Ingat! Allah Lebih Menyukai Mukmin yang Kuat daripada yang Lemah

Daftar Isi

Ingat! Allah Lebih Menyukai Mukmin yang Kuat daripada yang Lemah
Abusyuja.com – Kekuatan tidak dapat diukur hanya dengan badan yang besar, gagah, kekar dan berotot, melainkan kemampuannya dalam beriman kepada Allah Swt.

Kajian ini khusus disajikan untuk para calon lelaki yang berencana menyudahi masa lajangnya. Berikut kajiannya:

Untuk mempersiapkan sebuah pernikahan, seseorang tidak hanya butuh dalam hal kesiapan biologis atau mental saja, tetapi juga dalam hal kekuatan.

Seperti yang telah disinggung di atas, kekuatan itu tidak sekedar dilihat dari badan yang kekar dan berotot, tetapi teguh dalam memberikan manfaat pada pasangannya.

Maka dari itu, Rasulullah Saw. bersabda,

"Mukimin yang kuat lebih aku sukai daripada mukmin yang lemah, tetapi masing-masing memiliki kebaikannya sendiri-sendiri."

Hadis di atas berbicara masalah kekuatan seorang muslim dalam berjihad di jalan Allah Swt.

Jika mukmin itu kuat, maka mereka memiliki kekuatan untuk menghadapi musuh-musuhnya, memiliki taktik perang yang jitu, mempunyai persenjataan yang lengkap, dan kemampuan bertarung tangan kosong atau menggunakan senjata dan lain sebagainya.

Kekuatan Iman

Maksud dari kekuatan iman di sini adalah seberapa kuat keimanannya. Dengan keimanan itu, ia bisa taat kepada Allah Swt. Tidak hanya amalan wajib saja yang dilakukan, tetapi juga yang sunah.

Kita menyaksikan seseorang yang kurus tubuhnya, tua, dan rapuh, tetapi mampu mengerjakan salat tahajud semalam suntuk.

Sementara di sisi lain, ada anak muda, berbadan kekar, tetapi ia tak sanggup salat tahajud di malam hari. Jangankan salat tahajud, bangun malam saja tak mampu. Kalah oleh nafsu yang ingin terus-menerus tidur.

Setelah seseorang beriman, salah satu hal yang bisa menjadi lokomotif penggerak amal ibadah di antaranya adalah “menikah”. Ia menjadi kekuatan yang menyegerakan keinginan seorang hamba yang memang sudah waktunya.

Rasulullah Saw. pernah bersabda,

"Tiga hal yang harus disegerakan, salat tepat pada waktunya, jenazah jika sudah siap dikuburkan, dan pernikahan bila sudah ada lelaki yang meminang." (HR. Ahmad)

Menikah adalah ibadah yang menyenangkan. Ia adalah tujuan hidup setiap pemuda. Ia “pintu” yang ingin dilewati. Ia adalah tahap-tahap untuk menjadi manusia dewasa, yang mengandung rasa penasaran jika belum dilalui.

Karena itulah menyegerakannya adalah hal yang paling baik, sebagaimana sabda Rasulullah Saw.,

"Apabila datang pada kalian seorang wanita yang kalian ridai agama dan akhlaknya, maka nikahilah dia. Jika tidak, akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar di permukaan bumi." (HR. Tirmidzi)

Kekuatan Rezeki

Namun, apakah cukup dengan kekuatan iman saja? Dalam konteks pernikahan, “kekuatan” yang lain adalah mampu memberikan rezeki yang cukup atau bermanfaat untuk orang lain.

Inilah yang dimaksud Rasulullah Saw. ketika beliau berbicara kepada sekelompok pemuda di mana pada saat itu mereka tidak memiliki kemampuan secara finansial,

"Hai para pemuda, apabila di antara kalian memiliki kemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan membentengi kemaluan. Barang siapa yang tidak mampu, hendaklah ia berpuasa, karena puasanya dapat membentengi dirinya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari hadis di atas kita memahami bahwa dengan menikah, seseorang akan mendapatkan rezeki karena melimpahnya berkah pernikahan tersebut. Tetapi, di sisi lain, pernikahan diperbolehkan jika seseorang telah mampu melakukan tugas dalam pernikahan itu.

