyataan mereka, tidak wajib baginya melakukan ikrar, “Aku bersaksi”.

Ketiga, hilal terlihat dilihat oleh satu orang yang berbudi luhur. Apabila demikian, maka hari puasa dan Idulfitri sudah pasti bagi orang yang melihat tersebut. Begitu juga bagi orang yang diberitahunya yang tidak berkepentingan dengan penglihatan hilal.

Sedangkan bagi orang yang berkepentingan dengan urusan penglihatan hilal, maka dia tidak diwajibkan berpuasa berdasarkan informasi terlihatnya hilal oleh satu orang ini. Begitu pula dia tidak boleh menghentikan puasa (baca: berhari raya Idulfitri) berdasarkan informasi tersebut.

Dengan demikian, pemerintah tidak boleh menetapkan kemunculan hilal berdasarkan penglihatan satu orang saja yang berbudi luhur. Orang ini tidak disyaratkan harus laki-laki dan tidak pula harus merdeka. Adapun jika orang yang melihat hilal tersebut adalah pemerintah yang diberi wewenang itu sendiri, maka wajib berpuasa dan berhari raya Idulfitri (bagi semua orang).

Satu atau dua orang yang berbudi luhur berkewajiban melapor kepada pemerintah atau penguasa bahwa dia atau mereka telah melihat hilal agar secepat mungkin dapat dilaksanakan acara penyampaian kesaksian. Sebab, mungkin saja pihak penguasa termasuk pihak yang berpendapat bahwa kemunculan hilal bisa dipastikan berdasarkan kesaksian satu orang yang berbudi luhur.

Menurut mazhab Maliki, hilal Syawal dapat dipastikan kemunculannya jika telah terlihat oleh khalayak ramai yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta dan informasi mereka memberikan pengetahuan yang pasti; atau jika telah terlihat oleh dua orang yang berbudi luhur sebagaimana halnya dalam pemastian kemunculan hilal Ramadan.

Satu hal lagi yang penting, dalam mazhab Maliki, hilal tidak dapat dipastikan kemunculannya berdasarkan ucapan astrolog atau orang yang bisa memperkirakan masa depan berdasarkan posisi bintang (ahli nujum), baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain, sebab syariat mengaitkan puasa, Idulfitri, dan haji dengan "terlihatnya" hilal, bukan dengan "kemunculannya".

Apabila diasumsikan bahwa ucapan astrolog tersebut benar, maka kita tidak boleh dan tidak diperintahkan untuk beramal dengan berpedoman kepada perhitungan ilmu falak, meskipun hasil perhitungannya benar.

3. Mazhab Imam Syafi’i

Menurut mazhab Syafi’i, kemunculan hilal baik Ramadan, Syawal, maupun bulan Qomariah lainnya, dapat dipastikan dengan penglihatan satu orang yang berbudi luhur meskipun orang tersebut tidak dikenal, baik ketika langit cerah ataupun tidak, dengan syarat bahwa orang yang melihat tersebut berbudi luhur, Muslim, balig, berakal, merdeka, laki-laki, dan mengikrarkan kalimat, “Aku bersaksi”.

Artinya, hilal tidak dapat dipastikan kemunculannya berdasarkan penglihatan orang fasik, anak kecil, orang gila, budak, dan wanita. Adapun dalil mereka adalah saat sahabat Ibnu Umar r.a. melihat hilal lalu dia melapor kepada Rasulullah SAW., beliau kemudian berpuasa dan memerintahkan orang-orang berpuasa. Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan hadis berikut:

"Seorang Arab Badui menghadap Rasulullah SAW kemudian berkata, “Aku telah melihat hilal Ramadan!” Beliau pun bertanya, “Apakah kau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Orang itu menjawab, “Ya!” Beliau bertanya lagi, “Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul Allah?” Dia menjawab, “Ya!” Beliau lantas bersabda, “Wahai Bilal, umumkan kepada semua orang agar mereka berpuasa besok!”

Dipastikannya kemunculan hilal berdasarkan informasi satu orang adalah untuk ihtiyath (mengamankan perhitungan) puasa. Adapun bagi orang yang melihat hilal itu sendiri, dia wajib berpuasa meskipun dia bukan orang yang berbudi luhur (orang fasik misalnya), atau dia anak kecil, wanita, orang kafir, atau dia tidak mengucapkan kesaksian di hadapan qadhi (hakim), atau dia sudah bersaksi, tapi kesaksiannya tidak diterima.

Puasa juga wajib atas orang yang membenarkan informasinya dan percaya kepada kesaksiannya. Jika kita berpuasa berdasarkan informasi terlihatnya hilal oleh seorang yang berbudi luhur; namun kita masih belum melihat hilalnya padahal sudah tiga puluh hari kita puasa, maka kita harus menghentikan puasa atau berhari raya Idulfitri (menurut pendapat yang paling sahih), meskipun langit cerah, sebab jumlah hari dalam bulan itu sudah sempurna tiga puluh, sesuai dengan hujah syar'i.

