Hukum Operasi Cesar Menurut Islam

Daftar Isi

Hukum Operasi Cesar Menurut Islam
Abusyuja.com – Operasi Cesar bukanlah fenomena baru di tengah kehidupan kita. Bahkan telah menjadi tren persalinan di kalangan masyarakat menengah ke atas. Semakin hari persalinan mengalami peningkatan. Fakta ini didalangi oleh berbagai macam faktor, mulai dari indikasi medis plasenta previa, hamil tual, bayi kejepit, tali pusat menumbung, maupun kembar siam.

Paradigma bahwa persalinan Cesar lebih aman dan modern dibandingkan persalinan secara normal turut menyumbang angka cukup signifikan. Sedangkan kekhawatiran akan timbulnya rasa nyeri saat persalinan, atau trauma dinding pelvis (tulang panggul) dan janin, merupakan penyebab lain meningkatnya persentase bedah Cesar.

Baca juga: Dahsyat! Berkat Shalat Tahajud, Istri Tak Jadi Operasi Caesar

Mengenai hukumnya, tidak banyak variasi penalaran hukum yang mengemuka dalam ruang operasi. Karena pada dasarnya, “menolak kerusakan” senantiasa menjadi alasan para ulama dalam memberikan legalitas tindakan operasi. Tidak terkecuali pada permasalahan Cesar.

Namun demikian, tidak sedikit ulama yang enggan bersepakat ketika mereka menghukumi satu demi satu kasus operasi. Hal ini adalah kewajaran. Sebab standar nilai kemanfaatan dan kerusakan yang mereka usung tidaklah sama.

Perlu diperhatikan, merusak anggota tubuh, baik milik sendiri ataupun orang lain merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan salah satu lima pilar ruh syariat. Sehingga  jika tetap dilakukan, maka akan menuai kecaman keras dari Al-Qur’an.

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195)

Akan tetapi kita tidak bisa serta merta menghakimi tindakan “merusak diri” ini sebagai hal yang patut untuk diharamkan. Tanpa melakukan komparasi dengan alasan yang positif terhadap apa yang melatarbelakanginya. Nyatanya, fikih sebagai pusat kodifikasi hukum sangatlah mengakui peranan “alasan positif” dalam pencetusan suatu hukum.

Seperti yang telah disampaikan, tindakan merusak anggota tubuh merupakan larangan agama Islam. Tetapi akan berbeda jika tindakan tersebut didasari dengan tujuan atau hajat yang dibenarkan. Misalnya, demi menghindarkan diri dari kematian atau rasa sakit yang tidak tertahankan. Tetapi harus diperhatikan dampak negatif yang kelak ditimbulkan. Prinsip ini mengacu pada kaidah usul fikih berikut:

Ketika dua mafsadah bertentangan, maka risiko besar dihilangkan dengan cara melakukan risiko yang lebih ringan.

Dari kaidah ini dapat kita ilustrasikan secara sederhana. Operasi Cesar mempunyai dua dimensi yang keduanya sama-sama menimbulkan dampak negatif.

Pertama, pengirisan dinding perut dan peranakan, dampak operasi seperti depresi pernafasan, infeksi bekas jahitan, infeksi rahim, cedera pembuluh darah, dan lain sebagainya, kesemuanya ternilai sebagai hal-hal yang merusak.

Kedua, di waktu yang bersamaan, tidak melakukan operasi Cesar bisa menimbulkan risiko apabila tidak dilakukan. Seperti meninggalnya bayi saat dalam kondisi terjepit atau tali pusarnya menumbang. Bahkan pada saat tertentu, meninggalkan operasi Cesar dapat menyebabkan sang ibu meninggal.

Ketika seperti ini, maka syariat melegalkan tindakan operasi Cesar. Tidak lain demi menghindari diri dari mafsadah yang lebih besar, yakni kematian. Analisa seperti ini dipastikan tidak akan muncul bagi ibu hamil yang menghendaki operasi Cesar hanya sekedar menginginkan agar anaknya mempunyai tanggal lahir cantik. Lantaran manfaat yang diusung tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan kerusakan yang akan ditimbulkan.

Pemaparan di atas hanya contoh analisa sederhana sebagian dari praktik operasi Cesar. Sedangkan untuk memberi keputusan yuridis mengenai legalitas praktik yang sesungguhnya, dokter lebih berhak untuk menilai masing-masing bentuk mafsadahnya.

Hal ini sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh NU Online, bahwa hukum operasi Cesar adalah HARAM, kecuali jika ada alasan medis yang membolehkannya.

Prosedur lain dan harus terpenuhi guna menghindarkan diri dari operasi Cesar  yang DIHARAMKAN adalah:

  • Dilakukan oleh dokter ahli;
  • Dokter yang menangani harus sejenis (perempuan), kecuali jika tidak ditemukan atau tidak ada dokter perempuan yang ahli, maka boleh dilakukan dokter laki-laki;
  • Risiko Cesar lebih ringan daripada melahirkan secara normal;
  • Tidak ada pilihan lain selain operasi Cesar.

Demikianlah kajian singkat mengenai hukum melahirkan secara Cesar dalam perspektif Islam. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat. Wallahu A’lam

Sumber Referensi:

Jalaludin al-Suyuti, Al-Asybah wa Al-Nazair, h. 8.

Caroline De Costa, Hail Caesar: Why One in Theree Australian Babies is Born by Caesarean Section, h. 22.

M. T. Indiarti, Caesar, Kenapa Tidak?, h. 44.

Thomas F. Baskett et. Al., Munro Kerr’s Operative Obstetrics, h. 132.

Tropin R, Vafaie (1961), The Birth of Rustam An Early Account of Caesaran Section in Iran, h. 185-189.