Menikah itu Menyegerakan, Bukan Mentergesai

Daftar Isi

Menikah itu Menyegerakan, Bukan Mentergesai
Abusyuja.com - Sahabatku, tipis sekali bedanya antara menyegerakan dengan ketergesa-gesaan. Ini juga terkait dengan hati kita masing-masing. Kitalah yang bisa merasakan apakah kita menyegerakan untuk menikah atau mentergesainya. Akan tetapi, kita tetap bisa menghindari ketergesa-gesaan dalam pernikahan.

Persis seperti perbedaan orang yang berani dengan yang nekat. Beda antara orang yang bersegera menikah dengan yang tergesa-gesa itu juga terletak pada persiapan. Orang yang ingin bersegera menikah, ia berusaha mempersiapkan bekal-bekal pernikahannya, kemudian menikah setelah siap. Adapun orang yang tergesa-gesa, ia tidak memikirkan persiapan, hanya berpikir bagaimana caranya agar bisa cepat menikah. 

Misal untuk ketergesa-gesaan ini bisa kita saksikan pada sepasang suami-istri yang stres dan kebingungan ketika menghadapi berbagai hal dalam pernikahannya. Sering pula terjadi, seorang istri ditelantarkan oleh suami karena tidak siap untuk menafkahi. Mirisnya lagi, sering kali mertua dan orangtua harus terbebani oleh anaknya yang belum mampu mandiri.

Kita ingin menyegerakan, bukan mentergesai. Maka, penting kita lihat beberapa hal yang harus kita persiapkan untuk menyongsong pernikahan. Kali ini, mari berguru pada Ustadz Mohammad Fauzil Adhim dalam buku Saatnya untuk Menikah. Menurut beliau, ada lima bekal yang harus disiapkan sebelum menikah. Itulah yang akan kita bincangkan di bagian ini. Insyaallah.

Pertama, bekal ilmu. Ada banyak sekali yang harus kita pelajari sebagai bentuk persiapan untuk pernikahan. Ilmu tentang kehidupan rumah tangga, bagaimana agar di dalamnya terasa sakinah (ketenangan), mawaddah (perasaan cinta), rahmah (kasih sayang), dan berkah. Ilmu tentang karakter suami atau istri juga penting dipelajari, sehingga memungkinkan terciptanya saling pengertian.

Bekal ilmu yang mencukupi ini akan menjadikan seseorang bijaksana, sehingga ia bisa dengan tenang memecahkan problematika yang dihadapinya. Sebaliknya, orang yang tidak peduli pada urusan ilmu, kelak ia akan mendapati masa-masa yang suram-seram. Sering pula akan tampil menjadi sosok yang memalukan. 

Bayangkan saja, bagaimana (misalnya) bila seorang yang sudah menikah ditanya tata cara mandi janabah (mandi besar), namun ternyata dia tidak paham sama sekali? Itu masih terkait hal yang sederhana, masih ada banyak lagi ilmu yang harus kita miliki, yakni ilmu tentang tanggung jawab suami dan istri, serta hak dan kewajiban masing-masing. Semoga Allah Swt. menambah ilmu kepada kita yang bergiat menuntutnya.

Kedua, kemampuan memenuhi tanggung jawab. Ilmu menjadi setengah dari penentu mampunya seseorang memenuhi tanggung jawab dalam pernikahan, sebab ia harus paham dulu apa saja yang mesti ia lakukan. Setengahnya lagi adalah tekad dan kesadaran. Keduanya harus dipersiapkan dengan baik, agar keluarga yang tebentuk nantinya tetap harmonis.

Sahabatku, pernah ada seorang wanita yang datang pada Rasulullah Saw. Beliau itu istri dari seorang sahabat yang kerap kali tidak diberi nafkah, maka beliau harus diam-diam mengambil uang suaminya untuk mencukupi kebutuhannya. Beliau lantas bertanya apakah tindakannya itu boleh atau tidak. Rasulullah Saw. membolehkannya. Dengan catatan, beliau mengambil sebatas yang diperlukan saja.

Kisah ini memperlihatkan kepada kita, bisa saja ada lelaki yang sebenarnya punya uang tetapi tidak sadar sepenuhnya bahwa dirinya bertanggung jawab untuk memberi nafkah. Permasalahan seperti ini bisa menjadi pemicu retaknya hubungan pernikahan. Sebaliknya, bisa saja seorang lelaki tidak begitu berpunya, tapi karena ia memiliki kesadaran dan tekad yang bulat untuk memenuhi tanggung jawab, ia tetap bisa menafkahi keluarganya.

