Cara Mengelola Cinta yang Benar Menurut Islam
Sudah menjadi tugas seorang pecinta untuk selalu memberikan yang terbaik bagi yang dicintainya.
Maka, jangan heran kalau tiba-tiba ada seorang pengecut yang menjadi pemberani, seorang cengeng menjadi kesatria, seorang pelit menjadi dermawan, karena cinta.
Ketika seseorang mencintai, keindahan-keindahan akan terkumpul di pelupuk matanya, sehingga ia tidak bisa melihat selain keindahan itu.
Tidak tampak lagi olehnya ketakutan, kesedihan, kerisauan, dan kekhawatiran. Semuanya menjadi serba mungkin untuk dilakukan.
Melihat efek cinta yang sehebat itu, Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah mengkhawatirkan anaknya, Abdurrahman bin Abu Bakar. Pasalnya, Abdurrahman terlihat sangat mencintai istrinya, Atikah, begitu pula sebaliknya.
Abu Bakar khawatir cinta mereka itu memalingkan mereka berdua dari cinta kepada Allah Swt., sehingga waktu-waktu mereka kelak bisa habis untuk romantisme belaka, sementara tugas dan kewajiban dalam agama jadi terlupakan.
Apa yang terjadi kemudian? Abu Bakar memerintahkan anaknya itu untuk bercerai dengan sang istri. Talak satu. Mungkin, Abu Bakar saat itu percaya bahwa cara ini bisa meluruskan kembali kebengkokan cinta Abdurrahman dan Atikah.
Hari-hari berlalu dalam kesendirian, Abdurrahman menyampaikan kegelisahannya kepada sang ayah. Ia tidak melihat orang yang lebih malang darinya, menceraikan istrinya padahal mereka sama-sama menegakkan agama. Benar, ia tidak punya alasan ketika menceraikan istrinya, kecuali kegelisahan Abu Bakar—sahabat Nabi Saw. yang mulia itu.
Melihat keseriusan anaknya dalam menjalankan agama, setelah terpastikan betul bahwa tujuan mereka berdua tetaplah untuk menegakkan agama, Abu Bakar memerintahkan Abdurrahman untuk merujuk istrinya.
Mereka pun berpadu kembali. Kelak, perpaduan mereka di dunia ini terpisah ketika Abdurrahman gugur di medan perang, membela Islam.
Sahabatku, begitulah cinta yang benar. Arahnya mesti tetap menuju Allah Swt. Adapun nuansa romantis yang terbangun di dalamnya, itu menjadi keindahan yang menambah kedekatan dengan Allah. Yah, kalau kita sangat mencintai istri kita sebab kecantikan akhlaknya, keteduhan wajahnya, kehangatan kasih sayangnya, bukankah kita harus bertambah cinta pada Allah karenanya? Sebab Allah Swt. yang menciptakan istri seindah itu untuk kita. Begitu pula sebaliknya.
Porsi cinta kepada Allah Swt. jangan sampai terusik. Peringatan-Nya sudah termaktub di dalam Al-Qur’an.
“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta benda yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. At-Taubah : 24)
Bentuk cinta kita kepada yang selain Allah Swt. adalah kesyukuran, sebab semua itu hasil ciptaan Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kita.
Maka, sebelum memutuskan untuk cinta pada seseorang, kita harus memastikan bahwa dia benar-benar baik untuk agama kita.
Sahabatku, tidak ada istilah “jatuh cinta” dalam cinta yang benar. Ya, ini tidak mengada-ada. Di buku Menghidupkan Pesona Cinta tertulis juga satu bagian bertajuk “Jangan Jatuh Cinta”. Kenapa?
Kesannya, yang terjadi ketika orang jatuh cinta adalah memperturutkan perasaan saja. Orang yang jatuh cinta tiba-tiba saja suka ketika pertama kali bertatap muka, padahal belum tahu seperti apa karakternya.
Nah, cara yang tepat bagi kita adalah “membangun cinta”, mencintai seseorang berdasarkan keputusan sadar. Kita memutuskan untuk mencintainya setelah kita yakini bahwa agamanya baik, sehingga tidak membahayakan agama kita.
Hadir di sini kehati-hatian, sebab kita sadar bahwa ketertarikan kita di saat pertama kali melihat itu bisa jadi tipuan setan.
Salah satu cara mereka menyesatkan manusia adalah dengan tazyiiin (memperindah sesuatu yang buruk agar terlihat baik).
Orang yang termakan tipuan setan ini merasa beruntung mendapatkan sesuatu, ternyata di baliknya ada bahaya besar menunggu.
Kehati-hatian, itulah agaknya yang kurang terasah pada berbagai kasus yang pernah saya dengar. Misalnya, ada seorang wanita yang tertarik pada seorang lelaki tampan, berduit, terpandang, dan lembut sikapnya.
Lelaki itu memperlakukannya bak ratu, dimengerti kemauannya, dipahami apa-apa saja yang tidak disukainya, didengar keluh-kesahnya. Ah, wanita mana yang tidak tergiur dengan lelaki perhatian dan memesona sepertinya? Wanita itu pun menaruh cinta padanya. Mereka menikah.
Ternyata, wanita tadi sudah salah langkah. Indahnya perlakuan membuatnya tidak terpikir pada hal-hal yang lain. Lelaki itu memang mengaku seorang muslim, di KTP pun begitu, tapi tidak percaya dengan kewajiban shalat, puasa, dan sebagainya. Ia termasuk orang yang percaya bahwa agama itu tempatnya di dalam hati.
Cukuplah dengan meyakini adanya Tuhan, lalu berbuat baik dalam segala hal. Itu saja. Adapun ibadah, baginya itu hanya ilusi. Wanita itu baru terkejut setelah menikah, sebab keheranan kenapa suaminya tidak pernah shalat.
Pertanyaannya pada wanita itu: apa yang sudah diketahuinya tentang calon suaminya?
Sahabatku, mari mengelola cinta dengan benar, sehingga cinta itu menyelamatkan diri, agama, keluarga, keturunan-keturunan kita kelak, dan kehidupan kita. Jangan pernah jatuh cinta, sebab engkau bisa membangun cinta.
Milikilah alasan yang kuat untuk mencintai seseorang, yakni ia harus bisa membantumu menegakkan agama di jalan Allah Swt.
Demikian kajian singkat mengenai mengelola cinta yang benar menurut Islam. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat.