Mewaspadai Wabah Pacaran dalam Islam

Daftar Isi

Mewaspadai Wabah Pacaran dalam Islam
Abusyuja.com - Pacaran, suatu periode perkenalan antara laki-laki dan perempuan sebelum mereka ke jenjang perkawinan. Aktivitas pacaran kini menjadi wabah yang tak dapat dihindari. Pacaran menjadi salah satu keabsahan seorang pemuda sebelum mereka menjalin hubungan yang lebih serius. Bagaimana pandangan Islam mengenai wabah ini? Berikut kajiannya!

Wabah Pacaran

Sahabatku, tidak dipungkiri lagi, istilah “berpacaran” sudah tidak asing di tengah kaum muda sekarang. 

Di setiap sudut daerah kita, di berbagai tempat, bisa dengan mudah ditemukan anak-anak muda yang sedang berpacaran; jalan berdua, bergandengan tangan, bermesraan layaknya sepasang kekasih sejati.

Acara-acara di televisi pun tidak ketinggalan mengekspos. Tiap hari dikabarkan hubungan pacaran para artis; sedang berpacaran dengan siapa, sudah putus pacaran dengan siapa, dan seterusnya.

PROMO BUKU

Maka, timbullah kesan seolah-olah anak muda itu memang harus pacaran. Kalau tidak, itu tandanya kolot atau kuno.

Melihat fenomena itulah, saya menyebutnya “wabah”. Ups, sebentar. Bukankah kata “wabah” itu merupakan istilah untuk suatu penyakit yang berjangkit-jangkit? Apakah pacaran itu memang penyakit? 

Sahabatku, sekurang-kurangnya harus ada dua alasan agar sesuatu bisa dikatakan penyakit. Pertama, sesuatu itu ialah bentuk penyimpangan dari keadaan normal.

Kedua, sesuatu itu menyebabkan adanya gangguan yang membuat tidak nyaman dan masalah yang merugikan.

Nah, apakah pacaran memenuhi kedua alasan itu sehingga disebut penyakit? Akan kita bahas lebih lanjut, nanti kita bisa mengambil kesimpulan sendiri-sendiri.

Produk pergaulan yang permisif

Waktu itu, usai shalat zuhur di sebuah masjid Kota Medan, saya terlibat obrolan santai dengan seorang bapak di teras masjid untuk beberapa jenak. Saya mendengarkan beliau bertutur, menyimak nasihat-nasihat beliau, dan tentunya bercermin dari apa yang beliau sampaikan.

Saya masih bisa mengingat, bapak tadi menyayangkan beberapa hal dari kita—anak muda zaman sekarang. Itu yang beliau simpulkan setelah membandingkannya dengan generasi mereka dulu. 

Pertama, menurut beliau, anak muda zaman sekarang mulai bergeser ke pola hidup yang egois dan individualistik.

Hanya memikirkan dirinya sendiri, sementara orang lain tidak dipikirkannya. Padahal, generasi mudalah yang diharapkan menaruh perhatian yang besar terhadap masyarakat dan bangsanya.

Kedua, pola pergaulan generasi muda sekarang sudah tidak lagi terisi nilai-nilai moral, adat, dan agama. 

Kebanyakan anak muda justru bangga bisa mengikuti berbagai tren yang bergulir di negeri lain, meskipun harus menggadaikan nilai-nilai agamanya. Termasuk dalam hal ini yang digarisbawahi adalah aktivitas berpacaran yang kerap berujung negatif.

Saya tahu, akan ada banyak sahabat yang tidak setuju dikelompokkan ke dalam dua hal ini. Saya tidak akan melakukan generalisasi (menjadikannya kesimpulan yang berlaku umum) atau bahkan over generalisasi.

Kali ini, saya hanya mengajak sahabat semua menyimak tutur seorang tetua kita yang bijaksana, sambil bercermin dari apa yang beliau sampaikan.

Bagus sekali kalau kita memang selamat dari dua hal tersebut. Dan, kalaupun ternyata kita terkait, masih selalu ada kesempatan bagi kita untuk berbenah dan berubah. Insyaallah.

Sahabatku, di sini kita bincangkan yang kedua saja; tentang pergaulan. Kebetulan ada kaitannya dengan tema kita sekarang.

Agaknya, benarlah bahwa derasnya arus globalisasi dan modernisasi tidak hanya membawa manfaat, tapi juga teriring dampak buruk yang membersamainya. Termasuklah salah satunya bentuk pergaulan yang kian permisif (cenderung tidak ada batasan).

Nilai-nilai moral, adat, dan agama bisa dikalahkan oleh tren modern yang menyeruak bila kita tidak hati-hati menyaring mana yang bisa kita ambil dan mana yang harus ditolak. Itulah yang sekarang marak terjadi.

Cobalah kita tanyakan pada orang tua kita, entah bagaimana model pergaulan mereka 50 tahun lalu, juga bagaimana mereka bergaul dengan lawan jenis.