Nah, sudah siapkah kita memikul tanggung jawab dan memenuhinya?

Ketiga, kesiapan menerima anak. Termasuk tujuan disyariatkannya pernikahan adalah untuk menjaga kemuliaan keturunan manusia. Maka, kita yang berkeinginan menikah harus menyiapkan diri juga untuk menerima anak. Memangnya ada yang tidak siap menerima anak? Coba kita lihat di sekeliling kita. Insyaallah, di sana ada banyak jawaban.

Sahabatku, perlu selalu kita ingat, tidak semua orang yang menikah diberi karunia berupa anak keturunan. Betapa banyak pasangan yang merindukan hadirnya anak, tapi memang Allah Swt. belum memberikan mereka karunia-Nya. Sebab itu, kita harus benar-benar menaruh perhatian dan mempersiapkan diri menerima hadirnya anak, agar kelak ketika Allah memberikan kita amanah atas mereka, kita mampu memenuhinya.

Siap menerima anak artinya siap memenuhi kewajiban-kewajiban atasnya: memberi nama yang baik, merawatnya dengan tepat sehingga tumbuh-kembangnya berjalan normal, juga siap mendidiknya sehingga mengenal kebenaran. 

Sering terjadi salah kaprah: meyakini bahwa tugas orangtua hanya menyiapkan uang saja, lalu menyerahkan tanggung jawab mendidik anak pada sekolah-sekolah formalnya. Tanggung jawab orangtua tidak hanya dalam soal materi, tapi juga harus bisa mendidik anaknya. Kelak Allah Swt. akan mempertanyakan orangtua tentang tugas ini.

Keempat, kesiapan psikis. Sering kali anak-anak muda hanya membayangkan keindahan-keindahan yang bisa didapat dalam pernikahan, tapi lupa mempersiapkan diri menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan yang kelak bisa hadir. Akibatnya, kebahagiaannya seketika lebur dan hancur di saat permasalahan muncul, padahal tidak ada permasalahan yang datang tanpa solusi.

Sahabatku, kita bisa mempersiapkan psikis kita dengan mengasah kedewasaan. Mulailah dengan melatih kepekaan terhadap orang lain, lalu membantu mereka yang menghadapi kesulitan. Selain itu, bisa juga dengan bersering-sering belajar kepada orangtua yang sudah kaya pengalaman hidup. Yang jelas, psikis kita mesti sudah terlatih sebelum menikah.

Kelima, kesiapan ruhiyah. Kesiapan inilah yang paling utama di atas semuanya. Kesiapan ruhiyah berbicara tentang iman dan ilmu agama yang kita himpun di dalam diri kita. Bila keadaan ruhiyah kita sudah benar-benar siap, maka kita tidak akan mudah diselewengkan oleh setan dari jalan yang benar.

Seorang suami yang mantap ruhiyahnya akan tetap tabah menempuh jalan halal guna menafkahi keluarga. Ia sadar bahwa kesulitan itu bisa jadi adalah ujian Allah Swt. untuk melihat apakah ia pantas atau tidak menerima karunia-Nya yang besar. Begitu juga seorang istri yang mantap ruhiyahnya, ia ridha pada yang sedikit, bersyukur pada yang banyak. Ia tidak terguncang ketika suami datang dengan sesuatu yang lebih sederhana dari yang sebelumnya ia rasakan di tengah keluarga, tapi menyambutnya dengan kehangatan.

Sahabatku, kesiapan ruhiyah memungkinkan kita untuk meneguhkan tekad sebagaimana Khalifah Umar bin Khaththab. Katanya, “Jika sabar dan syukur itu kendaraan menuju Allah Swt., maka aku tidak peduli harus mengendarai yang mana.”

Sebagai tambahan, di luar lima hal yang disebutkan oleh Ustadz Mohammad Fauzil Adhim, ada satu bekal lagi yang penting kita persiapkan, yakni kesiapan material. Sering kali terjadi masalah dalam rumah tangga yang disebabkan oleh permasalahan material (ekonomi). Maka, bekal ini harus dipersiapkan juga, terutama oleh pihak suami sebab tanggung jawab ada padanya.

Sahabatku, maafkan bila saya hanya bisa mengetengahkan yang sekelumit ini saja. Saat ini kita ketahui dulu apa saja yang harus kita siapkan, selanjutnya mari kita pantaskan diri dengan persiapan-persiapan yang hebat. Semoga Allah Swt. senantiasa menolong kita. Tiada daya dan upaya, kecuali bersama Allah.