Nasihat untuk Orang yang Berpikir, "Biaya Nikah Itu Mahal"

Daftar Isi

Nasihat untuk Orang yang Berpikir, "Biaya Nikah Itu Mahal"
Abusyuja.com - Sahabatku, banyak di antara kita yang merasa sulit untuk menikah sebab menikah itu butuh biaya. Banyak yang berceloteh, “Ah, di zaman sekarang menikah itu sulit. Mahal!” Ada lagi yang bersedih, “Seandainya zaman masih seperti dulu, belum tercemar budaya pamer dan gengsi.”

Tak dipungkiri, nikah itu butuh biaya. Tapi, meskipun begitu, Islam selalu memberikan kepada umatnya kemudahan-kemudahan. Memang, pada dasarnya orang yang hendak menikah (terutama laki-laki) butuh biaya untuk tiga hal, yakni mahar, walimah, dan juga rumah (tempat tinggal). Agama ini hadir memberikan kemudahan, sehingga kita tidak akan kesulitan jika benar-benar mengamalkan tuntunan agama.

Soal mahar, kita dapati penjelasan gamblangnya dari Ustadz Mohammad Fauzil Adhim dalam buku Kupinang Engkau dengan Hamdalah.

“Mahar disebut dengan istilah yang indah, shidaq. Shidaq berarti kebenaran. Mahar menunjukkan kebenaran dan kesungguhan cinta kasih laki-laki yang meminang. Ia merupakan bukti kebenaran ucapan laki-laki atas keinginannya menjadi suami bagi orang yang dicintainya. Mahar bukanlah harga atas diri seorang wanita. Wanita tidak menjual dirinya dengan mahar. Tetapi, ia membuktikan kebenaran kesungguhan, cinta, dan kasing sayang laki-laki yang bermaksud kepadanya dengan mahar.”

“Jadi,” lanjut Ustadz Mohammad Fauzil Adhim, “makna mahar atau maskawin dalam sebuah pernikahan, lebih dekat kepada syariat agama dalam rangka menjaga kemuliaan peristiwa suci. Mahar ialah syarat sahnya sebuah perkawinan. Juga sebagai ungkapan penghormatan seorang laki-laki kepada wanita yang menjadi istrinya. Memberikan mahar merupakan ungkapan tanggung jawab kepada Allah sebagai Asy-Syari’ (Pembuat Aturan) dan kepada wanita yang dinikahinya sebagai kawan seiring dalam meniti kehidupan berumah tangga.”

Sahabatku, mahar di zaman sekarang malah sering dianggap sebagai bayaran atas kerelaan keluarga pihak wanita atas pernikahan yang akan dilangsungkan, padahal agama kita tidak menuntunkan demikian. Pun, banyak yang menganggap bahwa mahar itu menjadi indikator kehormatan suatu keluarga. 

Rasulullah Saw. tidak mengajarkan hal yang demikian. Meskipun beliau selalu memerintahkan lelaki memberikan mahar kepada wanita yang akan dinikahinya, beliau tidak mempersyaratkannya dengan sesuatu yang mahal. Bahkan, beliau pernah menikahkan seorang sahabat dengan mahar hafalan Al-Qur’an dan ilmu agama, bukan uang. Maharnya adalah sahabat itu mengajarkan hafalan Al-Qur’an dan ilmu agama yang diketahuinya kepada istrinya.

Kisah pernikahan Ummu Sulaim pun masih kita ingat juga. Beliau menikah dengan Abu Thalhah, maharnya adalah masuk Islamnya Abu Thalhah. Cukup itu saja. Ummu Sulaim tidak meminta yang lain.

Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya termasuk dalam keberuntungan seorang wanita adalah mudah proses lamarannya, ringan maharnya, dan subur rahimnya.” (HR. Ahmad)

Nah, jelaslah mahar yang mahal itu bukan berasal dari tuntunan Rasulullah Saw. Selain itu, betapa penting juga kita merenungkan: apa yang menjadi sebab kepantasan kita menerima mahar yang mahal? Apakah wanita-wanita yang mahal maharnya itu kemuliaannya sudah melampaui wanita-wanita di zaman Rasulullah Saw. dulu?