Darah muda yang mengalir di tubuh mereka tentu saja menghadirkan nuansa muda layaknya kita. Ada ketertarikan juga pada lawan jenis, sebab itu hal yang normal. Hanya saja, mereka mengekspresikannya dengan santun. Rahasia.

Mungkin cuma dengan bersering-sering berbalas senyuman yang berkesan. Atau dengan saling berkirim surat.

Mereka berani menyatakan cinta hanya setelah benar-benar siap menikahi, sebab konsekuensi dari pernyataan itu hanyalah menikahi.

Dulu, berpuluh-puluh tahun lalu, sangat jarang ditemukan anak muda yang berani melancong berdua sebelum menikah.

Itu karena nilai moral, adat, dan agama yang kokoh membatasi. Sekarang, seakan benteng moral, adat, dan agama itu sudah roboh. Anak-anak muda bebas mengekspresikan cinta dengan pacaran yang kebablasan. Padahal, tidak ditemukan tuntunannya dalam agama.

Mirisnya lagi, banyak anak muda yang merasa malu dan minder kalau masih belum pernah pacaran atau jomblo. Banyaklah sebutan yang datang kepadanya; jomblo kronis, tidak laku, tidak normal, kuno, dan berbagai sebutan tidak berdasar lainnya.

Sahabatku, satu gejala penyakit yang membahayakan adalah perasaan sedang tidak berpenyakit. Diam-diam penyakit itu akan menggerogoti kita, kelak baru akan kita sadari setelah efeknya sedemikian hebat. Saya khawatir itulah yang terjadi pada kita ketika berbincang tentang pacaran.

Apa yang dilakukan orang pacaran?

Sahabatku, ada banyak alasan yang bisa diutarakan orang kenapa harus berpacaran. Berikut kita coba bincangkan beberapa di antaranya.

Satu, sebagai sarana saling mengenal lebih jauh. Mereka menganggap pacaran adalah hubungan yang memang seharusnya dilakukan sebelum menikah, sebab di sini keduanya bisa saling mengenal lebih jauh tentang calon pasangannya.

Terkait hal ini, nyatanya pacaran bukanlah satu-satunya cara untuk saling mengenal. Alasan tadi juga sulit diterima, karena biasanya yang terjadi adalah perkenalan antar topeng.

Maksudnya, tiap-tiap orang bukan memperlihatkan dirinya yang sebenarnya, tapi memanipulasi dengan melakukan pencitraan.

Alhasil, Ustaz Salim A. Fillah yang aktif menerima konsultasi pasangan suami-istri di Yogyakarta, pernah menerima keluhan seorang istri yang kecewa, katanya, “Ustaz, suami saya baru kelihatan aslinya.”

Seorang Ustadz juga pernah menasihatkan, “Dengan berpacaran, engkau hanya bisa mendapati seorang pacar yang baik, bukan seorang istri atau suami yang baik. Istri atau suami yang baik hanya bisa engkau dapatkan dengan menikah, bukan pacaran.”

Kenapa begitu? Pacaran itu berbeda orientasinya dengan pernikahan. Tujuannya berbeda, apa-apa yang dilakukan di dalamnya juga berbeda.

Dua, berpacaran untuk saling memotivasi. Katanya, berdua bisa membuat masing-masing orang lebih kuat menghadapi berbagai hal. Anggapannya, prestasi belajar bisa ditingkatkan karena sang pacar selalu memotivasi.

Nyatanya, pacaran justru bisa membawa banyak masalah, sehingga masing-masing orang malah jadi lemah. Keadaannya, prestasi belajar sering kali anjlok karena permasalahan pacaran, alih-alih meningkat.

Sahabatku, motivasi yang paling kuat itu adanya di dalam diri kita, bukan di luar. Jadi, anggapan bahwa berpacaran bisa membuat kita termotivasi itu kurang tepat.

Lagi pula, bukankah di sekitar kita masih ada banyak orang dekat yang lebih layak dijadikan motivasi? Ibu, ayah, keluarga besar kita, apakah mungkin mereka itu tidak cukup memotivasi kita untuk sukses?

Daripada berpacaran, mending kita giat-giat menyukseskan diri, sehingga ketika cinta dan ketertarikan itu datang, kita sudah siap untuk menikah. Itu jauh lebih indah daripada berpacaran. 

Tiga, cara untuk mengekspresikan cinta. Apakah pacaran memang cara yang tepat untuk menjadi ekspresi cinta?

Perbincangan tentang ini akan cukup panjang. Kita harus memulai dari memahami arti cinta yang sebenarnya, lalu bagaimana cara mengelolanya. Maka, yang ini kita simpan dulu. Nanti kita bahas tuntas di bab kedua, Memurnikan Cinta.

Sekarang, sahabatku, mari kita lihat dulu dampak-dampak pacaran yang kerap terjadi di bagian berikutnya.