Sifat-sifat Hukum Acara Perdata Lengkap

Daftar Isi

Sifat-sifat Hukum Acara Perdata
Abusyuja.com – Dalam hukum acara perdata, setiap orang yang merasa bahwa haknya dilanggar disebut sebagai “Penggugat”.

Sedangkan bagi orang yang ditarik ke muka pengadilan karena telah dianggap melanggar hak orang lain baik individu maupun kelompok disebut sebagai “tergugat”.

Apabila ada banyak penggugat atau tergugat, maka penyebutan mereka adalah penggugat I, II, III, IV, dan seterusnya. Misalnya, tergugat ada 3 (tiga) orang, maka penyebutannya adalah tergugat I, tergugat II, dan tergugat III.

Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 1 Agustus 1983 No. 1072 K/Sip/1982, gugatan cukup ditujukan kepada yang secara sah dan nyata dianggap menguasai barang sengketa.

Dalam praktiknya, isitlah “turut tergugat” dipergunakan kepada orang yang tidak menguasai barang sengketa. Mereka adalah orang-orang yang diikut sertakan guna melengkapi suatu gugatan.

Mereka dalam petitum hanya sekedar dimohonkan agar tunduk dan taat terhadap putusan hakim. Istilah “turut penggugat” tidak dikenal dalam istilah hukum acara perdata.

Sebagaimana pertimbangan Pengadilan Tinggi Bandung, “Dalam hukum Acara Perdata tidak dikenal istilah turut penggugat, yang dikenal adalah sebutan turut tergugat, yakni orang-orang yang bukan penggugat dan bukan juga seorang tergugat, akan tetapi keberadaannya harus diikutsertakan agar tunduk dan taat terhadap putusan Pengadilan.

Sebagaimana yang telah disinggung di atas, penggugat adalah orang yang merasa bahwa haknya telah dilanggar, sedangkan memanggil orang yang dirasa melanggar haknya adalah disebut sebagai tergugat.

Perkara “merasa” dan “dirasa” ini digunakan karena belum tentu yang bersangkutan benar-benar nyata melanggar hak penggugat.

Dalam hukum acara perdata dikenal dengan istilah inisiatif. Inisiatif dalam hukum acara perdata adalah ada dan tidaknya suatu perkara, harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa bahwa haknya atau haknya telah dilanggar, yakni oleh penggugat atau para penggugat.

Hal ini tentu sangat berbeda dengan hukum acara pidana yang umumnya tidak menggantungkan adanya perkara dari insiatif orang yang dirugikan.

Contoh, kasus tabrak lari yang tidak ada aduan sama sekali. Polisi datang kemudian melakukan pemeriksaan. Kemudian ditemukanlah suatu dakwaan terhadap orang yang diduga sebagai pelaku yang kemudian dihadapkan di muka sidang Pengadilan.

Dalam hukum acara perdata, inisiatif ada pada penggugat. Maka penggugatlah yang memiliki pengaruh besar terhadap jalannya perkara.

Misalnya, setelah perkara diajukan oleh penggugat, ia dalam batasan-batasan tertentu berhak mengubah atau mencabut kembali gugatannya. Sebagaimana yang termaktub dalam Yurisprudensi Indonesia No. 546 K/Sip/1970.

Meski inisiatif ada pada penggugat dan pengaruh besar jalannya perkara ada pada penggugat, ketika gugatan sudah diajukan ke pengadilan, ia akan terikat oleh “peraturan permainan” yang sudah baku yang sifatnya adalah memaksa.

Perubahan atau pencabutan kembali gugatan oleh penggugat atau para penggugat tidak bisa dilakukan seenaknya. Apabila tergugat sudah mengajukan jawaban, maka gugatan tidak boleh dicabut kecuali atas seizin tergugat.

Demikian pula dengan tenggang waktu untuk mengajukan keputusan Verstek, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, ditentukan dalam hukum acara perdata secara cepat dan tenggang waktu itu tidak bisa dilanggar. Apabila dilanggar, maka para pemohon yang bersangkutan akan dinyatakan tidak dapat diterima.

Dalam aturan tersebut, tidak hanya pihak kuasanya saja yang terikat pada peraturan, tata cara atau peraturan permainan hukum acara perdata, namun juga Hakim yang memeriksa perkara pun juga terikat. Untuk menjatuhkan putusan gugur dan verstek harus dipenuhi syarat dan ketentuannya terlebih dahulu. Hal itu mutlak hukumnya dan tidak boleh dilanggar.

Hukum acara perdata memang awalnya bersifat mengatur, namun apabila sudah digunakan, maka sifatnya menjadi memaksa.