Kehati-hatian dan Kewaspadaan dalam Islam

Daftar Isi

Kehati-hatian dan Kewaspadaan dalam Islam
Sahabatku, betapa nikmatnya bila kita benar-benar bisa mengendalikan diri kita di atas jalan Allah Swt. Keindahan hidup di dunia dan akhirat akan kita rasakan. Masalahnya, di dalam diri kita ini ada nafsu yang mencondongkan kita pada keburukan. Kita harus betul-betul serius menjaga hati dan diri kita agar tidak dipimpin oleh nafsu.

Kewaspadaan dan kehati-hatian inilah yang menjadi penentu keagungan seseorang. Bukan tidak adanya nafsu yang membuat seseorang mulia, sebab manusia itu pasti di dalam dirinya ada nafsu. Hal itulah yang diakui Nabi Yusuf As. ketika dibebaskan dari penjara.

“Dan aku tidaklah berlepas diri (dari nafsu). Sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong pada keburukan, kecuali nafsu yang dirahmati oleh Rabbku (Allah).” (QS. Yusuf: 53)

Sahabatku, ada cerita menarik yang kita dapatkan dari kisah seorang ulama, Muhammad bin Sirin. Selain mengajar dan berdakwah, beliau juga bekerja sebagai seorang pedagang minyak. Suatu waktu, beliau mengecer minyak dari seorang pengusaha. Ceritanya, minyak itu dibawanya dengan status hutang, kelak minyak itu akan dibayar jika sudah terjual.

Setibanya di kota, beliau memeriksa 40 kaleng minyak yang dibawanya. Rupanya, di dalam sebuah kaleng minyak terdapat bangkai tikus. Beliau khawatir seluruh minyak yang dibawanya juga sudah tercemar bangkai tikus, sebab pada mulanya semua minyak itu berasal dari wadah yang sama. Kalau benar begitu yang terjadi, maka minyaknya sudah terkena najis dan tidak boleh dipakai. Sebagai langkah kehati-hatian, beliau tumpahkan semua minyak yang hendak dijual tersebut.

Di saat seperti itu, nafsu bisa saja datang membawa banyak alasan untuk tetap menjual minyak. Pertama, hanya ada satu kaleng saja yang terkena bangkai tikus, sementara 39 kaleng lainnya belum tentu. Kedua, tidak ada yang tahu kalau sebelumnya pernah ditemukan bangkai tikus di antara minyak-minyak yang dijual. Ketiga, minyak itu dibawa dengan status hutang dan akan dibayar bila minyaknya sudah terjual, maka menumpahkan semua minyak tentu saja menjadi kerugian yang sangat banyak.

Itulah nafsu. Muhammad bin Sirin memilih untuk membunuh nafsunya. Beliau mengikuti jalan yang utama, jalan yang menyelamatkan. Beliau memang akan merugi, tetapi beliau selamat dari pertanggungjawaban menjual barang yang haram. Kehati-hatian itulah yang memuliakan dan mengagungkan nama Muhammad bin Sirin.

Sahabatku, mungkin ada saat-saatnya kita kecolongan, sebab kita tidaklah suci. Nafsu bisa berhasil mencemari tindakan-tindakan kita, sehingga tanpa sadar kita sudah mengikutinya. Niat kita bukan lagi berbuat baik, akan tetapi sudah bergeser menjadi penurutan terhadap hawa nafsu.

Kecolongan inilah yang pernah terjadi pada Khalid bin Walid, seorang sahabat Nabi Saw. yang mulia. Gelarnya ialah Saifullah Al-Maslul, pedang Allah yang terhunus. Pada momentum penaklukan Kota Makkah, beliau dipilih oleh Rasulullah Saw. untuk memimpin suatu ekspedisi. Pesan Rasulullah Saw., jangan sampai terjadi pertumpahan darah. 

Misi penaklukan Kota Makkah waktu itu adalah misi yang damai. Akan tetapi, terdengarlah kabar bahwa ekspedisi yang dipimpin Khalid ini terlibat pertempuran dengan suatu kabilah sehingga beberapa orang tewas. Rasulullah Saw. yang mendengarnya segera memberikan peringatan keras kepada Khalid, agar ia tidak mengikuti hawa nafsunya dan melakukan apa yang beliau perintahkan saja.

Di momentum yang lain, Khalid bin Walid juga termakan nafsu. Beliau bertindak semena-mena pada Malik bin Nuwairah, seorang pemimpin Bani Tamim. Sebenarnya, jika mau, Khalid punya altenatif untuk berdamai. Hanya saja, beliau menepis alternatif itu dan menjadikan perang sebagai satu-satunya pilihan, sebab beliau sudah tahu bahwa kemenangan berpihak kepadanya. Setelah diselidiki, ternyata itu terjadi karena Khalid kepincut pada istri Malik bin Nuwairah, yakni Layla Ummu Tamim.

Dua kisah ini bukan berarti bahwa kita hendak mencela langkah Khalid bin Walid. Andaipun beliau memang benar-benar bersalah, kita tidak berhak menyatakan bahwa beliau telah salah, sebab kontribusi kita terhadap agama ini tidak sebanding dengan kontribusi beliau. 

Khalid bin Walid terlibat dalam banyak pertempuran membela Islam. Keuletannya memimpin pasukan telah sering kali menguntungkan agama ini. Pun, tekadnya meninggikan agama layak untuk kita teladani, seperti katanya, “Berjaga di malam yang mencekam dalam suatu peperangan itu lebih aku sukai daripada bermalam pertama dengan seorang gadis.”

Kita hanya ingin belajar tentang perlunya kehati-hatian dan kewaspadaan. Nafsu memang cekatan. Kalah kita dibuatnya tanpa pertolongan Allah Swt. Ia tersembunyi jauh di dalam hati, sehingga bisa saja kita merasa sedang berbuat baik, begitu pula yang dipikirkan orang lain, tetapi tujuan kita melakukannya bukan karena Allah, melainkan karena ingin disebut mulia, ingin dilihat, dan ingin dipuji orang lain. Astaghfirullah...

Sahabatku, agar kehati-hatian dan kewaspadaan kita senantiasa menyala, ada satu hal yang harus selalu kita lakukan, yakni menyadari bahwa Allah Swt. selalu bersama kita, Allah melihat apa saja yang kita lakukan bahkan walaupun itu masih terbersit dalam hati kita. Maka, sebelum melakukan sesuatu, kita harus memikirkannya terlebih dulu: apakah kita ingin Allah melihat apa yang akan kita lakukan itu?