Orang Tua Belum Merestui Nikah, Apa yang Harus Dilakukan?

Daftar Isi

Orang Tua Belum Merestui Nikah, Apa yang Harus Dilakukan?
Abusyuja.com - Sahabatku, ada satu hal yang menjadikan pernikahan kita bermakna, yakni restu kedua orang tua. Sebenarnya tidak hanya dalam pernikahan, tetapi dalam seluruh keputusan yang ingin kita ambil dalam kehidupan kita. Sebab, rida kedua orang tua adalah rida Allah Swt., begitu juga murka keduanya adalah murka Allah Swt.

Ketika seorang anak muda mengajukan keinginannya untuk menikah, ada orang tua yang bisa dengan segera menyetujuinya, ada pula yang tidak. Dan ada banyak alasan kenapa orang tua belum merestui anaknya yang berusia muda itu menikah. Insya Allah, kita akan membahasnya di bagian ini, sekaligus dengan solusi yang mudah-mudahan bisa diambil.

Pertama, orang tua melihat anaknya belum pantas untuk menikah. Sebabnya beragam: usianya masih terlalu muda, belum cukup persiapan, mengkhawatirkan kemampuan anaknya mengurus rumah tangga, dan alasan lainnya. Inilah alasan yang paling sering ditemukan di balik restu orang tua yang belum didapat.

Jika hal yang demikian itu terjadi pada kita, masih ada jalan keluarnya. Insya Allah. Mari kita buka musyawarah dengan kedua orang tua. Berbicara dengan santun, lembut, dan penuh hormat. Lalu mengutarakan keinginan untuk menikah dengan jujur, alasan yang mendorong niat kita, dan juga apa saja yang sudah kita lakukan sebagai persiapan.

Adalah kecenderungan kita untuk tidak mau percaya pada sesuatu, sampai kita melihatnya dengan langsung atau melihat tanda-tandanya. Begitulah orang tua menilai kita. Maka, kita harus menunjukkan bahwa kita sudah siap menikah. Memperlihatkan bahwa kita sudah mandiri, misalnya, bisa dengan berhenti meminta uang pada orang tua, membuka usaha apa saja yang bisa kita lakukan, kemudian berupaya membantu kebutuhan ekonomi orang tua meskipun sedikit-sedikit.

Selain itu, kita yakinkan orang tua dengan bahasa yang lembut, bahwa rezeki ada di tangan Allah Swt. Dia bebas memberikannya kepada siapa saja. Tugas kita adalah berikhtiar dengan bekerja dan memantaskan diri di hadapan-Nya.

Kedua, orang tua kurang sreg dengan calon pasangan. Mungkin karena orang tua sudah punya calon yang ditawarkan, tapi kita menolak sebab sudah punya calon yang lebih diutamakan. Orang tua sebenarnya menginginkan yang terbaik untuk anaknya, hanya saja berbeda pilihan juga lumrah. Maka, solusinya adalah mempertimbangkan alasan masing-masing memilih calon yang dirasa cocok. Mana pilihan yang paling kuat alasannya, maka itulah yang tepat. Kuat dalam hal ini adalah dibenarkan oleh ajaran agama kita.

Urusan-urusan dalam pernikahan memang butuh banyak musyawarah, sebab di waktu-waktu berikutnya keluarga itu juga pasti harus membaur. Bila sejak awal sudah tumbuh rasa tidak enak dan tidak percaya, bayangkanlah apa yang bisa terjadi pada keluarga itu. Akan ada kekakuan dan iklim yang panas terjadi di tengah-tengahnya. Naudzu billahi minzalik.

Ketiga, orang tua takut kasih sayang anaknya teralihkan kepada pasangan dan anak-anaknya kelak. Alasan ini, meskipun tidak terlalu kuat, namun tetap saja bisa menjadikan orang tua belum merestui keinginan anaknya untuk menikah. Kali ini bukan sang anak yang belum siap, tapi orangtuanya.

Sahabatku, kita memang harus selalu ingat. Sebagai anak, kewajiban kita untuk berbakti kepada orang tua tidak pernah lepas, meskipun kita sudah menjadi orang tua dan punya anak. Seorang sahabat pernah mendatangi Rasulullah Saw., lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?”