“Kemampuan” menurut para ulama di sini terbagi menjadi dua. Pertama, kemampuan secara biologis dan yang kedua kemampuan menyediakan tempat tinggal.

Akan tetapi, pendapat yang masyhur adalah dari Qadhi bin Iyadh, yakni mampu memberikan rumah atau tempat tinggal. Jika seorang lelaki mampu memberikan tempat tinggal, dengan sendirinya telah memiliki penghasilan.

Maka dari itu, “kemampuan” inilah yang menjadi bagian kekuatan seseorang. Sebab, mukmin yang kuat tentunya selain memiliki kekuatan biologis untuk berhubungan badan, juga mempunyai kekuatan untuk menghidupi istrinya, menyediakan tempat tinggal, memenuhi keperluan makanan dan pakaian, serta berbagai kebutuhan yang lain.

Kekuatan Menafkahi Batin

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, minimal, seseorang harus memiliki kekuatan biologis dalam pernikahan, karena itu menjadi tujuan pernikahan. Rasulullah Saw. bersabda,

"Nikahilah wanita yang subur, karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku di hadapan para nabi pada hari kiamat." (HR. Ahmad)

Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak di antara lelaki dan perempuan yang telah menikah Allah berikan suatu cobaan dengan sulitnya punya anak, mandul, punya anak satu kemudian sulit untuk mendapatkan anak kedua, ketiga, dan seterusnya. Tetapi di sisi lain, Allah cukupkan materi pada para suaminya sehingga mereka masih dapat berbahagia.

Anggaplah, hanya salah satunya saja yang terpenuhi: mampu secara biologis saja, atau mampu secara finansial saja sebagai ciri dari seorang mukmin yang lemah, maka kita kembalikan pada isi hadis di atas, “masing-masing memiliki kebaikannya sendiri-sendiri.

Menyikapi Kelemahan

Mukmin yang kuat dan lemah bukanlah sebuah kekurangan, karena masing-masing masih berpredikat mukmin.

Bahkan, dalam kelemahan seorang mukmin pun, kita patut terheran-heran, bagaimana seseorang yang tidak memiliki harta apa pun, tetapi memiliki banyak anak: bagaimana mereka mendapatkan rezeki dan mengurus anak-anak mereka sampai besar tanpa pekerjaan tetap, benar-benar membuat kita tak habis pikir, Allah Maha Pemberi Rezeki mampu mencukupi hamba-Nya.

Di sisi lain, kita melihat pernikahan sebuah pasangan sampai bertahun-tahun dan belum dikaruniai anak, tetapi mereka masih bisa sabar dan terus ikhtiar.

Walau secara materi berkecukupan, tetapi ketiadaan anak setelah pernikahan bisa membuat sepasang suami-istri frustrasi.

Namun, jika ia seorang mukmin, cobaan yang Allah berikan mendorongnya untuk terus bersabar, berusaha, dan bertawakal, seperti halnya Nabi Zakaria yang baru mendapatkan anak ketika punggungnya telah rapuh dan rambutnya mulai beruban.

Begitu juga dengan Nabi Ibrahim yang semula bersama Sarah mengalami kemandulan, kemudian beliau menikahi budaknya, Hajar, barulah dikaruniai putra, Ismail.

Maka benar kata Rasulullah Saw., baik mukmin yang kuat atau pun mukmin yang lemah itu bukan untuk diperbandingkan, sebagaimana membandingkan bumi dan langit. Tetapi, keduanya seperti mata uang yang bersisian, memiliki kebaikannya masing-masing.

Seorang pemuda yang hendak mempersiapkan diri menghadapi pernikahan, benar-benar harus menyiapkan mental dengan berbagai kenyataan pahit, ketiadaan pekerjaan, ketiadaan anak, ketiadaan tempat tinggal, celaan, dan cemooh dari orang-orang sekitar. Maka, ketidaksempurnaan tujuan pernikahan harusnya disikapi dengan terus bersabar, mendekatkan diri kepada Allah, dan selalu berdoa. Pada akhirnya, hal ini akan membawanya pada kebaikan juga. Wallahu A’lam