Syarat-syarat Puasa Menurut 4 Mazhab Lengkap

Daftar Isi

Syarat-syarat Puasa Menurut 4 Mazhab Lengkap
Abusyuja.com – Berikut adalah penjelasan ringkas mengenai syarat-syarat Puasa menurut 4 mazhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.

1. Mazhab Hanafi

Syarat-syarat puasa menurut ulama mazhab Hanafi ada tiga macam: syarat kewajiban, syarat wajibnya pelaksanaan, dan syarat sahnya pelaksanaan.

Syarat-syarat kewajiban ada empat:

  1. Beragama Islam;
  2. berakal;
  3. balig; dan
  4. tahu bahwa puasa itu wajib (yang terakhir ini berlaku bagi orang yang masuk Islam di Darul Harbi) atau berada di Darul Islam.

Barang siapa terkena setangan gila selama sebulan Ramadan penuh, dia tidak harus menggantinya. Jika dia menjadi sehat (waras) pada sebagian bulan tersebut, dia harus mengqada puasa hari-hari sebelumnya. Adapun orang yang pingsan selama sebulan Ramadan penuh harus mengqadanya. .

Barang siapa pingsan pada siang hari dalam bulan Ramadan, dia tidak harus mengqada hari tersebut, karena sudah terlaksana puasa pada hari itu. Yakni, dia sudah melaksanakan penahanan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa disertai niat; dia hanya perlu mengqada hari-hari selanjutnya.

Syarat-syarat wajibnya pelaksanaan ada dua: sehat (tidak sakit, haid, dan nifas; jadi, orang sakit tidak wajib melaksanakan puasa) dan mukim (musafir tidak wajib melaksana kan puasa). Hanya saja, mereka wajib mengqada.

Adapun syarat-syarat sahnya pelaksanaan ada tiga: niat (pelaksanaan puasa tidak sah jika tanpa niat), tidak ada halangan haid dan nifas (wanita yang haid atau nifas tidak sah melaksanakan puasa, tapi mereka wajib mengqada), dan kosong dari perkara yang merusak puasa.

2. Mazhab Maliki

Menurut mazhab Maliki, syarat-syarat puasa ada tiga macam: syarat kewajiban, syarat keabsahan, dan syarat kewajiban dan keabsahan sekaligus. Totalnya syarat-syarat ini ada tujuh:

  1. Beragama Islam;
  2. balig;
  3. berakal;
  4. suci dari darah haid dan nifas;
  5. sehat;
  6. mukim; dan
  7. niat.

Syarat-syarat kewajiban ada tiga: balig, sehat, dan mukim. Puasa tidak wajib bagi anak kecil meskipun dia telah remaja. Boleh saja dia berpuasa, tapi tidak dianjurkan, dan orang tua atau walinya tidak wajib menyuruhnya berpuasa.

Puasa juga tidak wajib atas orang sakit atau orang yang tidak mampu, termasuk di antaranya orang yang dipaksa; juga tidak wajib atas musafir; namun mereka ini wajib mengqadanya. 

Syarat-syarat keabsahan ada dua: beragama Islam (puasa orang kafir tidak sah meskipun puasa ini wajib atasnya dan dia mendapat siksa di akhirat lantaran meninggalkan puasanya; siksa ini adalah tambahan di samping siksa atas kekafirannya) dan masa/waktu yang dapat diisi dengan puasa (jadi, puasa tidak sah pada hari Id (hari raya)

Adapun syarat-syarat kewajiban dan keabsahan sekaligus ada tiga:

a. Suci dari darah haid dan nifas.

Wanita yang mengalami haid atau nifas tidak wajib dan tidak sah berpuasa. Mereka wajib mengqada setelah halangan ini lenyap. Mereka wajib segera melaksanakan puasa begitu suci dari haid dan nifas. 

b. Berakal.

Orang yang hilang akalnya tidak dikenai khithab (perintah) untuk berpuasa pada saat akalnya hilang. Artinya, puasa tidak wajib bagi orang gila dan orang pingsan, dan puasa mereka tidak sah. Adapun ten tang qada, orang gila (bagaimana pun kondisi gilanya), wajib hukumnya mengqada (menurut pendapat yang masyhur) setelah dia waras dari gilanya.

Orang pingsan juga wajib mengqada jika pingsannya berlangsung terus-menerus selama sehari atau lebih, atau pingsannya berlangsung selama sebagian besar siang. Dia tidak wajib mengqada jika dia pingsan hanya sebentar setelah fajar (yakni pingsannya hanya setengah hari atau kurang).

Orang mabuk sama hukumnya dengan orang pingsan dalam hal kewajiban mengqada, hanya saja dia harus menghindari pembatalan puasa pada sisa hari tersebut.

Adapun orang tidur (bagaimana pun kondisi tidurnya), tidak wajib mengqada bagian hari yang terlewatkan, asalkan dia telah melakukan niat puasa pada malam hari di awal bulan.

c. Niat

Niat adalah syarat sahnya puasa, menurut pendapat yang rajih, karena niat adalah tekad untuk melakukan sesuatu, dan telah dimaklumi bahwa tekad untuk melakukan sesuatu bukan merupakan bagian dari hakikat sesuatu tersebut. Cukup satu niat untuk tiap puasa yang wajib dilaksanakan secara berkelanjutan, seperti puasa Ramadan dan kafaratnya, kafarat pembunuhan atau zihar apabila keberlanjutannya tidak terputus karena faktor seperti sakit atau perjalanan. Niat dianjurkan untuk dilakukan setiap malam dalam puasa yang cukup dengan satu niat saja.

Kesimpulan: Kewajiban puasa gugur dari tanggungan dua belas orang: anak kecil, orang gila, wanita yang haid, wanita yang nifas, orang pingsan, musafir, orang sehat yang lemah fisiknya sehingga tidak sanggup berpuasa, orang yang amat kehausan, orang sakit, wanita hamil, wanita menyusui, dan orang tua renta.

3. Mazhab Syafi'i

Menurut mazhab Syafi'i, syarat-syarat puasa ada dua macam: syarat kewajiban dan syarat keabsahan.  Syarat syarat kewajiban ada empat:

a. Beragama Islam

Puasa tidak wajib atas orang kafir asli (dalam arti bahwa di dunia dia tidak dituntut mengerjakannya), sama seperti shalat tapi dia mendapat siksa di akhirat lantaran meninggalkannya. Puasa hukumnya adalah wajib atas orang murtad (keluar Islam), dalam arti bahwa setelah dia kembali memeluk Islam, dia wajib mengqada puasa yang telah ditinggalkannya selama dia murtad.

2. Balig

Puasa adaa' maupun qada tidak wajib hukumnya untuk anak kecil. Namun, hendaknya dia disuruh berpuasa ketika berumur tujuh tahun, dan boleh dipukul jika dia tidak berpuasa pada umur sepuluh tahun.

3. Berakal

Puasa  adaa' maupun qada hukumnya tidak wajib atas orang gila, kecuali jika akalnya hilang gara-gara ulahnya sendiri. Maka, dia harus mengqada puasa tersebut. Hukumnya sama seperti orang yang menjadi mabuk karena ulahnya sendiri, di mana dia harus mengqada puasa.

Adapun orang yang mabuk bukan karena ulahnya sendiri (misalnya: mabuk karena salah minum arak yang disangkanya air) maka dia tidak dituntut mengqada puasa yang ditinggalkannya selama mabuk.

4. Mampu

Puasa tidak wajib atas orang yang tidak mampu melakukannya karena faktor usia tua atau sakit yang tiada harapan untuk sembuh; juga tidak wajib atas wanita yang haid karena dalam kacamata syariat dia dapat tergolong tidak mampu.

Ukuran sakit adalah kondisi sakit yang membolehkannya untuk bertayamum, yaitu sakit yang menyulitkan penderitanya untuk menunaikan puasa, atau mendatangkan bahaya besar baginya jika berpuasa.

Adapun syarat-syarat keabsahan juga ada empat, yaitu:

1. Beragama Islam saat puasa

Puasa tidak sah jika dilakukan oleh orang kafir atau orang murtad.

2. Tamyiz

Puasa anak kecil yang belum mumayiz dan orang gila tidak sah karena tidak adanya niat. Tetapi, puasa anak kecil yang telah mumayiz terhitung sah. Puasa orang mabuk atau pingsan juga tidak sah, tapi (menurut pendapat yang paling kuat) puasanya orang yang mabuk atau pingsan itu sah jika dia siuman sebentar pada waktu siang.

Tidur seharian penuh juga tidak merusak puasa (menurut pendapat yang sahih), karena orang seperti ini masih memiliki kelayakan untuk menjalankan khithab (perintah) syariat.

3. Bersih dari haid dan nifas selama siang

Para ulama sepakat bahwa puasanya wanita yang haid atau nifas tidaklah sah. Apabila pada siang hari tiba-tiba datang haid atau nifas, atau orang yang berpuasa menjadi murtad atau gila, maka puasa orang itu batal.

4. Waktunya boleh diisi dengan puasa

Tidak sah puasa pada dua hari Id maupun pada hari-hari Tasyriq. Pun tidak sah puasa hari syak  (hari meragukannya awal Ramadan), begitu pula puasa pada paruh kedua bulan Syakban kecuali puasa yang sudah menjadi kebiasaan, misalnya seseorang sudah biasa melakukan puasa dahr [tiap hari], atau puasa sehari berbuka sehari, atau puasa hari tertentu, seperti hari Senin misalnya, yang kebetulan hari itu bertepatan dengan paruh kedua bulan Syakban atau hari syak; atau dia berpuasa pada dua waktu terlarang itu (paruh ke dua Syakban dan hari syak) untuk nadzar qada, kafarat, atau penyambungan paruh kedua dengan paruh pertama.

Menurut mazhab Syafi'i, niat wajib diikrarkan dalam hati setiap harinya. Niat harus dilaksanakan pada malam hari dalam puasa fardu, sedangkan dalam puasa sunnah tidak harus (yakni sah berniat sebelum waktu zuhur).

Penentuan dalam niat juga dihukumi wajib. Niat ke-fardu-an tidak wajib dalam puasa fardu. Demikian pula menahan diri dari sanggama secara sengaja dan menghindari percumbuan serta muntah dengan sengaja, serta menjaga agar tidak ada benda yang memasuki rongga dalam tubuh, semuanya adalah rukun pula.

4. Mazhab Hambali

Menurut mazhab Hambali, syarat-syarat puasa ada dua macam: syarat kewajiban dan syarat keabsahan. Syarat syarat kewajiban ada empat: 

a. Beragama Islam

Puasa tidak wajib atas orang kafir meskipun dia orang murtad. Sebab, puasa merupakan ibadah badaniah yang memerlukan niat. Maka, salah satu syaratnya adalah beragama Islam, sama seperti shalat. Di samping itu, puasa juga tidak sah jika dikerjakannya. Jadi, jika seseorang menjadi murtad pada suatu hari ketika dia sedang berpuasa, puasanya batal.

b. Balig

Puasa tidak wajib atas anak kecil meskipun dia telah remaja. Wali anak yang sudah mumayiz harus menyuruhnya melakukan puasa jika dia sudah mampu, dan juga harus memukulnya jika meninggalkan puasa, agar anak terbiasa dengan puasa, sama seperti salat.

c. Berakal

Puasa tidak wajib atas orang gila. Puasa orang gila juga dianggap tidak sah jika dikerjakannya. Sebab, tidak mungkin baginya untuk berniat. Puasa tidak wajib atas anak kecil yang belum mumayiz, tapi sah dikerjakan oleh anak yang telah mumayiz, sama seperti salat.

Apabila seseorang menjadi gila pada siang hari, dia harus menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa pada hari itu dan dia mesti mengqadanya. Alasannya, demi menjaga kesucian waktu, di samping karena dia telah mendapatkan sebagian dari waktu tersebut, sama seperti salat.

Akan tetapi, jika dia menjadi gila seharian penuh atau lebih, dia tidak wajib mengqadanya. Statusnya berbeda dengan orang Pingsan, yang mana dia wajib mengqada meskipun tempo pingsannya lama, karena pingsan terhitung sebagai kondisi sakit yang tidak menghilangkan hukum taklifi dari si penderita.

Puasanya orang yang menjadi gila atau pingsan adalah sah, asalkan dia pernah sadar sebentar pada waktu siang. Sebab, dia telah berniat pada malam hari. Puasanya orang yang tidur sepanjang siang juga sah. Siapapun yang tidur sepanjang siang, maka puasanya sah, karena tidur itu adalah kegiatan yang biasa dan tidak menghilangkan daya indra secara total. Orang yang mabuk wajib mengqada puasa, baik mabuknya terjadi karena ulahnya sendiri maupun tidak.

4. Mampu berpuasa

Puasa tidak wajib atas orang yang tidak sanggup menjalaninya karena faktor usia tua atau sakit yang tiada harapan untuk sembuh. Sebab, orang seperti ini tidak mampu menjalani puasa. Maka, dia tidak dibebani dengan ibadah ini. Adapun sakit yang ada harapan untuk sembuh mewajibkan si penderita untuk melaksanakan puasa apabila dia telah sembuh, dan wajib baginya mengqada puasa Ramadan yang terlewatkan olehnya.

Menurut Hambali, syarat-syarat keabsahan juga ada empat:

a. Niat

Wajib melaksanakan niat pada malam hari setiap harinya. Keharusan berniat ini tidak gugur karena lupa atau faktor lain. Tidak apa-apa jika setelah berniat, pada malam hari itu dia masih makan, minum, berjimak, dan sebagainya. Tidak wajib meniatkan ke-fardu-an dalam puasa fardu maupun meniatkan kewajiban dalam puasa wajib. Sebab, penentuan sudah cukup untuk mewakilinya.

Niat pada siang hari meskipun setelah waktu zuhur terhitung sah dalam puasa sunnah, asalkan dia masih terjaga dari hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar.

b. Suci dari haid dan nifas

Puasanya wanita yang haid dan nifas tidak sah, bahkan haram. Keduanya wajib melaksanakan puasa begitu darahnya berhenti pada malam hari, dan wajib mengqada Puasa yang tidak terlaksana selama masa haid/ nifas.

c. Beragama Islam

Puasanya orang kafir, meskipun statusnya murtad, tidak sah.

d. Berakal

Yakni tamyiz. Tidak sah puasanya anak kecil yang belum mumayiz, yaitu anak yang belum berusia tujuh tahun.

Itulah seluruh Syarat-syarat puasa menurut 4 Mazhab. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat. Wallahu A'lam

Sumber Referensi:

At-Qawaaniinul Fiqhiyyah, (hlm. 113-114).

Bidaayatul Mujtahid, (l/282-283).

Syarhur Risaalah, (l/301).

Asy'Syarhush Shaghiir, (l/6gt-682, 695,701).

Asy-Syarhul Kabiir, (1/520).

MughnilMuhtaaj, (l/427,432-433,436-437).

Al-Hadhramiyyah, (110-113).

Kasysyaaful Qinaa', (2/359-367).