Sebagaimana dicatat Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw. menjawab, “Ibumu.”

Sahabat itu bertanya lagi, “Kemudian, siapa lagi?”

“Ibumu.”

Ketiga kalinya juga masih begitu. Dan di kali yang keempatnya, Rasulullah Saw. menjawab, “Ayahmu.”

Ibu dan ayah, merekalah manusia yang paling berhak atas perlakuan baik kita. Tetap begitu. Selamanya.

Ada cerita yang terjadi di zaman Rasulullah Saw. dulu, tapi tetap sering diulang-ulang untuk mengingatkan pentingnya berbakti pada orangtua. Namanya Alqomah, seorang pemuda yang amat berbakti kepada ibunya. Selalu menuruti ibunya, tidak pernah menyanggah dan menyakiti hati ibunya. Maka, ibunya pun sangat mencintai Alqomah. 

Suatu waktu, Alqomah menikahi seorang gadis, ibunya turut berbahagia. Yah, jelas saja, Alqomah adalah anak satu-satunya, itu pun sangat berbakti.

Kini Alqomah sudah tinggal di rumah yang berbeda. Maka, kerinduan pun mencekam dan menyeruak di hati si ibu. Diputuskannyalah untuk mengunjungi Alqomah.

Sesampainya di rumah Alqomah, sang ibu disambut dengan hangat. Masih tampak baktinya, sebagaimana biasa. Sang ibu berjalan ke dapur, melihat-lihat, didapatinya sebuah roti yang cukup menggiurkan. “Bolehkah ibu memakan roti ini, Nak?” tanya sang ibu.

“Tidak, Bu. Tidak, sampai istriku datang,” jawab Alqomah.

Sang ibu hanya bisa menahan air ludahnya yang menumpuk menanti makanan, juga menahan sakit hati.

Di waktu yang lain, Alqomah pernah memberikan sebuah pakaian untuk ibunya. Cantik sekali. Sang ibu pun menyukainya. Berterima kasih, lalu tersenyum sumringah. Tak lama, Alqomah datang lagi, kemudian meminta pakaian yang tadi diberikannya. Rupanya tertukar, seharusnya itu diberikan kepada istrinya. Alqomah memberikan ganti pakaian yang lain. Dan sang ibu tak kuasa menahan sedih. Pakaian yang Alqomah berikan sebagai ganti itu jauh lebih buruk. Kainnya kasar, panas bila dikenakan, dan sangat jauh bila dibandingkan dengan yang pertama tadi.

Alqomah ternyata sudah berubah. Anak yang semula sangat berbakti kepada ibunya kini tak lagi. Kepatuhannya sudah beralih kepada istrinya.

Apa yang terjadi pada Alqomah disebabkan oleh tingkahnya itu? Di akhir hayatnya, Alqomah mengalami proses sakaratulmaut yang menyakitkan. Sangat menyakitkan. Seakan-akan ruhnya sukar dicabut, sehingga rasa sakitnya kian lama terasa. Para sahabat yang hadir tidak kuasa melihat, maka mereka mengadu pada Rasulullah Saw. Oleh beliau, seorang sahabat diminta mengabarkan keadaan Alqomah kepada ibunya, juga meminta kehadirannya agar Alqomah wafat dengan tenang.

Sang ibu menolak. Ternyata luka di hatinya belum sembuh.

Rasulullah Saw. berkata, “Kalau begitu, kita bakar saja Alqomah.”

Mendengar itu, barulah sang ibu merelakannya sebab tidak sanggup pula membayangkan anaknya dibakar. Ia memaafkan Alqomah. Tak lama, Alqomah pun wafat.

Sahabatku, kisah Alqomah ini saya tuliskan agar menjadi pengingat bagi kita semua. Jangan sampai kesalahan yang sama kita lakukan. 

Setelah itu, mari yakinkan kedua orang tua bahwa bakti kita kepada mereka tak kenal henti. Bila orang tua belum merestui kita untuk menikah dengan alasan takut bakti kita kepada mereka berkurang, hanya ada satu saja solusinya: diri kita sendiri. Kitalah yang harus membuktikan dan membuat keduanya merasa yakin. Tidak ada solusi lain.