4. Mazhab Imam Hambali

Menurut mazhab Hambali, untuk memastikan kemunculan hilal Ramadan, dapat diterima perkataan seorang mukalaf yang berbudi luhur, secara zahir dan batin, baik dia pria maupun wanita, merdeka maupun budak, meskipun dia tidak mengucapkan, “Aku bersaksi bahwa aku sudah melihat hilal”.

Artinya, tidak dapat diterima perkataan seorang mumayiz dan orang yang tidak diketahui perangainya. Sebab, ucapannya tidak bisa diyakini kebenarannya, baik dalam cuaca mendung maupun cerah, meskipun orang yang melihat itu berada di kerumunan orang banyak dan hanya dia seorang yang melihat hilal. Adapun dalil yang digunakan adalah hadis terdahulu bahwa Nabi SAW memerintahkan orang-orang berpuasa berdasarkan laporan Ibnu Umar.

Juga hadis terdahulu bahwa Nabi SAW menerima laporan pria Badui yang mengaku telah melihat hilal. Lebih dari itu, pengakuan telah melihat hilal adalah laporan mengenai urusan keagamaan, dan menerimanya berarti lebih ihtiyath (kehati-hatian dalam perhitungan); di samping tidak adanya kecurigaan dalam pengakuan melihat hilal Ramadan ini, berbeda dengan pengakuan melihat hilal pada akhir bulan puasa. Pun karena kondisi orang yang melihat (begitu pula kondisi hilal yang terlihat )itu berbeda-beda. Karena itu, jika penguasa menetapkan suatu keputusan berdasarkan kesaksian satu orang, keputusan itu wajib dilaksanakan masyarakat.

Dalam mazhab Hambali, untuk wajibnya puasa tidak harus mengikrarkan lafal, “aku bersaksi,” dan tidak pula khusus bagi penguasa. Artinya, siapa pun yang mendengarnya dari mulut seseorang yang berbudi luhur, maka dia harus berpuasa.

Orang yang melihat hilal tidak wajib memberitahukannya kepada orang-orang atau melapor kepada qadhi (hakim) atau pergi ke masjid. Wajib puasa atas orang yang tidak diterima kesaksiannya akibat kefasikan atau faktor lain, berdasarkan hadis, “Berpuasalah jika kalian telah melihat hilal Ramadan”. Tapi, dia tidak boleh mengakhiri puasa Ramadan kecuali bersama khalayak ramai. Sebab, tibanya hari raya Idulfitri tidak bisa dipastikan kecuali dengan kesaksian dua orang yang berbudi luhur. Jika dia melihat hilal Syawal sendirian, dia tidak boleh merayakan hari raya Idulfitri. Dalilnya adalah hadis marfu' yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,

Hari Idulfitri adalah hari ketika kaum Muslimin mengakhiri puasa Ramadan, dan hari Iduladha adalah hari ketika mereka menyembelih hewan kurban.” (HR. Abu Hurairah)

Kesimpulan

Kesimpulannya, untuk memastikan kemunculan hilal Ramadan dan Syawal, mazhab Hanafi mensyaratkan terlihatnya hilal oleh khalayak ramai apabila cuaca cerah, tapi cukup hanya terlihat oleh satu orang yang berbudi luhur apabila cuaca mendung dan sejenisnya.

Sedangkan mazhab Maliki, mengharuskan terlihatnya hilal oleh dua orang atau lebih yang berbudi luhur. Mereka berpendapat pula bahwa terlihatnya hilal oleh satu orang yang berbudi luhur cukup bagi orang yang tidak berkepentingan dengan urusan kemunculan hilal.

Sementara menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, terlihatnya hilal oleh satu orang yang berbudi luhur adalah cukup, meskipun orang itu tidak diketahui perangainya-menurut mazhab Syafi'i-, tapi tidak cukup jika orang itu tidak diketahui perangainya-menurut mazhab Hambali.

Di samping itu, menurut mazhab Hambali dan Maliki, untuk memastikan tibanya Idulfitri, hilal Syawal harus terlihat oleh dua orang yang berbudi luhur. Menurut mazhab Hanafi dan Hambali, kesaksian wanita dapat diterima; tapi menurut mazhab Maliki dan Syafi'i, kesaksiannya tidak dapat diterima.

Demikianlah cara menentukan hilal Ramadan dan Syawal menurut empat mazhab. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat. Wallahu A’lam

Sumber Referensi:

Fiqih Islam wa Adillatuhu, (3/51-56)

Rasa’il ibnu ‘Abidin, (1/253).

Ad-Durrul Mukhtar, (2/123-130).

Maraqil Falah, (108-109).

Al-Lubab, (1/164).

Al-Qawaninul Fiqhiyah, (115-116).

Asy-Syarhush Shaghiir, (1/682-683).

Asy-Syarhul Kabiir, (1/509-510).

Al-Muhadzdzab, (1/179).

Mughnil Muhtaaj, (1/420-422)

Kasysyaaful Qinaa', (2/352-358).

Al-Mughnii, (3/156-163).