Ingat Anak Muda, Cinta itu Butuh Ilmu!
Dalam cinta, kita juga perlu berilmu. Teramat perlu. Dan semoga perbincangan kita di bab ini khususnya, di buku ini umumnya, termasuk upaya untuk berilmu itu. Aamiin.
Sahabatku, ilmu-ilmu tentang cinta bisa menuntun kita bagaimana menjadikan cinta itu sebagai energi berbuat baik. Jalan utamanya sudah kita bahas di bagian sebelumnya, yakni ikhlas dalam cinta. Seterusnya, kita perlu ilmu agar keikhlasan kita itu tidak ternoda, rusak, dan terkoyak. Ilmu menjadikan kita bijaksana, sehingga cinta kita selamat di dunia dan akhirat.
Mari kita telisik kisah yang tercatat di lembaran sejarah, kita ambil hikmah, lalu kita jadikan inspirasi untuk membangun cinta yang berkah.
Pertama, kisah seorang lelaki yang datang menemui Khalifah Umar bin Khattab, ia meminta nasihat tentang rumah tangganya. Katanya, “Wahai Amirul Mukminin, saya sudah tidak mencintai istri saya. Saya ingin bercerai dengannya.”
Menurutnya, cinta adalah satu-satunya dasar untuk membangun pernikahan. Ketika cinta hilang, maka hilang pula alasan untuk bersatu. Itu yang diketahui laki-laki tadi.
Khalifah Umar bin Khattab menjawab dengan pertanyaan retoris, kira-kira begini, “Apakah rumah tanggamu tidak bisa didasarkan pada kecintaan pada Allah dan komitmen bersama untuk menegakkan agama-Nya?”
Apa yang dimaksud Khalifah Umar lewat pertanyaannya ini? Beliau ingin mengingatkan lelaki tadi agar ikhlas mencintai istrinya. Kalau tadi ia mengatakan sudah tidak lagi cinta pada istrinya, itu berarti sebelumnya ia cinta pada istrinya bukan karena Allah Swt.
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menyatakan, “Cinta itu bisa musnah seiring dengan musnahnya sebab.”
Bisa jadi, lelaki tadi mencintai istrinya bukan karena Allah Swt., tapi ada sebab lain. Akibatnya, cintanya musnah setelah apa yang mendasari cintanya itu pudar.
Beginilah yang akan terjadi pada orang yang saling mencintai karena kecantikan dan ketampanan, kekayaan, kehormatan, atau hal-hal duniawi lainnya. Semua itu tidak kekal, maka cinta yang berdiri di atasnya juga tidak akan kekal. Rasulullah Saw. sudah tegas menjelaskan hal ini.
“Siapa yang menikahi seorang wanita karena memandang kedudukannya, maka Allah akan menambahkan kerendahan baginya. Siapa yang menikahi seorang wanita karena memandang harta bendanya, maka Allah akan menambahkan kemelaratan baginya.
Siapa yang menikahi seorang wanita karena memandang kecantikannya, maka Allah akan menambahkan kehinaan baginya. Dan barang siapa yang menikahi seorang wanita karena ingin menundukkan pandangan, menjaga kesucian farji (kemaluan), atau untuk mendekatkan ikatan kekeluargaan, maka Allah memberkahi istrinya itu untuknya dan memberkahinya untuk istrinya.” (HR. Thabrani)
Sahabatku, ilmu yang benar juga bisa menuntun kita agar hati-hati. Kehati-hatian adalah anak dari ketakwaan kepada Allah Swt. Dengannya kita menghindari hal-hal yang bisa mengalihkan orientasi cinta kita.
Kali ini, mari berguru pada Sa’id bin Amir. Seorang sahabat Rasulullah Saw. yang sangat mulia, terjaga ibadahnya, mulia akhlaknya, dan murni cintanya kepada Allah Swt.
Melihat kemuliaannya itu, Khalifah Umar bin Khattab memilihnya untuk dijadikan seorang gubernur di Himsh, suatu daerah yang disebut Kuwaifah.
Disebut Kuwaifah, sebab karakter orang-orang di daerah itu mirip karakter orang-orang di Kufah; suka sekali memberontak pada pemimpin, pun kerap mengadukan keburukan-keburukan gubernur mereka kepada khalifah. Sebenarnya, sifat dan karakter mereka itu tidak menjadi masalah, hanya saja mereka itu sering kali mengatakan yang tidak benar-benar terjadi.
Takdir Allah Swt. menjadikan Sa’id bin Amir sebagai gubernur di daerah Kuwaifah, sehingga dari sinilah kita tahu kemuliaannya.
Suatu waktu, Khalifah Umar bin Khaththab memerintahkan petugasnya untuk pergi ke Himsh, lalu mencatat nama-nama orang miskin yang layak disantuni di daerah itu.
Sekembalinya mereka dari tugas, mereka menyerahkan laporan mereka kepada Khalifah Umar bin Khaththab. Beliau pun terkejut, sebab di daftar itu tertulis nama “Sa’id bin Amir”. Beliau bertanya, “Apakah ini Sa’id bin Amir gubernur Himsh?”
“Ya,” jawab mereka.
Dijelaskanlah bahwa ternyata Sa’id bin Amir tidak mengambil kekayaan dari jabatannya. Ia hanya mencukupi dirinya dan keluarganya dari jatahnya yang diambil di baitul mal.
Tidak lebih dari yang semestinya. Kalau dihitung-hitung, jatahnya itu sama dengan jatah rakyat miskin lain. Padahal, statusnya sudah menjadi seorang gubernur. Ia tidak mengambil gajinya, sebab jatah dari baitul mal sebagaimana biasanya sudah dirasa cukup. Khalifah Umar bin Khaththab menangis ketika mendengarnya.
Khalifah Umar bin Khaththab pun memerintahkan petugasnya tadi membawa uang sebanyak 1000 dinar untuk Sa’id bin Amir. Harapannya, uang itu bisa dipergunakan Sa’id bin Amir untuk memperbaiki keadaan diri dan keluarganya.
Lalu, apa yang terjadi dengan uang itu?
“Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun,” ucap Sa’id bin Amir ketika menerima uang pemberian Khalifah Umar.
“Apa yang terjadi? Apakah Khalifah Umar telah meninggal dunia?” tanya istrinya keheranan.
“Bukan. Ini suatu musibah yang lebih dari itu,” jelasnya.
“Apa? Apakah kaum muslimin kalah perang?” tanya istrinya lagi.
“Bukan. Ini musibah yang juga lebih berat dari itu.”
“Apa? Terangkanlah padaku.”
“Telah masuk ke dalam rumah kita satu musibah yang bisa merusak akhirat kita,” jelas Sa’id bin Amir.
“Kalau begitu, lepaskanlah kita darinya,” terang istrinya yang mulia.
Mereka pun sepakat untuk tidak mengambil uang pemberian Khalifah Umar bin Khaththab. Mereka membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin di Himsh.
Padahal, sesungguhnya uang itu pun bisa mereka pakai untuk keluarga mereka. Inilah kehati-hatian dan kebijaksanaan Sa’id bin Amir dan istrinya. Mereka tidak ingin kecintaan dan penghambaan mereka pada Allah Swt. dirusak oleh kecintaan pada harta benda.
Sahabatku, mari berbanyak-banyak menimba ilmu, agar cinta kita menjadi bermutu. Semoga Allah Swt. memudahkan kita mendapatkan ilmu, sehingga kita pun memiliki kehati-hatian dan kebijaksanaan seperti orang-orang mulia terdahulu. Wallahu A'lam