Pilih Mana, Jadi Budak Cinta atau Kesatria Cinta?
Terikat sebagai budak itu artinya sebatas menurut, tidak kuasa memegang kendali. Menjadi kesatria itu artinya mengendalikan cinta, sehingga berjalan dengan lurus.
Sebelumnya kita telah membahas tentang mengelola cinta dengan benar. Bila kita berhasil melakukannya, maka kita akan menjadi kesatria yang pesona cintanya selalu menyala-nyala.
Mari berkenalan dengan seorang wanita mulia, Asiyah. Beliau adalah seorang istri yang terpaksa menikah dengan Firaun.
Pasalnya, bila beliau tidak menerima pinangan Firaun, keluarganya akan menjadi target siksaan yang menyakitkan.
Asiyah seorang wanita beragama. Ia taat kepada Allah Swt., kecantikannya memukau, dan akhlak yang ditampakkannya sangat mulia.
Firaun hanya tertarik pada satu hal, yakni kecantikannya yang memukau. Maka, Asiyah pun berdoa kepada Allah agar dirinya diselamatkan dari Firaun yang bengis.
Walaupun Asiyah tinggal di istana Firaun, beliau tidak pernah tersentuh oleh Firaun sebab Allah selalu melindunginya.
Wanita mulia itu menjadi kesatria atas cintanya. Ia tidak silau pada kemegahan istana Firaun, ia tidak berbangga bisa menjadi istri raja, dan ia tidak terpancing menggadaikan agamanya demi semua kemewahan yang ada di sekelilingnya.
Asiyah tetap mencintai Allah Swt. di atas segalanya. Dan tak ada yang bisa mengusik cintanya itu.
Sahabatku, sayangnya kita sering kali lupa pada kisah cinta para kesatria yang pernah ada dalam sejarah.
Kita lebih suka dengan cerita cinta rekaan yang maknanya pun menyesatkan. Ketika menyimak kisah-kisah itu, kita menganggap itulah cinta sejati.
Padahal, keindahannya hanyalah bentuk daya tipu dan kelemahan di hadapan cinta.
Layla Majnun buatan Nizami, Romeo-Juliet ciptaan William Shakespeare, dan kisah-kisah lain semisal, sebenarnya merupakan pertanda cinta yang salah.
Bagaimana mungkin gara-gara kegagalan cinta kepada seseorang, hidup harus compang-camping, seakan tidak ada tujuan dalam hidup selain mencintainya.
Sahabatku, keteladanan yang mantap kita temukan pada kisah cinta Syaikh Sayyid Quthb. Ulama yang dulunya aktif dalam pergerakan Islam di Mesir, juga penulis kitab Tafsir Al-Qur’an Fii Zhilalil Qur’an.
Beliau belum pernah menikah sampai wafatnya. Kisah beliau termasuk contoh orang yang tak berjodoh di dunia, tapi mudah-mudahan telah disediakan Allah Swt. jodohnya di surga.
Tidak pernah menikah bukan berarti Syaikh Sayyid Quthb tidak pernah merasakan adanya getaran cinta di hatinya.
Beliau pernah dua kali mencintai seorang wanita, hanya saja cintanya itu tidak terpadukan di pelaminan.
Pertama kali, beliau menyambung hati dengan seorang wanita yang merupakan tetangga beliau sendiri.
Namun, waktu itu beliau harus berangkat ke Kairo untuk melanjutkan studi, sehingga keinginan untuk menikah harus ditunda dulu. Rupanya sang calon istri tidak sabar menunggu, ia pun menikah dengan lelaki lain.
Menerima kabar seperti itu pastilah menyakitkan, tetapi Syaikh Sayyid Quthb tidak lumpuh karenanya. Beliau tidak musnah menjadi butiran debu.
Justru semangat dalam hatinya semakin menggebu. Patah satu, masih bisa tumbuh seribu.
Beliau fokus dalam menghebatkan diri, sehingga kini kita kenal kisah hidupnya yang bertabur prestasi tinggi.
Kali kedua, hati beliau terisi lagi dengan rasa cinta pada seorang wanita. Beliau pun menyatakan keinginan untuk menikah dengannya.
Proses perkenalan kemudian berlangsung. Di sinilah Syaikh Sayyid Quthb mengetahui bahwa dirinya bukan lelaki pertama yang singgah di hati si wanita.
Pernah ada satu hati yang dipertautkannya dengan hatinya. Adalah bagian dari sifat kelelakian, pantang bermakan sisa, harus jadi yang utama, satu-satunya.
Itu pula yang waktu itu meletup di hati Syaikh Sayyid Quthb. Ia tidak bisa menerima, lalu memilih untuk beranjak.
Beberapa waktu berselang, ternyata pikirannya belum bisa ikut beranjak mengiringi langkahnya.
Hatinya juga masih merindu-rindu pada si wanita. Begitu dan begitu, sehingga luluh juga sifat kelelakiannya itu, tergantikan dengan kelapangan hati menerima kenyataan.
Beliau kembali, berniat membangun ulang rencana pernikahan. Malangnya, kali ini wanita itu yang menolak. Ia sudah tidak lagi bersedia menikah dengan Syaikh Sayyid Quthb.
Kisah cintanya memilukan, membuat hati bergetar-getar, pun rasa sedih dan prihatin menabrak-nabrak dinding hati.
Tapi, kali ini kita tidak perlu mengalamatkan keprihatinan pada Syaikh Sayyid Quthb, sebab ternyata beliau lebih kuat dari yang kita bayangkan.
Beliau meninggalkan kisah cintanya yang mungkin saja membuat air mata terurai walau sekali, lalu aktif berjuang dalam mewujudkan cita-cita tertingginya: menegakkan agama Allah Swt.
Sehabis itu, Syaikh Sayyid Quthb sering bolak-balik masuk penjara, sebab kegigihan bersuara di depan kezaliman.
Sampai pada penghujung hayatnya, beliau gugur sebagai pahlawan kebenaran. Dan kita mendapatkan banyak pelajaran dari kisah hidupnya.
Sahabatku, betapa banyak anak muda yang habis waktu dan tenaganya berkutat dalam permasalahan pacaran.
Tiap hari hanya memikirkan hal-hal terkait pacaran saja, padahal ada banyak hal lain yang harus dilakukan untuk menghebatkan diri.
Marilah berbenah, kita kendalikan cinta kita dengan baik, sehingga kita pantas disebut kesatria cinta, bukan budaknya yang terpaksa setia.