Mari berlindung kepada Allah Swt. dari memberat-beratkan urusan agama-Nya.

Sahabatku, perkara lain yang membutuhkan biaya adalah pengadaan walimah. Ini disyariatkan dalam agama kita. Tujuannya untuk mengabarkan kepada keluarga besar dan masyarakat, bahwa pernikahan antara kedua pihak sudah dilakukan. Tak hanya itu, walimah juga diadakan untuk menggalang doa keberkahan.

Saya tidak ingin menyebut walimah ini dengan “pesta pernikahan”, meskipun sering disebut begitu. Pasalnya, bila disebut pesta, yang terbayang adalah kemewahan, biaya yang mahal, dan segala sesuatu yang menampakkan tingginya gengsi. Ini bukan syariat Islam. Di zaman Rasulullah Saw. dulu pernah diadakan walimah dengan kurma, sebab tidak sanggup mengadakan walimah dengan seekor kambing. Dan itu tidak mengurangi nilanya. Letak keberkahan pernikahan bukan pada mewah tidaknya acara walimah yang diadakan, tapi bagaimana kedua belah pihak menjalaninya agar niatnya semata-mata karena Allah Swt.

Sahabatku, adapun hal lainnya adalah rumah (tempat tinggal). Kita juga harus memikirkan, mau tinggal di mana setelah menikah. Dalam hal ini, poin pentingnya adalah punya tempat tinggal, tidak diwajibkan harus beli atau milik sendiri.

Ustadz Salim A. Fillah bercerita, ada sepasang suami dan istri yang baru saja menikah menempati sebuah rumah dengan status ngontrak. Sang suami berujar, “Maaf ya, Dik. Abang belum bisa beli rumah, bisanya ngontrak dulu.”

Sang istri langsung menjawab ramah, “Tidak apa-apa, Bang. Punya rumah itu nggak wajib, yang wajib itu shalat.”

Komentar Ustadz Salim, “Kalau semua istri seperti wanita tadi, maka di Indonesia tidak akan ada pejabat yang korupsi.” 

Hehehe! Itu ada benarnya. Masalahnya, kenyataannya sekarang adalah yang sebaliknya. Belum nikah saja, mertua sudah bertanya, “Kamu kerjanya apa? Gaji berapa? Nanti mau tinggal di mana setelah menikah?”

Rupanya, banyak yang lupa pada Rasulullah Saw. Ketika Ali bin Abi Thalib—pemudanya umat ini—datang meminang Fathimah, putri kecintaan Rasulullah Saw., beliau tidak ditanya soal harta, rumah, dan sebagainya. Rasulullah Saw. menyambutnya dengan suka cita, sebab sudah jelas-jelas teruji kebaikan agamanya. Jadilah pernikahan Ali bin Abi Thalib dengan Fathimah berlangsung sederhana. Tapi, berkahnya tidak kurang. Lagi-lagi, kemuliaan pernikahan bukan terletak pada mahal atau tidaknya biaya dalam prosesnya.

Sebagai penutup, simaklah kisah ini:

Ada seorang anak muda yang kesal ketika pihak wanita meminta mahar yang mahal, “Pak, apakah putri Bapak ini lebih mulia dari Fathimah binti Muhammad, sehingga mempersyaratkan mahar semahal itu?”

Lalu, dijawab pula, “Nah, apakah kamu juga semulia Ali bin Abi Thalib, sehingga saya pantas memberikan putri saya kepadamu dengan mahar yang ringan?”

Hehehe! Cerita itu hanya fiktif. Pesannya, mari sama-sama kita memantaskan diri untuk menjemput pernikahan yang mulia dan berkah. Juga memantapkan pemahaman terhadap ilmu-ilmu agama, agar jangan sampai terjadi kita mempersulit proses yang sudah dimudahkan oleh Allah Swt., dan agar tidak kita adakan hal baru yang merusak dalam agama-Nya.