Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengenal Makanan Halal, Haram, Syubhat, dan Tayib

Mengenal Makanan Halal, Haram, Syubhat, dan Tayib
Abusyuja.com – Umat Islam adalah umat yang paling selektif dalam memilih makanan. Walaupun sumber makanan di dunia ini sangat banyak, tetapi tidak semua makanan bisa dimakan.

Mereka harus memilih makanan yang halal dan tayib. Status kehalalan sendiri dibagi dua: (1) halal dalam arti zat-zat yang terkandung di dalamnya harus berasal dari zat yang halal; dan (2) cara mendapatkannya juga halal.

Bahkan, untuk yang kedua ini, sekalipun zat yang dikonsumsi halal, namun jika cara mendapatkannya dengan cara yang haram, maka ia bisa menjadi haram pula statusnya.

Misalnya, susu dan daging sapi. Keduanya memiliki kandungan gizi yang tinggi dan halal hukumnya untuk dikonsumsi. Namun, jika makanan tersebut didapatkan dari jalan yang haram, seperti dari hasil mencuri misalnya, maka status makanan yang “halal” tadi menjadi haram karena cara mendapatkannya tidak dibenarkan dalam Islam.

Sedangkan untuk makanan haram sendiri sudah jelas, seperti bangkai (kecuali belalang dan ikan), darah, babi, minum-minuman keras, dan lain sebagainya. Begitu pula makanan halal pun juga sudah jelas, yakni seluruh makanan yang tidak ada ketentuan pengharamannya, maka itu semua halal.

Nah sekarang, kita bahas apa itu makanan syubhat. Dari segi zat, batas antara makanan yang haram dan halal adalah yang syubhat. Syubhat artinya samar atau tidak jelas, sehingga seorang muslim yang hendak mengonsumsinya menjadi ragu-ragu.

Bisa jadi zat makanannya halal, tetapi karena cara mendapatkannya dicurigai haram, maka statusnya menjadi syubhat.

Syekh Saleh Fauzan mengatakan, jika terdapat masalah yang diperselisihkan oleh para ulama, maka sebagai orang awam langkah yang terbaik adalah menghindarinya. Jalan itulah yang paling selamat.

Adanya perkara syubhat karena banyak orang awam yang bodoh, tidak bersedia menelusuri sumber yang jelas dan tidak mau berkilat pada ulama.

Salah satu contohnya, ketika kita bepergian ke negara-negara Eropa yang mayoritasnya agamanya non muslim. Saat disuguhi makanan ayam sembelihan, apakah kita boleh memakannya mengingat keyakinan mereka berbeda dengan kaum muslim?

Sebagian ulama membolehkannya, tetapi sebagian ulama lain melarangnya. Maka, dalam hal ini, lebih baik kita menghindarinya.

Syubhat bisa berarti dari cara memperolehnya pula. Di kota-kota besar di mana pesta-pesta mewah untuk memperingati hari ulang tahun, perkawinan, dan lain sebagainya, kita melihat begitu melimpahnya makanan dan lezat-lezat pual rasannya.

Kita tidak tahu cara mengolahnya, menggunakan bahan yang halal atau tidak, bahkan bagaimana orang yang mengundang pesta itu mendapatkan uangnya, maka perkara tersebut bisa menjadi syubhat.

Sehingga, alangkah baiknya kita menghindarkan diri daripada ragu-ragu karena mungkin berasal dari hal-hal yang dilarang oleh Allah, baik dari segi zat maupun cara mendapatkannya.

Bahkan, ada yang ulama yang mengatakan bahwa air sumur pun bisa dibilang syubhat, karena bisa saja air di dalamnya bersumber dari tanah milik tetangganya.

Sampai-sampai ada ulama yang mengatakan bahwa di dunia ini semuanya adalah syubhat, kecuali satu hal, yakni air hujan.

Setelah membahas mengenai makanan halal, haram, dan syubhat, kita beralih ke makanan tayib.

Tayib sendiri artinya baik. Baik bagi siapa? Tentu saja bagi yang memakannya. Baik pada seseorang bukan berarti baik bagi orang lain.

Misalnya, orang normal (yang tidak berpenyakit apa pun) bebas-bebas saja meminum teh manis beberapa gelas dalam sehari.

Tetapi, bagi penderita diabetes, ia dilarang untuk minum teh manis, melainkan hanya boleh yang tawar saja, karena glukosa yang masuk ke dalam tubuhnya tidak bisa dioleh secara sempurna oleh hati.

Belakangan, pertanyaan dari masyarakat semakin banyak terkait dengan makanan yang halal, tetapi tidak tayib. Mulai dari makanan kalengan dengan pengawet, mi instan yang sulit dicerna oleh lambung, makanan yang diberi zat pewarna tekstil, yang mengandung pengat rasa (monosodium glutamate), dan sebagainya.

Makanan tersebut sebenarnya masih boleh dimakan, tetapi sesungguhnya jika dimakan terus-menerus, lama-lama akan tertumpuk di dalam tubuh dan menjadi penyakit.

Jika tumpukan zat-zat berbahaya dalam tubuh kita semakin banyak, akan muncul demam, depresi, gangguan lambung, anemia, kebodohan, kejang, pingsan, dan bahkan yang paling parah adalah kanker – penyakit pembunuh nomor lima sedunia.

Dalam keadaan apapun, seorang muslim harus menjauhkan diri dari makanan yang haram atau syubhat karena bisa membuat doa-doa tidak dikalahkan Allah.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,

"Ada seorang musafir dalam perjalanan jauh kemudian dia memohon pada Allah, 'Ya Allah...Ya Allah,' tetapi makanan yang dimakan haram, pakaian yang dikenakannya haram pula, bagaimana doa-doanya dikabulkan?" (HR. Muslim)

Selain itu, mengonsumsi makanan haram dapat menyebabkan amal seseorang tidak diterima. Saat bin Abi Waqqash pernah meminta Rasulullah agar doanya dikabulkan, Rasulullah memberi "resep" dengan memperbaiki makanannya. Sebab tidaklah diterima amal seseorang selama 40 hari yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu, riba, bahkan neraka lebih layak untuknya. (HR. Thabrani)

Maka benarlah yang dilakukan oleh Abu Bakar yang memasukkan jari jari tangannya ke dalam mulut dengan tujuan memuntahkan makanan haram yang terlanjur masuk. Sebab, ia tidak rela makanan yang masuk menjadi daging dan karena sebab itulah ia dibakar dalam api neraka. Wallahu A'lam